‘Loh Kok Podcast?’ Ketika Anak Daerah Menertawakan Jakarta

Dicky Setyawan
Mahasiswa Universitas Surakarta.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2021 5:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Setyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi podcast. Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi podcast. Sumber: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Tak sedikit podcast yang mengangkat kehidupan anak daerah, tak sedikit podcast yang mudah memantik tawa, tapi hanya sedikit podcast ‘anak daerah’ yang ‘lucu’ serta dengan ‘gamblang menertawakan Jakarta’. Satu di antaranya adalah ‘Loh Kok Podcast?’. Podcast yang lahir di bawah naungan ‘HAHAHA Corp’ serta dibawakan oleh Arie Kriting, Soleh Solihun dan Bene Dion di platform Spotify.
ADVERTISEMENT
Dunia hiburan menjadi irisan yang membuat mereka bertemu, utamanya industri stand-up comedy dan film. Ya, Arie Kriting merupakan komika asal Wakatobi, yang kini juga terjun sebagai aktor film. Sementara Soleh Solihun dulunya merupakan seorang wartawan dari Bogor yang kini besar di dunia stand-up comedy dan film. Serta Bene Dion merupakan komika asal Tebing Tinggi yang kini juga dikenal sebagai sutradara.
Sebenarnya podcast ini selalu membawakan tema yang serupa di tiap episode-nya, yaitu pengalaman culture shock ketika mereka menginjakkan kaki di Jakarta. Maka mendengarkan mereka bercerita tak lain seperti mengumpulkan kisi-kisi kehidupan Jakarta yang bakal dirasakan anak daerah, utamanya perantau ketika harus hidup menetap di Jakarta.
Latar belakang komedi memang membuat ‘Loh Kok Podcast’ nampak ‘ringan’, ‘asyik’, serta ‘jaminan lucu’ di setiap episode-nya. Ya, saya yakin “jaminan lucu” tadi merupakan beban bagi sebagian besar stand-up comedian. Faktanya mereka memang tak absen dalam membungkus narasi menjadi komedi. Pun di balik balutan komedinya, mereka berhasil menjadikan ‘Loh Kok Podcast?’ menjadi sarat akan kritik sosial. Tentang bagaimana anak daerah memandang kemajuan Jakarta dan ketimpangan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Seperti ketika Arie Kriting dan Bene Dion membandingkan jalanan di Jakarta dengan jalanan di luar jawa, dalam episode “Loh Kok: Kesasar di Ibukota”. Narasi kebingungan Arie Kriting dan Bene Dion seolah memberikan gambaran, seberapa luas Indonesia, ketimbang hanya memandang dari kacamata Jakarta saja. Kaitanya dalam pembangunan infrastruktur.
Atau Jakarta sentris dunia hiburan dalam episode “Loh Kok: Ketemu Artis di Tempat Umum”. Di mana, dalam kacamata anak daerah, artis dunia hiburan dengan embel-embel “Artis Ibukota” sering membuat masyarakat luar Jakarta silau. Di mana “Ibukota” telah menaikkan taraf dan menjadi tolak ukur kebintangan seseorang. Pun kegagapan Arie Kriting dan Bene Dion dalam episode “Loh Kok: Speaking-speaking English Jaksel” secara tidak langsung seolah menyentil budaya keminggris ala anak muda urban, utamanya di Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Kenapa Arie Kriting dan Bene Dion? Ya, karena di podcast ini Soleh Solihun lebih sering tampil menjadi pihak penetral. Entah karena kedekatan budaya antara Bogor dan Jakarta yang membuat Soleh Solihun memberikan porsi lebih banyak ke Arie Kriting dan Bene Dion. Entah karena latar belakang Soleh Solihun sebagai wartawan yang terbiasa melontarkan pertanyaan tajam, yang membuatnya seolah menjadi pihak yang lebih sering mengiringi obrolan di antara ketiganya. Tapi cerita Soleh Solihun juga tak kalah menariknya.
Ketiga komika ini juga tak beda jauh dengan komika-komika lainnya dalam membangun podcast dengan format tongkrongan serta obrolan yang ngalir. Satu yang membuat saya tertarik pada ketiganya ialah soal durasi. Seringkali podcast bergaya tongkrongan memiliki durasi yang panjang, antara setengah sampai satu jam. Sementara, ‘Loh Kok Podcast?’ nampak nyaman dengan durasi yang tak pernah lebih dari lima belas menit. Kehadiran mereka dengan durasi ringkas tentu menjadi angin segar di antara gempuran podcast-podcast bergaya serupa dengan durasi yang panjang. Orgasme yang sama, dengan durasi yang lebih singkat. Bagi saya ini menarik.
ADVERTISEMENT
Tapi, rampingnya durasi bukan berarti ‘Loh Kok Podcast?’ sudah cukup dikatakan sempurna. Bukan berarti pula tak ada basa-basi di antara ketiganya. Masih ada. Walau sebenarnya saya sendiri tak masalah, tapi beberapa distraksi seperti di menit-menit akhir episode “Loh Kok: Speaking-speaking English Jaksel” cukup mengganggu bagi pendengar seperti saya. Terlepas dari itu semua, ketiganya sudah cukup membuat saya antusias untuk menertawakan Jakarta dan menunggu episode-episode terbaru mereka di hari Rabu. Bagaimana dengan kamu?