Konten dari Pengguna

Pandemi COVID-19 dan Ragam Kajian Ilmiah

Dicky Budiman, dr MScPH PhD
PhD, Medical Doctor, Epidemiologist, Researcher and practitioner on Global Health Security Policy at the Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Policy adviser to Minister of Tourism Creative Economy Indonesia
8 April 2020 9:30 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Budiman, dr MScPH PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Mencermati kajian-kajian yang dilakukan berbagai pakar terhadap situasi pandemi COVID-19 Indonesia, saya dapat membaginya menjadi dua jenis kajian.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah kajian dari beragam pakar dalam bidangnya. Kedua, kajian pakar yang bersifat off side. Dalam tulisan ini, saya akan memberi penjelasan terkait jenis kajian kedua, karena selain ini berpotensi mengurangi kewaspadaan juga pada kajian jenis pertama saya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari substansi tulisan para pakar yang memang sudah mumpuni di bidangnya.
Pertama, jenis kajian yang sesuai atau berdasar pada kepakaran bersangkutan. Semisal gagasan dan analisa Sosiolog ternama, Professor Imam Prasodjo terkait skema bantuan sosial pandemi COVID-19.
Kajian yang dilakukan seorang pakar dalam bidang yang digelutinya tentu akan sangat membantu pemerintah dalam mendapatkan opsi strategi atau solusi di tengah perang melawan virus SARS-CoV-2 ini.
Hal ini penting, karena dampak yang ditimbulkan pandemi COVID-19 tidak hanya pada sektor kesehatan saja, namun juga pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pandangan para ahli di bidang sosial, ekonomi, hukum dan lainnya akan sangat dibutuhkan dalam menyusun strategi penanganan pandemi yang komprehensif.
Selain, sebagaimana sering penulis sampaikan, bahwa dunia saat ini menghadapi penyakit baru yang bersifat eksponensial perkembangannya, artinya faktor waktu menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, masukan para pakar beragam ilmu yang tentunya telah memiliki jam terbang tinggi di bidangnya ini akan sangat membantu pemerintah mendapat opsi tercepat dan tepat karena mereka dengan mudah dapat menemukan masalah dan potensi penyelesaiannya.
Kedua, jenis kajian yang selain merupakan refleksi dari kepakaran penulisnya, namun tergoda untuk menyeberang pada bidang yang bukan keahliannya.
Sehingga sangat wajar bila ditemukan kesalahpahaman atau ketidaktepatan dalam analisa yang dilakukan. Ditambah lagi, COVID-19 adalah penyakit baru yang menjadi pandemi, sehingga banyak hal yang belum diketahui sehingga memerlukan kehati-hatian.
ADVERTISEMENT
Contoh tulisan seperti ini, adalah tulisan pakar ekonomi tentang "Hindari Lockdown" di Koran Kompas selasa, 7 April 2020, yang di dalamnya antara lain menyampaikan analisa bahwa daya papar COVID-19 telah mereda.
Ini pernyataan yang terlalu berani dan tidak sesuai dengan fakta epidemiologi pandemi COVID-19 baik di dunia maupun di Indonesia. Selain itu pernyataan seperti ini dapat mengendurkan upaya pencegahan yang terutama melibatkan masyarakat.
Mari kita perjelas, untuk pandemi serupa COVID-19, sejarah pandemi dan fakta saat ini menunjukkan pada negara dengan intervensi tidak optimal akan terdapat gelombang pertama kurva pandemi dengan puncak relatif cepat, yang selanjutnya akan melandai.
Pada puncak pertama ini, fakta yang terjadi di negara yang telah melewati gelombang kurva pertama, beban terhadap layanan kesehatan khususnya intensive care unit sangat besar dan tidak tertanggulangi disertai kematian yang tidak sedikit baik tenaga medis maupun masyarakat, meski disertai upaya social distancing yang optimal, seperti yang bisa kita lihat di China, Italia dan saat ini sedang terjadi di New York.
ADVERTISEMENT
Strategi pelandaian kurva pandemi suatu negara akan membuat situasi lebih terkendali dengan korban yang lebih sedikit. Hasil ini hanya dapat dicapai antara lain dengan masifnya tes dan tracing kasus yang dilakukan dengan social dan physical distancing yang ketat.
Hal yang perlu diketahui bahwa, meskipun sebelumnya di suatu wilayah atau negara, Virus SARS-CoV-2 telah berhasil dikendalikan, namun ketika upaya pengendalian dan pencegahan menjadi longgar maka virus ini dapat menimbulkan gelombang kedua.
Hal ini terjadi karena masih banyaknya populasi masyrakat yang belum memiliki kekebalan terhadap virus ini. Situasi ini dapat dicegah jika saja vaksin sudah ditemukan, namun secara perhitungan normal, setidaknya vaksin baru akan kita dapat di pertengahan tahun depan.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang perlu dipikirkan saat akan menentukan strategi karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar, karena adanya potensi jebakan tutup dan buka saat karantina atau pembatasan. Jebakan yang dapat timbul dalam pemilihan opsi lockdown dan release akan terjadi dimanapun di dunia ini selama vaksin belum ditemukan.
Hal ini, terbukti dan terjadi pada pandemi tahun 1918-1920, di mana beberapa kota dan negara yang telah merasa berhasil mengendalikan pandemi flu, kemudian membuka kembali kota dan melonggarkan social distancing dan intervensi lainnya. Sehingga timbul gelombang serangan kedua, yang memakan waktu hampir 2 tahun.
Bila kita kembali ke kondisi pandemi di Indonesia, maka berdasar data dan analisa epidemiologi, kondisi Indonesia masih dalam taraf awal kurva pandeminya.
ADVERTISEMENT
Pola penyebaran COVID-19 yang memiliki Ro atau angka reproduksi setidaknya dua, membuat penyakit ini akan terus memiliki potensi besar menular kepada manusia yang tidak memiliki kekebalan.
Pendekatan analisa pola dan tren terhadap suatu penyakit baru yang menjadi pandemi tidak sembarang ahli kesehatan memilikinya.
Perlu pemahaman tentang epidemiologi penyakit menular, ilmu terkait pandemi dan dukungan beragam data epidemiologi serta informasi ilmiah dari ahli virus dan para klinis yang menangani pasien.
Untuk selanjutnya semua data dan informasi ini dikaji menjadi rekomendasi kebijakan atau strategi pemerintah. Nilai lebih adalah jika penyusun strategi pandemi tersebut telah memiliki pengalaman dalam menangani pandemi sebelumnya.
Seperti halnya Dr. Fauci, seorang ahli global health security di Amerika Serikat yang telah berpengalaman menangani pandemi SARS dan Flu Burung sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini akan memberikan sentuhan dan kepercayaan tersendiri saat menyusun prediksi dan strategi pandemi. Ibarat kita naik pesawat, ada dua pilihan, pilot dengan jam terbang rendah atau pilot dengan jam terbang tinggi dan memiliki sertifikasi mumpuni.
Tim Penanganan Flu Burung Indonesia saat menghadiri pertemun internasional paska terkendalinya pandemi. dari kanan depan, Prof Fadilah, Prof Tjandra, Dr Dicky, Prof Agus dan ketua BPOM. Dok: Pribadi.
Di Indonesia pakar kesehatan yang terlibat penanganan pandemi SARS dan Flu Burung secara nasional, umumnya sudah pensiun dan sangat senior dan hanya beberapa saja yang penulis saksikan masih aktif, seperti Dr Nyoman Kandun (FETP), Prof Tjandra (WHO) dan Prof Agus Purwadianto (FKUI).
Penulis sendiri hanya terlibat di penanganan pandemi flu burung, bersama para senior mendampingi Prof. Fadilah Supari (Mantan Menkes).
Sedangkan saat pandemi SARS penulis tengah Pendidikan epidemiologi di Australia dengan penelitian penyakit menular HIV & AIDS yang juga telah menjadi pandemi saat itu.
ADVERTISEMENT
Semoga penjelasan ini dapat kembali menyadarkan kita semua bahwa, kondisi pandemi COVID-19 Indonesia masih dalam tahap perkembangan awal menuju puncak yang masih memungkinkan diminimalisir dampaknya dengan intervensi klasik pandemi, yaitu test, trace, treat, isolate ditambah social dan physical distancing yang masif. Dan masukan para ahli terkait sangat diperlukan.