Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Penyatuan Undang-undang Pilkada ke dalam Undang-undang Pemilu
22 Februari 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu, yakni UU No 7/2017 dan perubahannya banyak kekurangan dan kesalahan. Demikian juga dengan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pilkada, yakni UU No 1/2015 dan perubahan. Dua undang-undang itu berkali-kali dikoreksi MK. Karena itu revisi dua undang-undang tersebut merupakan keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR sudah memasukkan dua undang-undang tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Masing-masing diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan UU No 1/2015 sudah masuk prolegnas tahun sebelumnya sehingga pada Prolegnas Prioritas 2025 sifatnya carry over. UU No 1/2015 tercantum dalam nomor urut 25 dan UU No 7/2017 nomor urut 26 dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.
Meskipun pengusulan perubahan UU No 1/2015 dan UU No 7/2017 ditempatkan dalam daftar urut yang berbeda, namun DPR dan pemerintah sepertinya sudah sepakat untuk menyatukan perubahan dua undang-undang tersebut. Tentang hal ini sebetulnya sudah tersurat dalam Lampiran (halaman 117) Undang-undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045 (UU No 59/2024).
ADVERTISEMENT
Di sana tertulis, “Demokrasi substansial akan dilaksanakan melalui arah kebijakan berikut ini: (1) penguatan lembaga demokrasi melalui perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu seperti melakukan kodifikasi Undang-Undang mengenai Pemilihan Umum dan Undang-Undang mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota…” Jadi, UU No 59/2024 memang mengamanatkan agar undang-undang pemilu dan undang-undang pilkada disatukan atau dikodifikasi.
Penyatuan undang-undang pilkada (UU No 1/2015) dan undang-undang pemilu (UU No 7/2017) sesungguhnya merupakan tindak lanjut dari Putusan MK No 55/PUU/2019 dan Putusan MK No 85/PUU/2022. Dua putusan ini menegaskan bahwa pilkada adalah pemilu sehingga sudah semestinya bahwa pengaturan pilkada diintegrasikan ke dalam undang-undang pemilu.
Sebelumnya dua putusan itu keluar, berlangsung perdebatan panjang soal pilkada sebagai rezim otonomi daerah versus pilkada sebagai pemilu.
ADVERTISEMENT
Kelompok pertama, yang dimotori para birokrat, bersikukuh bahwa pilkada berbeda dari pemilu. Dalihnya, UUD 1945 menempatkan ketentuan pilkada dalam Bab VI Pemerintahan Daerah, sementara ketentuan pemilu terdapat dalam Bab VIIB Pemilihan Umum. Pandangan ini didukung DPR sehingga usulan untuk menyatukan undang-undang pilkada ke dalam undang-undang pemilu –yang kemudian menjadi UU No 7/2017– ditolak.
Sementara itu, kelompok kedua berpandangan bahwa pilkada adalah pemilu. Alasannya: Pertama, asasnya sama, yaitu langsung umum bebas rahasia serta jujur dan adil; Kedua, tujuannya sama, yaitu memilih pejabat publik melalui pemungutan suara; Ketiga, penyelenggaraannya sama, yaitu melalui serangkaian persiapan dan tahapan pelaksanaan; Keempat, penyelenggaranya sama, yaitu KPU, dan; Kelima, prosedur penegakan hukumnya juga sama.
Namun pandangan yang dikumandangkan oleh akademisi dan kelompok masyarakat sipil tersebut, diabaikan birokrat Kemendagri dan Kemenkumham selaku perancang RUU Pilkada dan RUU Pemilu. Dua Naskah Akademik RUU Pemilu yang disusun Sekretariat Kodifikasi Undang-undang Pemilu dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan hanya jadi dokumen mati.
ADVERTISEMENT
MK sendiri juga sempat berubah pandangan. Semula melalui Putusan No 72-73/PUU-II/2004, MK menyatakan bahwa pilkada adalah pemilu sehingga pengaturan dan penyelenggaraannya sama dengan pemilu. Putusan ini menyebabkan UU No 32/2004 yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, diubah oleh UU No 12/2008 yang mengalihkan wewenang itu kepada MK.
Namun setelah berlangsung selama hampir sepuluh tahun, pandangan MK diubah oleh Putusan MK No 97/PUU-XI/2013. Menurut putusan ini, pilkada adalah rezim otonomi daerah sehingga perselisihan hasil pilkada bukan lagi wewenang MK. Pandangan MK ini tidak lepas dari keluhan hakim konstitusi yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengadili sengketa hasil pilkada yang berdatangan sepanjang tahun.
Hadirnya Putusan MK No 97/PUU-XI/2013 tersebut justru menimbulkan komplikasi baru. Sebab, MA juga menolak mengadili sengketa hasil pilkada. Jalan keluarnya adalah membentuk badan peradilan khusus pilkada sebagaimana diatur Pasal 157 ayat (1) UU No 10/2016.
ADVERTISEMENT
Namun badan peradilan khusus pilkada itu belum sempat dibentuk, MK sudah mengubah pandangannya lagi, bahwa pilkada adalah pemilu sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK No 55/PUU/2019. Perubahan sikap MK itu dipertegas kembali melalui Putusan MK No 85/PUU/2022.
Dua putusan MK tersebut mengakhiri perdebatan panjang pilkada rezim pilkada versus pilkada rezim pemilu. Pandangan ini tidak saja sesuai dengan teori hukum tata negara dan ilmu politik, tetapi juga sejalan dengan praktik penyelenggaraan pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif di berbagai negara demokrasi. Itulah sebabnya UU No 59/2024 mengamanatkan penyatuan undang-undang pilkada ke dalam undang-undang pemilu.