news-card-video
20 Ramadhan 1446 HKamis, 20 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Perlukah UU Partai Politik Dikodifikasi ke UU Pemilu?

Didik Supriyanto
Ketua Dewan Pembina Perludem, didiksupriyanto.com.
19 Maret 2025 17:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemilu. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilu. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kodifikasi adalah penyatuan secara sistematis atas peraturan-peraturan yang subjeknya sama. Kodifikasi berarti menstrukturkan hukum-hukum yang ada dan menampilkannya sebagai suatu perangkat peraturan baru yang utuh. Kodifikasi menyatukan beberapa peraturan yang subjeknya sama menjadi peraturan baru, dan peraturan lama yang disatukan dinyatakan tidak berlaku.
Kodifikasi tidak diatur rinci dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 10/2004) maupun undang-undang penggantinya, yaitu UU No 11/2020.
Namun, dalam Lampiran II UU No 11/2020 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 68 menyatakan:
ADVERTISEMENT
Lalu angka 115 berbunyi:
Jadi, ketentuan itu mengatur dua hal: pertama, teknik menyusun kodifikasi; dan kedua, teknik menyatakan kapan peraturan yang dikodifikasi itu berlaku.
Kodifikasi sebetulnya sudah dipraktikkan dalam penyusunan Undang-undang Pemilu. Sebelumnya, sejak Perubahan UUD 1945, kita mengenal tiga jenis Undang-undang Pemilu:
1. Undang-undang Pemilu Legislatif, UU No 12/2003, UU No 10/2008, dan UU No 8/2012;
ADVERTISEMENT
2. Undang-undang Pemilu Presiden, UU No 32/2003 dan UU No 42/2008;
3. Undang-undang Penyelenggara Pemilu, UU No 22/2007 dan UU No 15/2011.
Tiga jenis undang-undang pemilu ini kemudian dikodifikasi menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU No 7/2017.
Ilustrasi hukum dan aturan. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
Penkodifikasian tersebut didorong oleh Putusan MK No 14/PUU-XI/2013. Putusan ini menyatakan bahwa pemisahan pemilu presiden dari pemilu legislatif tidak konstitusional, sehingga penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden berikutnya harus diserentakkan. Tentu akan banyak masalah jika penyelenggaraan pemilu serentak tetapi undang-undangnya terpisah.
Menjelang pembahasan kodifikasi RUU Pemilu—yang kemudian menjadi UU No 7/2017), beberapa kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu, mengusulkan agar Undang-undang Pilkada dimasukkan juga ke dalam kodifikasi Undang-undang Pemilu. Namun pemerintah dan DPR menolak. Mereka tetap pada posisi, bahwa pilkada adalah rezim otonomi daerah (Pasal 18), bukan rezim pemilu (Pasal 22E).
ADVERTISEMENT
Kini, MK menyatakan bahwa pilkada adalah pemilu. Sikap MK tersebut disampaikan melalui Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 dan dipertegas kembali melalui Putusan No 85/PUU-XIX/2022. Dua putusan itu mengakhiri perdebatan panjang antara pandangan bahwa pilkada adalah rezim otonomi daerah versus pandangan bahwa pilkada adalah rezim pemilu.
Pemerintah dan DPR kemudian mengesahkan Undang-undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 (UU No 59/2024). Salah satu agenda undang-undang ini adalah kodifikasi Undang-undang Pilkada ke dalam Undang-undang Pemilu.
Setelah DPR dan pemerintah sepakat bahwa Undang-undang Pilkada (UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU No 10/2016) dikodifikasi ke dalam Undang-undang Pemilu, muncul pertanyaan dari kalangan DPR: mengapa Undang-undang Partai Politik (UU No 2/2008 dan UU No 2/2011) tidak dimasukkan atau dikodifikasi ke dalam Undang-undang Pemilu sekalian?
ADVERTISEMENT
Jika usulan tersebut disetujui, maka Undang-undang Pemilu hasil kodifikasi nanti merupakan penyatuan dari Undang-undang Pemilu (UU No 7/2017), Undang-undang Pilkada (UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU No 10/2016), dan Undang-undang Partai Politik (UU No 2/2008 dan UU No 2/2011). Saya setuju dengan usulan ini, dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, penyatuan Undang-undang Partai Politik ke dalam Undang-undang Pemilu sebetulnya tidak jauh beda dengan penyatuan Undang-undang Penyelenggara Pemilu (UU No 15/2011) ke dalam Undang-undang Pemilu (UU No 7/2017). Sebab, mereka sama-sama aktor pemilu; yang satu sebagai penyelenggara, yang satu sebagai peserta.
Kedua, penyatuan Undang-undang Partai Politik ke dalam Undang-undang Pemilu dapat menghindari tumpang tindih pengaturan di antara dua undang-undang tersebut. Banyak ketentuan UU No 2/2008 dan UU No 2/2011 diulang kembali, dengan penambahan atau pengurangan ketentuan, di dalam UU No 7/2017. Akibatnya tidak hanya terjadi duplikasi, tapi juga kontradiksi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penyatuan Undang-undang Partai Politik ke dalam Undang-undang Pemilu akan memperjelas pengaturan:
Keempat, penyatuan Undang-undang Partai Politik ke dalam Undang-undang Pemilu tidak hanya dapat memperjelas jenis-jenis partai politik dan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi, tetapi juga dapat mempertegas fungsi masing-masing jenis partai politik. Ketegasan fungsi partai politik ini memudahkan penuntutan tanggung jawab partai politik di hadapan publik.