Netralitas: Bagaimana Media dan Jurnalis Seharusnya Bersikap?

Dicky Riandy
Mahasiswa Politik Pemerintahan, FISIPOL UGM
Konten dari Pengguna
29 Juli 2021 16:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Riandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jurnalis. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jurnalis. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Netralitas sering menjadi topik percakapan dalam kaitannya mengenai bagaimana seharusnya organisasi media bekerja. Hal ini terjadi lantaran rezim pengetahuan dalam kajian jurnalisme menjelaskan bahwasannya media dan jurnalis harus berjarak dan bersikap dingin terhadap objek yang diliputnya (Utomo, 2021). Netralitas lalu menjadi standar ideal bagi organisasi media dimana mesti memberikan ruang yang sama terhadap pihak-pihak yang diberitakan tanpa menaruh interpretasi (bebas nilai). Namun demikian, netralitas agaknya hanya menjadi mitos belaka.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, terma netralitas dalam organisasi media memiliki sedikit banyak persoalan baik secara kultural maupun struktural. Shoemaker dan Reese (1996) memaparkan bahwa produk pemberitaan media dipengaruhi oleh setidaknya dua lapis hierarki. Pertama, yakni individuals yang meliputi unsur latar belakang dan karakteristik pekerja media (nilai personal jurnalis). Kedua, yakni routine practices yang mencakup keseharian pekerja media dalam media groupthink (pengaruh ruang redaksi). Melihat kedua hal tersebut, maka netralitas media secara kultural tidak dapat terwujud.
Tidak berhenti di situ, Chomsky dan Herrman (1988) bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa media tidak mungkin bersikap netral. Dalam konteks ini, media bekerja melalui setidaknya empat filter. Pertama, media ownership yakni kepemilikan media yang biasanya dimiliki oleh konglomerat guna kepentingan dan kebutuhannya terhadap kepentingan tertentu. Kedua, advertising money yakni pengiklan media yang digunakan untuk pembiayaan organisasi media sekaligus pemasaran bagi pengiklan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketiga, media elites yaitu elite media yang mengontrol redaksi atau narasi berita dengan sumber-sumber tertentu. Keempat, flack and the enforcers yaitu ancaman serta aturan tertentu yang ditetapkan terhadap jurnalis dalam membuat berita. Berangkat dari keempat hal itu, maka secara struktural pun netralitas dalam media tentu saja tidak ada.
Kredo bahwa media harus berada dalam posisi yang netral menjadi tidak relevan lagi. Justru, media sudah seharusnya memiliki standing position atau lebih tepatnya keberpihakan. Dalam konteks ini, keberpihakan tidak serta merta membuat media dan jurnalis menerobos prinsip dan etika jurnalisme yang telah ada. Namun, keberpihakan di sini dimaknai sebagai independensi media dan jurnalis – berpegang teguh pada nilai tertentu yang terlepas dari intervensi pihak mana pun – terhadap suatu isu.
ADVERTISEMENT
Independensi ini mesti didasarkan pada kebenaran fakta dan data yang didapatkan dengan berbagai metode seperti observasi, penelusuran dokumen, wawancara, dan lain sebagainya. Melalui metode-metode tersebut, tak ayal jurnalis dapat memperoleh kebenaran sehingga membawa media kepada keberpihakan. Pada gilirannya, hal tersebut dapat menjadi hal yang positif lantaran media bisa menjadi kompas moral bagi publik (Utomo, 2021).
Lebih lanjut, media pun secara positif dapat menjalankan kewajibannya dalam kerja jurnalisme. Mengutip Kovach dan Rosenstiel (2001), dijelaskan bahwa media mesti memiliki loyalitas terhadap kepentingan warga atau publik, yang mana hal tersebut hanya dapat dicapai dengan keberpihakan media terhadap publik itu sendiri.
Ilustrasi Organisasi Media. Foto: Freepik
Keberpihakan media yang didasarkan oleh kebenaran kini digemakan dalam percakapan publik. Beberapa jurnalis atau pegiat media misalnya menyatakan bahwa keberpihakan media bukanlah merupakan suatu masalah. Mengutip tulisan Siahaan (2020), dipaparkan bahwa tidak ada media yang benar-benar netral.
ADVERTISEMENT
Ketidaknetralan atau selanjutnya dikenal keberpihakan ini tercermin dari posisi serta pembingkaian yang diambil oleh media kepada isu-isu publik. Posisi media terhadap suatu isu tersebut seharusnya tidak mempengaruhi kualitas produk berita yang dihasilkan lantaran terdapat kemutlakan elemen jurnalisme yakni faktual dan akurat. Dengan kewajiban mengedepankan kedua elemen itu, maka secara tidak langsung akan diperoleh kebenaran yang kemudian mengantarkan media serta jurnalis kepada posisi dan sikap yang diyakininya (berpihak).
Lebih jauh, keberpihakan media ini dihadapkan dengan tantangan yang menyangkut pada nilai institusional, reputasi, dan rekam jejak terhadap publik. Hal itu sebenarnya dapat diatasi dengan konsistensi serta transparansi baik secara langsung (melalui pernyataan resmi media) maupun tidak langsung (melalui kuantitas pemberitaan media terhadap suatu isu). Dari kedua pilihan tersebut, cara langsung relatif lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Robinson (2019) memaparkan bahwa keberpihakan (bias) media adalah hal yang tidak bermasalah jika diikuti kejujuran dan kebenaran. Selanjutnya, tindakan terbaik yang dapat dilakukan oleh media adalah mengakui asalnya (keberpihakannya) secara langsung yang mana dapat membuat media itu sendiri lebih dipercaya oleh publik. Hal ini dapat terjadi lantaran audiens menyukai kejujuran dan menganggapnya sebagai hal yang menyegarkan sehingga produk pemberitaan lebih mudah ditangkap.
Merangkum pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa netralitas dalam media adalah hal yang tidak mungkin. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua poin penting yang patut untuk diulas kembali.
Pertama, media dan jurnalis baik secara teori maupun praktik tidak dapat mewujudkan netralitas. Hal ini terlihat dari kerja-kerja media dan jurnalis yang selalu bergumul dengan dengan data dan temuan, disamping prinsip serta aturan yang ketat, sehingga pada gilirannya akan membentuk perspektif tertentu dalam melihat suatu isu dan akhirnya berujung pada keberpihakan.
ADVERTISEMENT
Kedua, media dan jurnalis sudah seharusnya berpihak dalam ranah independensi. Hal ini didukung oleh kewajiban media yakni kebenaran dan kebebasan yang bertanggung jawab dalam memproduksi berita. Abu-Fadil (2021) pun menyatakan bahwasanya media harus menjadi jujur (benar) dan dengan itu maka tidak bisa netral (berpihak). Dengan demikian, alih-alih media dipaksakan menjadi netral, sudah seharusnya media didorong untuk menjadi berpihak dalam ranah independensi dengan catatan disertai oleh kebenaran.
Referensi
Abu-Fadil, M. (2021, March 24). Should Journalists be Impartial? Pros and Cons. Retrieved from DW: https://www.dw.com/en/should-journalists-be-impartial-pros-and-cons/a-56963124
Chomsky, N., & Herrman, E. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of The Mass Media. London: Bodley Head.
Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Crown Publisher.
ADVERTISEMENT
Robinson, N. (2019, September 10). Media bias is OK – if it's honest. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/commentisfree/2019/sep/10/media-bias-is-ok-if-its-honest
Shoemaker, P., & Reese, S. (1996). Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. USA: Longman.
Siahaan, P. (2020, January 16). Tidak Ada Media yang Benar-Benar Netral. Retrieved from Asumsi: https://asumsi.co/post/tidak-ada-media-yang-benar-benar-netral
Utomo, W. P. (2021, May 22). Netralitas dalam Jurnalisme. Retrieved from Project Multatuli: https://projectmultatuli.org/netralitas-dalam-jurnalisme/