Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Melihat Standar Ganda AS dan Barat di Timur Tengah
19 Mei 2024 12:36 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Didik T Atmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat dan dunia Barat nampak memainkan standar ganda dalam konflik Israel-Palestina. Hal itu disampaikan Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifuddin Zuhri di Seminar Nasional bertema "Indonesia, China, Barat dan Geopolitik Timur Tengah" yang bekerja sama dengan FISIP Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang pada Selasa (14/5/2024) awal pekan lalu.
ADVERTISEMENT
"AS dan Barat dalam konflik Palestina-Israel banyak sekali bersikap standar ganda. Korban sipil yang lebih dari 35 ribu warga Gaza oleh Israel sudah masuk level genosida. Hal itu juga banyak dikecam publik global. AS seolah tutup mata, bahkan mendukung penuh Israel dengan militer dan finansial” paparnya.
Zuhri membandingkan perbedaan sikap AS dan Barat saat banyak yang menuduh China dengan isu HAM dan genosida Uighur di Xinjiang. “Meski hal itu banyak dibantah juga oleh negara-negara di kawasan Arab seperti Arab Saudi, UEA dan lainnya,"bebernya.
Rektor UIN Walisongo Prof Nizar Ali dalam sambutan pembukanya menyinggung realitas global terkait menurunnya pengaruh AS di Timur Tengah. Menurut Prof Nizar, sapaan akrabnya, hal itu perlu diimbangi adanya pengaruh kekuatan global lainnya seperti China.
ADVERTISEMENT
"Menurunnya pengaruh AS ini kemudian diimbangi dengan menguatnya pengaruh kekuatan-kekuatan global lainnya seperti China," ungkapnya.
Sementara itu, akademisi UIN Walisongo Prof Mukhsin Djamil dalam melihat relasi China, Barat, dan negara-negara kawasan Timur Tengah, memandang dari beragam perspektif yakni geografis, geokultural, serta geopolitik.
"Secara geografis, tentu telah menjadi landasan gerakan dan situasinya sudah global. Katakanlah berita dari sana telah mudah diakses di wilayah manapun. Kedua, Timur Tengah sebagai wilayah geokultural memiliki karakter unik. Namun yang mendasar saat ini, dari identitas itu sulit dipahami," katanya.
"Dari aspek geopolitik dan geokultural, Indonesia itu lebih banyak mempertimbangkan aspek-aspek keagamaan seperti kepentingan haji, dan lainnya," sambungnya.
Dalam perspektif media, editor senior Harian Suara Merdeka Gunawan Permadi mengatakan, framing konflik Israel-Palestina di Timur Tengah tak berubah dari dulu. Menurut Gunawan, interpretasi publik terhadap suatu isu, terutama dalam isu Timur Tengah, secara tidak sadar “dikuasai” oleh media yang kapitalnya besar. Dan itu terutama oleh media-media besar dari Barat.
ADVERTISEMENT
Gunawan juga menyinggung soal kemerdekaan pers. Dalam kacamatanya, di banyak negara banyak orang mendiskusikan kemerdekaan pers, namun di Timur Tengah justru banyak jurnalis yang menjadi korban.
Relasi China-Timur Tengah
Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifuddin Zuhri menyebut China dalam relasinya di Timur Tengah tak jauh dari relasi ekonomi, perdagangan, manufaktur, dan kebutuhan energi.
Zuhri mengatakan, Timur Tengah menjadi satu-satunya yang bisa memasok kebutuhan energi 50-60 persen untuk China. Oleh karenanya Timur Tengah menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonominya mereka lewat energi itu. Dan konsekuensinya dari itu, negara-negara di Timur Tengah harus menjaga hubungan baik dengan China.
Lanjut Zuhri, China mempunyai skema Belt and Road Initiative (BRI) yang salah satu tujuannya adalah ke negara-negara Arab. Oleh karenanya, China berkepentingan menawarkan solusi ke negara-negara konflik, termasuk gagasan solusi perdamaian dua negara Palestina dan Israel.
ADVERTISEMENT
"China sangat mendorong upaya diplomasi dan perdamaian dalam konflik di Timur Tengah, utamanya antara Israel dan Palestina, " pungkasnya.
Penandatanganan Kerjasama
Di sela-sela seminar tersebut, FISIP UIN Walisongo Semarang juga melakukan penandatanganan kerjasama dengan Sino-Nusantara Institute. Dari FISIP, Dekan Prof Imam Yahya membubuhkan tanda tangan kesepakatan, sedangkan Ahmad Syaifuddin Zuhri tanda tangan atas nama Sino-Nusantara Institute. Adapun Rektor Prof Dr. Nizar Ali beserta ratusan peserta seminar turut menyaksikan penandatanganan kerjasama tersebut.
Dekan FISIP, Prof Imam Yahya dalam sambutannya membeberkan bahwa seminar ini merupakan langkah awal akan dibukanya program studi Ilmu Hubungan Internasional dan Administrasi Publik.
"Dengan adanya acara ini kami berharap dapat menambah semangat bagi mahasiswa dan civitas akademika dalam menyambut prodi baru yakni Hubungan Internasional dan Administrasi Publik, "ujar Prof Imam. (***)
ADVERTISEMENT