Krisis Iklim Global: Catatan dan Rekomendasi Persiapan KTT G20 Indonesia

Dicky Riandy
Mahasiswa Politik Pemerintahan, FISIPOL UGM
Konten dari Pengguna
9 Februari 2022 13:32 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Riandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Krisis Iklim. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Krisis Iklim. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengantar
Krisis iklim kini semakin menjadi isu hangat yang diperbincangkan dalam berbagai forum baik lokal maupun global. Bagaimana tidak, perubahan iklim yang semakin masif memungkinkan ancaman serius bagi keberlangsungan makhluk hidup di masa depan dengan menurunnya kualitas dan kapasitas bumi sebagai tempat tinggal. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021 menyatakan bahwa terjadi beberapa gejala perubahan iklim yang begitu signifikan selama sepuluh tahun terakhir (McGrath, 2021). Pertama, suhu permukaan global 1,09 derajat celcius lebih tinggi antara tahun 2011-2020 dibandingkan tahun 1850-1900. Kedua, tingkat kenaikan permukaan laut baru-baru ini nyaris tiga kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 1901-1971. Kondisi yang demikian berujung pada intensifikasi bencana seiring dengan peningkatan emisi karbon dan gas rumah kaca (Jalal, 2021).
ADVERTISEMENT
Tidak lama berselang setelah laporan IPCC keluar, United Nations menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim melalui forum Conference of the Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia. Forum COP26 ini merupakan lanjutan dari Perjanjian Paris pada 2015 untuk menentukan langkah dalam menyusun target dekarbonisasi. Dalam forum yang diikuti 121 kepala negara tersebut, terdapat empat fokus pembahasan yaitu mengakhiri deforestasi dengan bantuan keuangan, mobilisasi dana untuk negara-negara berkembang, penyusunan aturan untuk pasar karbon global, dan pentingnya peralihan ke kendaraan listrik.
Di akhir forum, COP26 memiliki empat kesepakatan bersama yang harus dipenuhi (Ramadhan, 2021). Pertama, pendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim. Kedua, kompensasi dari negara-negara maju atas dampak yang akan menimpa mereka. Ketiga, uang dari kelompok negara maju untuk membantu mereka menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan, Keempat, memastikan komitmen setiap negara untuk mencapai target 2050, yaitu nol emisi dan pengurangan karbon secara progresif pada 2030.
ADVERTISEMENT
Dalam forum COP26, Indonesia pun menyampaikan beberapa komitmen serta capaian dalam penanganan krisis iklim. Komitmen tersebut tercatat dalam dokumen terbaru Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 yang intinya meliputi pengurangan emisi gas rumah kaca (sebesar 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional), pencapaian penggunaan utama energi baru terbarukan, serta pencapaian Net-Zero Emission (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021).
Melalui pidato Presiden Joko Widodo, disampaikan juga bahwa Indonesia telah berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim dengan menurunkan laju deforestasi dan kebakaran hutan sebesar 22%, memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare, serta merehabilitasi 3 juta lahan kritis selama tahun 2010-2020 (Kementerian Sekretariat Negara, 2021).
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan momentum yang ada, Indonesia sejatinya dapat menjadi katalisator bagi negara-negara lain. Terlebih, Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah Presidensi G20 di tahun ini. Sejalan dengan hal itu, lantas apa saja yang perlu diperhatikan dalam agenda penanganan krisis iklim di G20? Serta bagaimana langkah konkret yang perlu diambil?
Presidensi G20 Indonesia: Transisi Energi
Dalam World Economic Forum 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan keseriusan terhadap persiapan pelaksanaan Presidensi G20 dengan tema besar “recover stronger, recover together”. Setidaknya terdapat tiga prioritas utama yang akan diangkat yaitu penataan kembali arsitektur kesehatan global agar lebih inklusif dan tanggap terhadap krisis, optimalisasi teknologi digital untuk transformasi ekonomi, serta transisi energi yang lebih ramah lingkungan dengan penyediaan teknologi dan pendanaan yang mumpuni (Kementerian Sekretariat Negara, 2022). Terkait dengan sektor transisi energi, Indonesia sendiri telah melakukan beberapa strategi dalam kerangka ekonomi hijau.
ADVERTISEMENT
Pertama, pembangunan rendah karbon sebagaimana Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang. Kedua, kebijakan net zero emissions dan net sink sektor kehutanan dengan penerbitan peta jalan masing-masing di tahun 2060 dan 2030. Ketiga, stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau melalui penerbitan green sukuk dan government bonds. Ketiga strategi tersebut juga diikuti dengan sejumlah upaya konservasi dan restorasi lingkungan, sebagaimana yang telah disampaikan dalam forum COP26.
Tidak berhenti di situ, Indonesia juga membuat terobosan di sektor ketenagalistrikan dalam mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) bersama Filipina dan Vietnam dengan menggandeng Asian Development Bank (ADB). Di bawah skema ini, sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 9,2 gigawatt akan dipensiunkan dini untuk kemudian digantikan dengan sumber energi bersih (Sinaga, 2022).
Ilustrasi KTT G20. Foto: Shutterstock
Mekanisme Transisi Energi: Catatan dan Tantangan
ADVERTISEMENT
Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) adalah program yang diinisiasi untuk meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol. Dalam perencanaannya, ETM dibangun sebagai suatu bentuk pembiayaan campuran yang dirancang untuk mempercepat penghentian batu bara dan membuka investasi bersih dan ekonomi hijau (Saputra, 2021). Sejalan dengan itu, ETM pun membawa prinsip adil dan terjangkau. Artinya, kemampuan membayar oleh masyarakat dan industri serta perluasan akses energi menjadi hal penting yang harus diperhatikan. ETM ini selanjutnya menjadi komitmen yang tegas bagi Indonesia untuk pembangunan energi bersih yang berkelanjutan.
Meskipun terlihat menjanjikan, nyatanya ETM ini masih menemui beberapa kendala dalam perjalanannya (Saputra, 2021). Pertama, dibutuhkan pembiayaan untuk mengurangi aktivitas yang membutuhkan sumber daya batu bara. ETM harus membantu mobilisasi dana dengan biaya yang lebih murah untuk penghentian pembangkit listrik batu bara. Kedua, dibutuhkan pembiayaan yang rendah biaya untuk membangun energi terbarukan sebagai respons dari permintaan yang terus bertumbuh. ETM ini lantas sebagai wujud investasi dua sisi, satu sisi untuk menghilangkan polluter dan di sisi lain membangun energi yang baru dan lebih bersih. Ketiga, perlu penyusunan bauran kebijakan dari perspektif ekonomi politik untuk mendukung ETM. Saat ini ETM terganjal oleh setidaknya dua persoalan regulasi yang masih prematur yaitu Special Mission Vehicle (SMV) atau Investment National Authority (INA) dan carbon market (mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon).
ADVERTISEMENT
Hampir serupa, Institute for Essential Services Reform (2021) dalam laporannya pun menyebutkan setidaknya empat tantangan yang mesti dihadapi Indonesia dalam rangka transisi energi. Pertama, komitmen pemerintah daerah yang masih minim terhadap upaya dekarbonisasi. Berdasarkan data yang dihimpun, hanya terdapat 20 dari 34 provinsi yang memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan hanya 4 provinsi yang sanggup menempatkan lebih dari 50% energi baru terbarukan sebagai sumber energi utama di tahun 2050. Kedua, kesadaran dan partisipasi yang rendah dari perusahaan swasta lokal untuk menerapkan net-zero target. Data menunjukkan bahwa hanya terdapat 6 dari 28 perusahaan yang mempunyai net-zero target dan hanya 3 perusahaan yang berkomitmen untuk benar-benar mencapai net-zero target di tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penjualan unit dan ketersediaan infrastruktur yang kurang dari kendaraan listrik. Berdasarkan data yang dikumpulkan, hanya terdapat 654 unit mobil listrik yang terjual di tahun 2021 atau hanya 1% dari target 2 juta mobil listrik di tahun 2030. Lalu, hanya terdapat terdapat 187 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dari target 572 SPKLU dan 153 Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) dari target 3000 SPBKLU. Keempat, ketersediaan bahan bakar bersih yang relatif masih kurang. Data mengungkapkan bahwa saat ini hanya biodiesel yang tersedia, sementara bahan bakar lainnya seperti listrik dan hidrogen masih kurang. Bahkan harga biodiesel sendiri masih relatif lebih mahal – selisih Rp3.000,00 – dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi Transisi Energi: Keadilan Iklim dan Pentahelix
Dalam mewujudkan transisi energi secara komprehensif maka konsep keadilan iklim antar generasi dapat diterapkan. Melalui implementasi keadilan antar generasi, negara menjamin hak hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Weiss (1990) menyatakan tiga poin yang sekiranya selaras dengan tujuan dari transisi energi.
Pertama, perlindungan opsi, yang berarti perlindungan terhadap keberagaman pilihan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh generasi yang akan datang termasuk di dalamnya pengembangan teknologi dan penciptaan alternatif bagi sumber daya yang tersedia.Kedua, perlindungan akses, yang berarti adanya pemberian hak dan akses terhadap sumber daya alam tidak hanya generasi yang akan datang tetapi juga bagi sesama anggota generasi saat ini. Ketiga, perlindungan kualitas, yang berarti generasi saat ini memikul beban untuk memastikan bahwa generasi yang akan datang akan menikmati kualitas lingkungan yang sama dengan generasi saat ini.
ADVERTISEMENT
Implementasi keadilan iklim secara lebih jauh dapat diterapkan dengan strategi pentahelix. Pentahelix sendiri merupakan pengembangan kolaboratif yang mana menerapkan kerja sama antar elemen dalam hal ini meliputi unsur ABCGM yakni academic, business, community, government, dan media (Yunas, 2019). Selanjutnya, kelima elemen yang ada memiliki peranannya masing-masing.
Pertama adalah unsur akademisi sebagai kekuatan pengetahuan (knowledge power) yang mana berperan dalam hal penelitian dan pengembangan. Kedua adalah unsur swasta sebagai kekuatan modal (resources power) yang mana berperan dalam hal produksi serta distribusi. Ketiga adalah pemerintah sebagai kekuatan politik (political power) yang mana berfungsi untuk merumuskan kebijakan dan peraturan melalui sebuah keputusan. Keempat adalah masyarakat sipil sebagai kekuatan sosial (social power) yang mana berfungsi untuk memperkuat sekaligus memberikan feedback. Kelima adalah media sebagai kekuatan komunikasi (communication power) yang mana berfungsi untuk penyebarluasan sekaligus publikasi informasi. Dengan demikian, transisi energi dapat benar-benar terwujud secara berkelanjutan sekaligus sebagai upaya penanganan krisis iklim yang semakin mendesak.
ADVERTISEMENT
Referensi
IESR. (2021). Indonesia Energy Transition Outlook 2022: Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia, Aiming for Net-Zero Emissions by 2050. Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR).
Jalal. (2021, August 25). Indonesia dan Laporan Penilaian Keenam IPCC, Bagaimana Harusnya Kita Berubah? Retrieved from Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2021/08/25/indonesia-dan-laporan-penilaian-keenam-ipcc-bagaimana-harusnya-kita-berubah/
Kehutanan, K. L. (2021, December 24). Refleksi KLHK 2021: Capaian Kinerja Pengendalian Perubahan Iklim. Retrieved from PPID Kementerian LHK: http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6349/refleksi-klhk-2021-capaian-kinerja-pengendalian-perubahan-iklim
McGrath, M. (2021, August 10). Perubahan Iklim: Suhu Terpanas dalam Sejarah, Gelombang Panas Lebih Intens, Laporan IPCC Berisi ‘Kode Merah bagi Umat Manusia’. Retrieved from BBC Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58146664
Negara, K. S. (2021, November 2). Pidato Presiden Republik Indonesia Di KTT COP 26. Retrieved from Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden: https://www.presidenri.go.id/transkrip/pidato-presiden-republik-indonesia-di-ktt-cop-26/
ADVERTISEMENT
Negara, K. S. (2022, January 20). Pidato Presiden Republik Indonesia Pada World Economic Forum: State Of The World Address. Retrieved from Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden: https://www.presidenri.go.id/transkrip/pidato-presiden-republik-indonesia-pada-world-economic-forum-state-of-the-world-address/
Ramadhan, F. (2021, November 4). Poin Penting COP26 Glasgow. Retrieved from Tempo: https://grafis.tempo.co/read/2855/poin-penting-cop26-glasgow
Saputra, D. (2021, November 5). Di COP 26, Sri Mulyani Beberkan Mekanisme Transisi Energi Bersih Indonesia. Retrieved from Bisnis: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211105/9/1462283/di-cop-26-sri-mulyani-beberkan-mekanisme-transisi-energi-bersih-indonesia
Sinaga, Y. (2022, February 2). Indonesia dan Isu Transisi Energi dalam Fokus Presidensi G20. Retrieved from Antara News: https://www.antaranews.com/berita/2678677/indonesia-dan-isu-transisi-energi-dalam-fokus-presidensi-g20