Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Klasifikasi Materi Muatan Undang-undang (Kodifikasi) Pemilu
20 Maret 2025 12:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penyatuan UU Pilkada dan UU Partai Politik ke dalam UU Pemilu harus memperjelas pengaturan sistem, aktor, manajemen, dan hukum pemilu. Jika tidak mencakup semua aspek, akan jadi produk hukum membingungkan.
ADVERTISEMENT
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) merupakan salah satu undang-undang paling tebal. Undang-undang ini memiliki 590 terdiri dari batang tubuh, empat lampiran, dan penjelasan. Namun undang-undang ini mengandung sejumlah masalah: duplikasi, tumpang tindih, bahkan kontradiksi pengaturan.
Bisa dimaklumi, sebab UU No 7/2017 merupakan hasil penyatuan tiga undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008), Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (UU No 15/2011), serta Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 8/2012).
Penyatuan tiga undang-undang ke dalam satu undang-undang pemilu itu dilakukan tanpa penataan kembali materi muatan sehingga undang-undang setebal bantal tersebut tidak lain adalah hasil kodifikasi yang asal gabung. Akibatnya undang-undang ini sulit dipahami. UU No 7/2017 juga tidak mudah diimplementasi jika tidak diikuti peraturan-peraturan KPU yang meluruskan duplikasi, tumbang tindak, bahkan kontradiksi ketentuan yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, jangan merasa bodoh jika tidak segera paham saat membaca UU No 7/2017. Jangankan awam, para sarjana hukum pun sering dibuat tak paham. Bahkan, anggota DPR yang ikut membahas undang-undang itu juga sering bingung dibuatnya. Tidak heran jika hingga 31 Desember 2024, undang-undang ini digugat ke MK sampai 436 kali: 50 gugur atau ditarik kembali, 148 tidak diterima, 166 ditolak, dan 72 dikabulkan.
Pertanyaannya, bagaimana menata kembali susunan materi muatan atau sistematika undang-undang, agar undang-undang hasil kodifikasi nanti, tidak hanya mudah dipahami tetapi juga jernih (clean), jelas (clear), dan lengkap (comprehensive).
Jernih atau bersih berarti rumusan norma undang-undang harus terhindar dari ambiguitas, multitafsir, tumpang tindih, dan kontradiksi. Jelas berarti mudah dipahami oleh masyarakat dan penegak hukum. Strukturnya harus logis dan sistematis sehingga tidak membingungkan ketika diimplementasi. Setiap ayat dan pasal bermakna tegas sehingga tidak menimbulkan interpretasi beragam.
ADVERTISEMENT
Sementara komprehensif berarti undang-undang harus mengatur secara menyeluruh semua aspek yang harus diatur. Tidak boleh terjadi kekosongan hukum sehingga undang-undang bisa diterapkan di lapangan dengan mudah. Undang-undang juga harus mampu mengantisipasi berbagai situasi atau permasalah yang mungkin muncul ke depan.
Lengkap bukan berarti harus detail, sebab terlalu detail juga menimbulkan masalah tersendiri. Pada beberapa bagian, UU No 7/2017 sangat detail. Akibatnya, banyak hal yang tidak bisa diimplementasi di lapangan. Cukup rumusan-rumusan pokok atas semua aspek, detailnya bisa dimuat oleh peraturan di bawahnya.
Pada soal kelengkapan itulah yang menjadi dasar penyusunan struktur undang-undang pemilu. Sebab, pemilu adalah kegiatan politik masif sekaligus kompleks. Kompleksitas pemilu tersebut harus disederhanakan dalam tataran konsep agar bisa mencakup semuanya, lalu diklasifikasi secara logis dan rasional. Secara garis besar kompleksitas pemilu bisa disederhanakan menjadi empat aspek: sistem, aktor, manajemen, hukum.
Pertama, tentang sistem. Sistem pemilu adalah konversi suara (pemilih) menjadi kursi (calon terpilih) yang dipengaruhi oleh beberapa variabel teknis pemilu. Pengaturan sistem pemilu merupakan norma pokok dalam undang-undang, sedang norma-norma lain (yang mengatur aktor, manajemen, dan hukum) bersumber dari pengaturan sistem. Karena itu letaknya harus pada bagian awal dan tidak boleh ada bagian aspek yang tertinggal.
ADVERTISEMENT
Sistem pemilu legislatif memiliki enam variabel:
1. Besaran daerah pemilihan (district magnitude).
2. Metode pencalonan (candidacy).
3. Metode pemberian suara (balloting).
4. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
5. Formula perolehan kursi (electoral formula).
6. Penetapan calon terpilih (determination elected candidate).
Sementara dalam sistem pemilu eksekutif terdapat tiga variabel: 1) metode pencalonan (candidacy), 2) metode pemberian suara (balloting), dan 3) formula perolehan kursi (electoral formula). Dalam pemilu eksekutif, variabel besaran daerah pemilihan, ambang batas parlemen, dan penetapan calon terpilih tidak menjadi isu. Namun waktu penyelenggaraan (concurrency) menjadi variabel tidak langsung yang memengaruhi hasil pemilu.
Kedua, tentang aktor. Ada lima aktor pemilu: penyelenggara, pemilih, partai politik, calon, dan pemantau. Selain soal organisasi, undang-undang harus mengatur hak dan kewajiban serta tugas dan wewenang penyelenggara dan pelaksana pemilu dari pusat sampai TPS. Selanjutnya, syarat-syarat menjadi partai politik peserta pemilu dan menjadi calon anggota legislatif dan pejabat eksekutif harus dirinci dengan pasti agar tidak timbul persoalan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tentang manajemen. Bagian ini mengatur tentang pelaksanaan tahapan pemilu: 1) pembentukan daerah pemilihan, 2) pendaftaran partai politik peserta pemilu, 3) pendaftaran pemilih, 4) pendaftaran calon, 5) kampanye, 6) pemungutan dan penghitungan suara, 7) penetapan hasil, dan 8) pelantikan.
Inti pemilu adalah pemungutan suara yang menjadi bagian dari tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Jika dalam pemungutan suara berlaku asas langsung, umum, bebas, dan rahasia; maka dalam penghitungan suara berlaku prinsip transparan dan akuntabel demi menjaga keaslian suara pemilih.
Ketiga, tentang hukum. Yang dimaksud hukum di sini adalah penegakan hukum pemilu yang meliputi penanganan tindak pidana, penanganan pelanggaran administrasi, penangan pelanggaran kode etik penyelenggara, penyelesaian sengketa administrasi, dan penyelesaian sengketa hasil.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan di negara lain, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa di pemilu Indonesia sangat rumit, berbelit, dan berkepanjangan. Oleh karena itu undang-undang perlu mengatur kembali masalah ini berdasar prinsip peradilan: sederhana, cepat, dan murah.