Konten dari Pengguna

Sistematika UU Pemilu: Asas, Tujuan, dan Sistem (1)

Didik Supriyanto
Ketua Dewan Pembina Perludem, didiksupriyanto.com.
27 Maret 2025 16:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Selama ini Undang-undang Pemilu tidak tepat dalam menjabarkan asas pemilu yang terdapat dalam konstitusi. Tujuan sebagai outcome tidak pernah dirumuskan sehingga pengaturan sistem pemilu tanpa arah.
ADVERTISEMENT
Undang-undang kodifikasi pemilu menyatukan tiga undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-undang (UU No 1/2015), Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No 2/200), dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017).
Tentu saja undang-undang jenis ini mempunyai materi muatan sangat luas dan memiliki banyak sekali pasal dan ayat. UU No 7/2017 saja memiliki 600 lebih pasal, apalagi jika ditambah materi muatan UU No 1/2015 dan UU No 2/2008.
Artikel ini akan membahas sistematika undang-undang kodifikasi pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011). Karena terlalu teknis dan panjang sehingga menjemukan, maka tentang sistematika undang-undang kodifikasi pemilu ditulis menjadi beberapa tulisan.
ADVERTISEMENT
Menurut ketentuan Nomor 68 Lampiran II Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam UU No 12/2011, jika peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas sehingga mempunyai banyak pasal, maka pasal atau beberapa pasal tersebut dikelompokkan menjadi buku, bab, bagian, dan paragraf.
Berdasarkan ketentuan itu dan mempertimbangkan konsep penyederhanaan kompleksitas pemilu (pemilu terdiri dari sistem, aktor, manajemen, dan hukum), maka sistematika undang-undang kodifikasi pemilu disusun atas enam buku: Buku Kesatu Ketentuan Umum, Buku Kedua Aktor Pemilu, Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu, Buku Keempat Penegakan Hukum Pemilu, Buku Kelima Ketentuan Sanksi, dan Buku Keenam Ketentuan Penutup.

Buku Kesatu: Ketentuan Umum

Buku kesatu tidak hanya menjelaskan beberapa istilah kunci, tetapi juga menjelaskan pokok-pokok pengaturan pemilu, sehingga setelah membaca buku kesatu ini sudah diketahui secara umum isi seluruh undang-undang. Buku Kesatu Ketentuan Umum ini terdiri dari Bab I Pengertian, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III Sistem Pemilu, Bab IV Hak Pilih, dan Bab V Penyelenggaraan.
ADVERTISEMENT
Bab I Pengertian menjelaskan konsep pokok atau nomenklatur. Mulai dari pengertian pemilu, sistem pemilu, jenis-jenis pemilu, penyelenggaraan pemilu, aktor-aktor pemilu, pelaksanaan pemilu, dan lain-lain yang perlu.
Bab II Asas dan Tujuan harus merumuskan asas dan tujuan pemilu dengan tepat, sesuatu yang belum dilakukan oleh Undang-undang Pemilu sebelumnya. Padahal asas adalah prinsip dasar yang menjadi landasan dalam pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum; sedangkan tujuan merupakan pengarah penyusunan norma pada pasal-pasal berikutnya.
Semua Undang-undang Pemilu mengambil oper begitu saja ketentuan tentang asas pemilu dari ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Tidak ada yang salah dengan norma ini di konstitusi, namun jika asas luber dikutip begitu saja ke dalam Undang-undang Pemilu, justru membingungkan.
ADVERTISEMENT
Sebab, asas luber dalam pemilu, sebenarnya hanya berlaku pada kegiatan inti pemilu, yakni pemungutan suara. Sedang kegiatan pemilu lainnya, misalnya kampanye, justru yang diperlukan adalah asas transparan. Sedangkan asas jujur dan adil berlaku pada semua kegiatan penyelenggaraan, yang terdiri dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta laporan dan evaluasi.
Oleh karena itu Undang-undang Pemilu sebaiknya menjabarkan penggunaan asas pemilu dalam konstitusi ke dalam undang-undang secara benar. Pertama, asas pemungutan suara adalah langsung, umum, bebas, dan rahasia, dan; kedua, asas penyelenggaraan pemilu adalah jujur dan adil, yang bisa ditambah efektif dan efisien yang sudah tersebut dalam Undang-undang Pemilu lama.
Dalam bahasa Indonesia tujuan mengandung dua pengertian, output atau keluaran dan outcome atau dampak. Nah, selama ini Undang-undang Pemilu hanya merumuskan tujuan pemilu sebagai output, seperti tujuan Pemilu Presiden adalah memilih presiden dan wakil presiden, tujuan pemilu legislatif memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan tujuan pilkada adalah memilih gubernur dan bupati/wali kota dan wakil-wakilnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tujuan sebagai outcome, yakni dampak sosial politik dan pemerintahan yang diharapkan? Tidak pernah dirumuskan! Inilah ironi terbesar Undang-undang Pemilu selama ini. Akibatnya, Undang-undang Pemilu terjebak pada pengaturan teknis prosedural, sehingga hasilnya tidak bisa dievaluasi. Pemerintahan amburadul dan pejabatnya korup, tidak bisa dipertanyakan pada proses pemilu karena semuanya sudah dilaksanakan sesuai undang-undang.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Sebenarnya, ilmu politik dan doktrin hukum tata negara mengenal tiga tujuan pemilu: pertama, membentuk badan perwakilan rakyat demi mewujudkan paham kedaulatan rakyat; kedua, menciptakan pemerintahan efektif demi melindungi dan mensejahterakan rakyat, dan; ketiga, menjaga perdamaian rakyat demi mempertahankan keutuhan negara.
Perumusan tiga tujuan itu memberi koridor dalam pengaturan sistem pemilu. Misalnya, dalam membentuk badan perwakilan rakyat akan tetap mempertahankan prinsip keterwakilan yang mewadahi keberagaman politik, atau mengutamakan suara mayoritas. Jika tujuan pertama yang dipilih, maka sistem pemilu proporsional harus dipertahankan. Apalagi sistem ini juga terbukti mencapai tujuan ketiga: perdamaian demi mempertahankan eksistensi negara.
ADVERTISEMENT
Namun sistem pemilu proporsional menghasilkan multipartai ekstrim di parlemen sehingga pemerintahan tidak mudah dalam mengambil keputusan. Apalagi presiden terpilih harus mendapatkan dukungan mayoritas parlemen agar pemerintahan stabil dan efektif.
Itu artinya undang-undang harus melakukan rekayasa sistem pemilu demi mengejar efektivitas pemerintahan yang dihasilkan sistem pemilu tanpa mengorbankan keberhasilan mewadahi keterwakilan politik dan menjaga perdamaian rakyat untuk mempertahankan eksistensi negara.
Dalam melakukan rekayasa sistem pemilu, maka undang-undang harus mengutak-atik variabel-variabel sistem pemilu: besaran daerah pemilihan (district magnitude), metode pencalonan (candidacy), metode memberikan suara (balloting), ambang batas perwakilan (parliamentary threshold), formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih (electoral formula), serta waktu penyelenggaraan pemilu (concurrency) dan sistem presidensial.