Dewan Perwakilan Rakyat: Antara Forum Rakyat dan Jaring Oligarki

Dicky Riandy
Mahasiswa Politik Pemerintahan, FISIPOL UGM
Konten dari Pengguna
23 November 2021 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Riandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gedung DPR RI. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gedung DPR RI. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Bergulirnya gelombang reformasi menandai babak baru bagi peta perpolitikan Indonesia lantaran menciptakan pergeseran dalam demokratisasi kelembagaan negara, khususnya DPR RI sebagai lembaga legislatif. Dalam konteks ini, DPR RI menjadi salah satu dari sekian banyak yang mengalami pergeseran posisi, relasi, dan fungsi terkait kekuasaan kelembagaan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka menjadi menarik untuk melihat bagaimana dinamika yang terjadi dalam DPR itu sendiri. Stephen Sherlock (2010) lantas dalam tulisannya menjelaskan dinamika DPR pasca reformasi ke dalam tiga bagian pembahasan. Pertama, yakni peran DPR yang mana digambarkan mengalami kecenderungan menguat seiring dengan diadakannya pemilu dan amandemen konstitusi. Kedua, yakni praktik pengambilan keputusan DPR yang mana mengindikasikan konsentrasi kekuatan elit politik dan oligarki. Ketiga, yaitu fungsi DPR yang digambarkan sebagai institusi yang menjadi saluran ide dan suara rakyat sekaligus sebagai arena mempertahankan kekuasaan. Dengan mendalami ketiga pembahasan yang ada, maka nantinya dapat dilihat corak dari DPR itu sendiri yakni campuran antara forum rakyat dan jaring oligarki.
ADVERTISEMENT
Masuk ke bagian pertama, amandemen konstitusi secara umum telah merubah wajah parlemen. Hal ini ditandai dengan hadirnya tiga lembaga legislatif yang bekerja dalam kerangka bikameral yaitu DPR dan DPD – tergabung dalam MPR. Namun, dalam praktiknya parlemen bekerja dalam kerangka unikameral dimana DPR memiliki kekuasaan lebih dibanding DPD untuk mengesahkan dan mengubah berbagai produk undang-undang. Lebih khusus, kekuasaan tersebut tercemin secara eksplisit melalui pasal-pasal yang terdapat dalam amandemen UUD 1945 meliputi; (1) DPR berwenang membuat inisiatif undang-undang dimana sebelumnya DPR hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap undang-undang yang dibuat oleh eksekutif, (2) DPR berwenang dalam menyeleksi berbagai pejabat lembaga negara seperti MA, MK, dan KY, (3) DPR akan menerima laporan dan mengangkat anggota BPK, (4) DPR menyetujui pengangkatan duta besar serta panglima TNI dan Kapolri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, DPR juga berhak melakukan pengawasan kegiatan lembaga-lembaga eksekutif. Hal ini mengindikasikan bahwasannya kekuasaan lembaga pasca reformasi cenderung lebih berat ke legislatif dibandingkan eksekutif. Meskipun begitu, kekuasaan yang ada tidak benar-benar absolut lantaran DPR tetap saja membutuhkan Pemerintah sebagai mitra pembuatan undang-undang serta tidak dapat melakukan pemakzulan secara langsung kepada Presiden.
Beranjak ke bagian kedua, kekuasaan elit politik dan oligarki memang cenderung lebih dominan dalam penetapan keputusan di DPR. Hal ini disebabkan oleh kurang detailnya peraturan tata tertib DPR yang seperti kepanitiaan, jenis pertemuan yang dapat diadakan, serta tata cara mengadakan rapat dan pengambilan keputusan sehingga memberikan banyak “keleluasaan” kepada anggota DPR untuk berperilaku sesuai keinginan. Lebih jauh, setidaknya terdapat dua aspek utama guna memahami praktik kerja yang “leluasa” oleh DPR yakni kekuatan komisi dan musyawarah mufakat. Pertama, komisi sebenarnya memiliki andil terbesar dalam pembuatan serta penetapan rancangan undang-undang dibandingkan sesi paripurna. Hal tersebut dikarenakan memang komisi menjadi gerbang utama dalam pembahasan isu-isu tertentu yang mana telah terbagi ke dalam beberapa konsentrasi bidang (kompartementalisasi). Praktik kompartementalisasi ini secara tidak langsung menjadikan DPR sebagai institusi yang terbalkanisasi dimana pembahasan suatu isu hanya “dikuasai” dan mesti “dituntaskan” oleh satu komisi, sementara yang lain cenderung tidak.
ADVERTISEMENT
Kedua, musyawarah sebagai media pengambil mufakat menjadi pilihan utama dibandingkan dengan voting. Dalam praktiknya, musyawarah secara tidak langsung “mendorong” tiap-tiap individu untuk mencapai kemufakatan yang bulat melalui satu perwakilan (ketua fraksi partai). Praktik semacam ini memperlihatkan prosedur yang tidak transparan lantaran suara ketidaksetujuan individu/kelompok sebisa mungkin diminimalkan melalui “lobi” tertutup untuk mencapai kesepakatan, dan jika tidak tercapai maka individu/kelompok berhak mendaftarkan catatan keberatan dengan kondisi tetap “menghormati” kesepakatan yang telah ada secara mengikat. Alhasil, hal tersebut mengarah pada praktik rent seeking dimana menjadi rahasia umum yang terus menerus terjadi dalam DPR.
Beralih ke bagian ketiga, pemilu membawa tekanan elektoral yang kuat bagi DPR untuk lebih terbuka dan dapat diakses oleh publik. Hal ini terjadi lantaran politisi dalam hal ini anggota DPR menghadapi tuntutan dari konstituen mereka untuk berbagai bentuk perbaikan. Lebih jauh, DPR pun menjalankan praktik translasi dimana “suara rakyat” dikonversikan sebagai basis kerja DPR untuk mengawasi serta menyelidiki beberapa isu serta kasus penting seperti Lumpur Lapindo, Prita Mulyasari, dan Bank Century sebagai wujud akuntabilitas. Akibatnya, DPR setidaknya menjadi semacam forum rakyat yang mana sebagai media untuk menyalurkan ide dan informasi rakyat itu sendiri sehingga mendukung sedikit banyak praktik dari demokrasi.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan itu, peranan DPR yang semacam itu juga menjadi kebutuhan politik yang tidak terelakkan bagi anggota DPR dalam proses pemilu berikutnya. Meskipun nampak saling “menguntungkan” bagi kedua belah pihak dengan adanya tanda-tanda perbaikan, nyatanya kerja dari DPR tidak sepenuhnya akuntabel. Hal ini disebabkan oleh praktik kompartementalisasi yang mana menunjukkan kondisi DPR yang terkotak-kotak dalam bentuk komisi dengan kecenderungan tertutup pada diskusi yang terbuka dan konsultatif bersama pihak-pihak lain – undang-undang pornografi menjadi preseden buruk atas praktik DPR yang tidak melakukan konsultasi publik. Selain itu, tidak akuntabelnya DPR dapat dilihat dengan minimnya transkrip verbatim bagi publik dalam setiap persidangan pembahasan undang-undang – ketersediaan transkrip menjadi standar yang baik untuk badan legislatif yang demokratis. Dengan kata lain, DPR belum sepenuhnya mengembangkan prosedur maupun infrastruktur yang dapat diakses oleh publik secara rutin.
ADVERTISEMENT
Merangkum pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya demokratisasi kekuasaan kelembagaan di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan terhadap keberadaan parlemen khususnya DPR. Perubahan yang signifikan tersebut bagaikan dua sisi mata pisau yang mana memiliki pengaruh baik dan buruk secara bersamaan. Membicarakan sisi baiknya, setidaknya ada dua poin penting yang perlu diulas yaitu: (1) DPR cukup menguat dari sisi kelembagaan baik dalam posisi serta fungsi yang mana menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan secara lebih leluasa dibandingkan sebelum reformasi, (2) DPR hadir sebagai institusi yang cukup representatif bagi rakyat lantaran mekanisme pemilu demokratis yang diterapkan sehingga dapat memberi tekanan kepada DPR itu sendiri sebab telah terbentuk jaringan konstituen yang mesti dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Sementara berbicara sisi buruknya, terdapat satu poin utama yang mesti disorot yaitu DPR menjalankan praktik kompartementalisasi yang berpusat pada kekuatan komisi dan musyawarah mufakat sehingga secara tidak langsung menciptakan jaringan kroni. Selain itu, DPR juga berkontribusi terhadap keberadaan oligarki yang berjejaring dengan Pemerintah melalui transaksi politik yang “difasilitasi” oleh partai politik. Alhasil, Stephen Sherlock berhasil memotret dinamika yang ada dalam DPR pasca reformasi sebagai institusi yang sedikit banyak terdapat jaringan kroni dan oligarki, disamping sebagai forum rakyat.
Referensi
Sherlock, S., 2010. The Parliament in Indonesia's Decade of Democracy: People's Forum or Chamber of Cronies?. In: E. Aspinall & M. Mietzner, eds. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, pp. 160-178.
ADVERTISEMENT