news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pengalaman Anosmia dan Nikmat Indra Penciuman yang Mahal Harganya

Dicky Setyawan
Mahasiswa Universitas Surakarta.
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2021 15:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Setyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anosmia, kehilangan indra penciuman penyintas Covid-19 (freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Anosmia, kehilangan indra penciuman penyintas Covid-19 (freepik.com)
ADVERTISEMENT
Anosmia atau hilangnya indra penciuman, merupakan salah satu gejala yang umum dirasakan penyintas COVID-19. Dan jika seketika Anda mengalaminya, saya pikir Anda akan merasakan kecemasan dan menyadari betapa mahalnya indra penciuman. Seperti yang saya rasakan beberapa minggu lalu, ketika secara sadar-tidak sadar, gejala itu datang ‘makjegagik’ dalam sekejap malam.
ADVERTISEMENT
Saya pikir hampir semua penyintas COVID-19 juga merasakan kekagetan yang sama, denial seolah-olah tidak layak di-diagnosis COVID-19. Saya pun demikian, walau setelah di-tracking, ternyata saya punya riwayat kontak dengan beberapa orang yang kemudian saya sadari mengalami hal serupa. Penyanggahan tersebut awalnya saya yakini, karena di malam sebelum mengalami demam, saya sempat tidur di ubin. Entah bagaimana malam itu saya memutuskan demikian.
“Alah, paling masuk angin,” pikir saya, lantas saya sendiri sering mengendus pergelangan tangan yang sengaja saya semprot parfum isi ulang. Masih aman, pikir saya. Hingga selang beberapa hari, penciuman makin memudar, dan hilang sama sekali. Dan parfum isi ulang, adalah bau-bauan terakhir yang bisa saya endus sebelum kehilangan total indera penciuman. Singkat cerita saya mengalami anosmia hampir dua minggu lamanya.
ADVERTISEMENT
Walau saya mesti membatasi keluar rumah, dan mati indra penciuman selama itu, patut disyukuri juga, saya tak mengalami gejala berat lainnya. Alhamdulillah, pikir saya. Tapi kehilangan indra penciuman juga bukan perkara sepele. Perlu diingat, saya hanya mengalami mati suri indra penciuman, sedangkan saya masih bisa merasakan makanan, dan minuman. Tapi, rasa tanpa aroma ternyata sebuah kesia-sian.
Yang signifikan saya rasakan adalah ketika menikmati seporsi mi goreng instan. Sebelumnya, saya berpikir mi goreng instan adalah inovasi terbesar skena makanan lokal. Dan, selama saya anosmia, saya menyadari, mi goreng instan tanpa aroma itu hanya mi-mi-an biasa. Hambar, biasa aja. Tidak se-luar biasa jika kita menikmatinya sambil mengendus bumbunya.
Lebih lagi, saya sendiri merupakan perokok. Yang selama anosmia, saya memutuskan “gantung korek” selama hampir dua pekan. Bukan hanya guna mempercepat proses penyembuhan, lebih karena rokok tak senikmat biasanya. Sebuah kebiasaan baru, dunia tanpa rokok, kopi tanpa rokok, dan buang air tanpa rokok. Sisi bagusnya, saya sejenak punya alasan yang tidak bisa ditentang untuk berhenti merokok. Hikmah, walau sedikit menyiksa. Pikir saya.
ADVERTISEMENT
Kehilangan indra penciuman nyatanya tak se-menyenangkan seperti Patrick di kartun SpongeBob SquarePants. Mungkin orang akan berpikir, bahwa selama kehilangan penciuman, Anda akan menikmati dunia tanpa siksaan, seperti buang air tanpa aroma kotoran. Tapi kadang saya juga merindukan momen di saat saya melawan aroma kotoran dengan menyembul asap pekat rokok sambil berkonsentrasi di kamar mandi.
Anosmia semakin menyiksa, termasuk saya yang absen dengan kebiasaan jorok saya selama anosmia. Jujur saja, saya gemar mengendus aroma badan saya sendiri. Ya, seperti Joachim Loew di pinggir lapangan kala memandu tim Jerman berlaga. Kebiasaan buruk, walau di sisi lain, kebiasaan ini bukan hanya sebagai pemuas hasrat nakal otak saya saja, tapi juga sebagai pendeteksi, kapan saya mesti mandi, atau mesti menganti baju. Artinya, selama itu, ada kepuasan yang tak kunjung terpenuhi, dan saya tidak tahu kapan saya semestinya untuk segera memutuskan untuk mandi.
ADVERTISEMENT
Dan dua pekan berjalan, seiring dengan terapi makan bawang seperti yang direkomendasikan, saya perlahan kembali sedikit bisa mencium bau-bauan. Untuk memastikan, saya hanya berusaha menyemprot parfum isi ulang, lantas mengendusnya. Dan, saya kembali merasakan semerbak parfum isi ulang. Bau terakhir dan bau pertama, sebelum dan sesudah anosmia.
Sementara itu, saya memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali merasakan aroma bau badan dan semerbak bumbu mi goreng instan. Padahal, jujur saja, dua bau-bau-an ini yang paling saya rindukan kala itu.
Selama itu saya juga menyadari, bahwa merasakan aroma berbagai bau-bauan, baik yang menggugah selera, memuaskan hasrat, atau sekadar bau menyengat yang menjijikan, merupakan salah satu kenikmatan duniawi yang mahal betul harganya, bahkan tak bisa dibeli dengan tabungan uang dari saya berhenti merokok. Dan saya hanya berharap kalian tak sempat mengalami penyiksaan semacam itu. Semoga. Dan untuk kalian yang masih berjuang, semoga lekas sembuh. Amin.
ADVERTISEMENT