Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Check your people: Sebuah Penyadaran Kolektif Ucok 'Homicide' x Doyz
3 Maret 2017 13:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Didid Bima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 8 Februari 2017 Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard atau yang lebih dikenal sebagai Ucok ‘Homicide’ bersama Doyz merilis lagu yang berjudul “check your people”. Berdasarkan informasi dari laman https://grimlocrecords.com/unduh-single-kolaborasi-morgue-vanguard-dan-doyz-check-people/ rilisan tersebut merupakan bagian dari penyadaran memanggil ulang signifikansi dan pengabaran politik warga dan akar rumput yang ditelan oleh dekadensi yang lahir dari politik elektoral belakangan.”
ADVERTISEMENT
Akan tetapi yang membuat lebih istimewa dari diluncurkannya lagu tersebut adalah dilampirkannya dokumen pdf yang terdiri dari enam tulisan yang memiliki relasi yang sangat dekat dengan isu agrarian di Indonesia.
Tulisan berikut ini adalah ringkasan sederhana dari enam tulisan yang dimaksudkan di atas.
I
Pertama, “Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi.”
“tentang kehancuran asa dari berbagai lini. Tentang kematian kurawa sejati dalam teori demokrasi” (Doyz)
Tulisan Andre Barahiman dalam lampiran dokumen ini mengangkat statistik anggaran mega proyek yang ada di Indonesia, mulai dari pembiyaan Dam Jatigede di Jawa Barat yang akan menggunakan dana pinjaman sebesar 52.2000.000 US dolar sampai perihal pembangunan jalan tol Manado-Bilitung di Sulawesi Utara, pemerintah akan menggunakan dana hutang sebesar 80.000.000 USD ditambah dengan pembiayaan dari belanja kas negara sebesar 8.000.000 USD. Lalu akan ada hutang sebesar 201.000.000 US dolar yang nanti dibelanjakan dalam program yang disebut sebagai Rural Settlement Infrastruccture Development (RSID). Program ini akan juga menyedot kas pemerintah sebesar 10.050.000 US dolar untuk kemudian memperbaiki jalan, membuka jalan baru, drainase dan sanitasi di daerah-daerah pedesaaan. Semua angka yang tersaji tentu saja sangat besar.
ADVERTISEMENT
Pada sisi yang lain, catatan yang cukup panjang ini juga memuat beberapa konflik lahan yang terjadi di Indonesia, cerita tentang reklamasi di Jakarta dan Teluk Benoa Bali dan yang lebih penting adalah agenda besar yang diusung pasca krisis ekonomi 2008 dan perubahann tren pasar global. Satu poin yang sangat penting dari tema ini adalah disebutkan bahwa sejak krisis finansial 2008 mereda, kita menyaksikan fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabing). Definisi dari terma tersebut dijelaskan sebagai sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Tulisan ini tentunya cukup jelas juga menggambarkan skema ekspansi “tanah-tanah baru” yang dilakukan oleh negara seperti Cina, US dan Inggris di Afrika dan Asia sebagai cadangan pangan. Dari sini juga kita bisa memahami cara yang ditempuh oleh mereka yakni “dengan agar tampak lebih humanis, negara-negara koloni itu disebut sebagai ‘lumbung pangan dunia’. Ilusi yang sebenarnya digunakan untuk menutupi liberalisasi pangan guna kepentingan daya tahan sekaligus perluasan pasar,” (halaman 12). Di Indonesia, konteks yang menyerupai ini mungkin saja adalah MIFEE https://awasmifee.potager.org/?page_id=57
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu barisan rimanya, Doyz menegaskan “tinju di angkasa, untuk mereka yang sagunya tergantikan sawit di Papua.” Untuk masalah lahan dan perihal kelapa sawit, Andre Barahamin juga telah menjelaskannya dalam tulisan ini.
II
Bagaimana Rakyat Terlepas Dari Tanahnya, Muhammad Ridha
“bagi mereka yeng mempertahankan ruang hidupnya/dari ujung barat hingga timur/di mana bentang solidaritas bergaung sekeras/fabrikasi kebenaran a la rezim diusung/tarik garis demarkasi/ (Morgue Vanguard)
Tulisan yang telah terbit di laman indoprogress ini merupakan sebuah respon atas tulisan Bonnie Setiawan mengenai berpindahnya asset dan lahan desa kepada pemodal. Banyak sekali data statistik yang disajikan untuk menegaskan analisa atas konteks yang diperbincangkan. Namun, yang lebih menarik adalah sebuah pesan moral atas pelajaran pengembangan kota Mamminasata di Sulawesi Selatan yaitu terjadii banjir pembelian lahan oleh para kapitalis besar ke pedesaan sekitar Makassar.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga dijelaskan pada tahun 1967 telah dimulainya rezim lapar tanah. Korporasi-korporasi besar mendapatkan konsesi melalui UU Minerba tahun 1967 dan UU Pertanahan 1967, yang mulai berjalan dengan semangat menjauh dari semangat redistribusi lahan dan restrukturisasi penguasaan lahan. Selanjutnya, di tahun-tahun inilah perusahaan yang kini ramai dibincangkan karena kasus ‘papa minta saham’, Freeport Indonesia, mengeruk tanah-tanah suku Amungme dan mencerabut orang-orang suku Amungme ari lanskap dan ruang hidupnya. Gunung-gunung di Timika itu telah menjadi lubang galian tailing yang sampai kapanpun takkan bisa kembali menjadi seperti keadaan sebelum rusak dihantam logika ekstraktif perusahaan tambang raksasa.
Catatan lainnya adalah juga disebutkannya Land Administration Project (LAP) atau Land Management Policy Development Program (LMPDP) Bank Dunia, yang mengarahkan tanah terinkorporasi ke dalam sistem pasar kapitalis. Sehingga sertifikasi tanah mengarah kepada mudahnya rakyat berlahan kecil melepaskan asetnya kepada kapitais besar. Tak lupa, disinggung pula program lama bertajuk Revolusi Hijau di masa pemerintah Orde Baru dan juga sekilas perihal total investasi di Sulawesi Selatan untuk smelter sekitar 40 trilyun lengkap disertai nama perusahaannya.
ADVERTISEMENT
“Kami Tidak Punya Pemimpin” Pengalaman Rakyat Padarincang Mengusir Aqua
“simpan doktrin kalian soal cinta tanah air/bagi mereka yang tak punya tanah dan selalu membeli mahal air/ bagi mereka yang terusir dan menjadi martir/saat nasib dipaksa parker di bawah cakar Garuda dan berakhir hidup di bawah tanah serupa Moria."
(Morgue Vanguard)
Siapa yang tidak mengenal Aqua? Salah satu merk air mineral ini bahkan di beberapa kota tetap disebut di warung-warung kecil ketika hendak membeli air mineral. Meskipun yang dimaksud bukanlah aqua. Namun begitulah fakta yang ada, dan mungkin bisa dikatakan telah menjadi diksi untuk sebuah air mineral.
Tulisan yang disajikan oleh www.anarkis.org adalah sebuah reportase singkat yang terjadi di kawasan Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten pada 5 Desember 2010. Yang mana pada momen tersebut sekitar 4000an orang dari semua desa di Kecamatan Padarincang mendatangi lokasi pabrik dnegan berjalan kaki. Laki-aki dan perempuan, tua dan muda, menjalin harmoni dalam kebersamaan untuk menolak pembangunan Aqua-Danone.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya PT. Aqua Golden Mississippi didirikan pada tahun 1973 oleh Tirto Utomo di mana pabrik pertamanya terletak di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Pabriknya sendiri berrnama Golden Mississipi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Awalnya Aqua bernama Puritas, namun berganti nama atas saran Eulindra Lim, konsultan Tirto Utomo. Produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp. 75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp. 46 untuk 1.000 ml.
Reportase singkat ini sangat menginspirasi terutama terlihat sekali proses solidaritas yang terbangun antar anggota masyarakat yang menolak pembangunan pabrik air mineral di daerahnya. Selain itu juga, dari peristiwa ini terekam cara-cara klasik yang dilakukan oleh pihak aparat dengan melakukan intimidasi dan penculikan anggota warga. Selebihnya, tentu saja warisan kolonial yang masih melekat, mengadu domba warga. Dalam film dokumenter The Mahuzes karya kolektif Watchdoc juga diperlihatkan perbincangan perihal diketahui adanya usaha adu domba sesama anggota marga yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
ADVERTISEMENT
Satu catatan yang sangat penting dalam reportase ini adalah melihat kuatnya pengorganisasian GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone), gerakan yang dibentuk oleh masyarakat Padarincang sendiri. Disebutkan disana, kami tidak punya pemimpin, tidak punya struktur yang baku, dan murni masyarakat yang bergerak, yang mempunyai pemikiran sama bahwa Padarincang harus dilindungi.
Kolektifitas yang dibangung oleh petani, mahasiswa dan ulama pada akhirnya berhasil mengusir Aqua. Dari sini terlihat sekali sebuah kewarasan massal yang terbangun karena adanya keresahan bersama atas permasalahan di wilayah mereka. Perjuangan yang layak dan patut diapresiasi.
III
Menonton The Mahuzes,, Memperluas Solidaritas & Ruang Melawan Ekspansi
“hingga tiba di era ekspansi menggurita/terekam oleh Watchdoc dengan kamera”
(Morgue Vanguard)
ADVERTISEMENT
Kendati tidak bermaksud mengulas lebih banyak catatan pada bagian ini, saya sendiri telah menulis salah satu dokumenter favorit saya, The Mahuzes. Adalah kolektif Watchdoc yang berhasil merekamnya dengan sangat apik.
Simak tulisan saya tentang The Mahuzes http://indoprogress.com/2017/02/the-mahuzes-manifestasi-cultus-cargo-untuk-generasi-di-papua/
Menyusun Narasi Perlawanan yang Tidak Biasa, Catatan dari Kelas Belajar Agraria
"dan di sudut-sudut kampung kota yang digempur penggusuran." (Morgue Vanguard)
Bagian ini menjelaskan kisah organisasi Aliansi Rakyat Menolak Penggususran (ARMP) di wilayah pemerintahan Kabupaten Bantul, Yogyakarta. ARMP adalah sebuah organisasi rakyat Parang Kusumo yang lahir karena melawan penggusuran atas tanah mereka. Isu penggususan ini pada mulanya muncul saat wilayah yang mereka diami hendak dijadikan kawasan industri pariwisata skala besar di Bantul.
ADVERTISEMENT
Hampir menyerupai peristiwa penolakan lainnya, diceritakan juga bahwa ada usaha adu domba yang dilakukan oleh perusahaan secara terus menerus agar warga tidak selalu kompak untuk datang ke Semarang menghadiri persidangan gugatan PTUN. Selain itu, perusahaan juga gencar memberikan tawaran CSR kepada sekelompok warga di daerah mereka. Narasi yang diterbitkan di www.selamatkanbumi.com ini patut mendapatkan perhatian penuh.
Pekik Lereng Ciremai
“…yang bertahan di hadapan PLTU dari Batang hingga Lereng Ciremai.” (Morgue Vanguard)
Rasanya perih sekali membaca tulisan Muhamad Isomuddin tentang masyarakat di Lereng Ciremai. PT. Hitay Renewable, PT. Jasa daya Chevron, pelelangan proyek Geothermal, WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi) seluas 24.330 Ha, pesan singkat yang berisi penjualan gunung Ciremai 60 T yang mengguncangkan wacana publik, dan sederet informasi lainnya menggambarkan begitu besarnya masalah dan ancaman yang dihadapi oleh masyarakat gunung Ciremai.
ADVERTISEMENT
Ia pun mencoba menghadikan sebuah realitas yang jelas terjadi saat ini. “Anak muda sebagai pengguna aktif dalam perkembangan teknologi informasi seharusnya mengambil peran dalam mengatasi masalah seperti ini. Penggunaan internet bukan sebatas memampang foto narsis, kesenangan, hura-hura di media sosial belaka. Namun anak muda perlu memanfaatkan teknologi informasi untuk kemudian mendistribusikan informasi terhadap masyarakat yang memerlukan di sekitarnya. Karena kita tak dapat berharap banyak kepada sebuah institusi negara ini.”
Sebagai penutup tulisannya, ia pun menulis, “masyarakat lereng Ciremai tidak menuntut banyak hal kepada negara ini, ia hanya tetap bisa bertani, bersanding hidup dengan hutan kebun, gunung dan alam yang menjadi guru. Bagi masyarakat lereng, Gunung bukanlah gundukan tanah yang disandarkan. Mereka tidak butuh kemajuan teknologi, hanya pengharapan kejujuran dan keterbukaan informasi yang ia inginkan.”
ADVERTISEMENT
IV
Jika pada tahun 1923 keluarga Felix Weil mendanai dibentuknya IFS (Institut Fur Sozial Forschung) di Jerman; lengkapnya adalah Johann Wolfgang Goethe-Universitaet Frankfurt yang kemudian lebih dikenal dengan Madzhab Frankurt (Die Frankfurter Schule). Kemudian pada dekade setelahnya, tepatnya pada 1950-an IFS mengembangkan dua area riset terbaru yakni sosiologi-industri dan sosiologi-pendikan. Khusus untuk sosiologi-pendidikan tujuannya adalah untuk memfokuskan koneksi antara universitas dan masyarakat. Maka mungkin saja konsistensi kolaborasi dalam berkarya seperti yang enam tuisan dan lagu ‘check your people’ ini adalah alternatif dan cara menghubungkan antara kelompok intelektual dengan masyarakat luas. Atau kontek lainnya adalah Jurgen Habermas yang dulu terinsipirasi dari lahirnya Madzhab Frankfurt dan akhirnya menghasilkan buku “Mahasiswa & Politik” (Student und Politik, 1961 ) melalui kerja riset tentang efektivitas pendidikan-politik.
ADVERTISEMENT
Rilisan lagu “check your people” menyimpan cerita perihal peristiwa, pengorganisasian dan koletivitas yang dibangun atas nama usaha untuk mentransformasi ilmu pengetahuan kepada publik. Dan apresiasi terbesar kepada kanal www.indoprogress.com , www.anarkis.org , www.selamatkanbumi.com , www.watchdoc.co.id yang telah merekam semuanya dalam kepingan tulisan dan juga video.
Eksekusi rima dari Morgue Vanguard x Doyz adalah cara lain untuk membangun perjuangan. Sinoptik enam catatan dalam sebuah lagu.
Kabarkan!
Sekali lagi, izinkan saya menyalin salah satu sajak dari Zeffry Alkatiri.
Indonesia, 1992-1996
“Hanya sedikit malaikat rakib dikirim Allah ke sini/
Sebab Dia tahu hanya—buang waktu/
Sementara banyak saudara kembarnya/
Lama tak terlihat di surga/
Di depan pintu kamar mereka/
Tertulis pesan: Sedang bertugas di Indonesia/
ADVERTISEMENT
Istanbul, 28.2.2017
00.10 EST