Belajar Mencintai Papua dari Seorang Muridan

Didit Handika
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
29 Januari 2021 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Handika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kami papua. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kami papua. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Di awal tahun 2021, pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi serta vaksinasi kepada masyarakat agar dapat menanggulangi pandemi Coronavirus Disease 19 (COVID-19) yang semakin menyebarluas di Indonesia. Namun, pro-kontra terhadap pelaksanaan vaksin semakin kuat terjadi pada masyarakat bahkan beberapa pejabat publik dengan gamblang menyatakan penolakannya untuk divaksin.
ADVERTISEMENT
Salah satu penolakan tersebut berasal dari seorang Natalius Pigai, mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Melalui cuitan akun twitternya @Nataliuspigai2, menuliskan “UU KESEHATAN RI NOMOR 36 TAHUN 2009 BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 5 (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. JADI HAK ASASI RAKYAT TOLAK VAKSIN (NP, Aktivis Kemanusiaan)”, cuitan tersebut dituliskan untuk menanggapi pandangan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (WAMENKUMHAM) Edward Hiariej mengatakan, masyarakat yang menolak vaksin akan menerima ancaman pidana oleh pemerintah.
Cuitan Pigai membuat geram banyak orang, salah satunya adalah Ambroncius Nababan. Seorang simpatisan Pro Jokowi yang memposting pada akun Facebook pribadinya dengan foto Pigai yang disandingkan dengan gorilla disertai tulisan yang menghina bentuk tubuh Pigai. Akibat hal tersebut, isu tentang rasisme kepada masyarakat Papua kembali merebak ke publik, meski saat ini Ambroncius Nababan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus rasisme kepada Pigai oleh Bareskrim Polri. Namun, permasalahan ini menjadi bukti bahwa masyarakat Papua masih hidup dalam belenggu rasisme yang besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Masalah Papua Menurut Muridan

Mengingat Papua, tentu kita harus banyak belajar dari sosok peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sangat mencintai tanah cendrawasih, yaitu seorang Dr. Muridan Satrio Widjojo atau yang akrab dipanggil dengan Muridan. Ia bersama tim peneliti LIPI pernah melakukan penelitian di tahun 2004-2008 untuk membuat Papua Road Map yang bertujuan menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di Papua.
Dalam Buku Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yang berjumlah 35 halaman berisi tentang masalah dan solusi untuk Papua, Muridan dan peneliti lainnya menjelaskan dalam buku tersebut tentang empat masalah utama yang dimiliki oleh masyarakat Papua, yaitu (1) marginalisasi dan diskriminasi masyarakat adat di Papua, (2) kegagalan pembangunan, (3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM, (4) sejarah dan status politik antara Jakarta dengan Papua. Keempat masalah itu terus terjadi hingga kini, padahal penelitian yang dilakukan oleh Muridan itu sekitar 12 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT

Papua Adalah Kita

Dr. Neles Tebay, seorang Pastor dan aktivis perdamaian Papua menceritakan kisahnya tentang Muridan dalam buku yang berjudul Muridan Kita & Papua: Sebuah Liber Amicorum (2014). Ia menuliskan bahwa Muridan selalu bekerja untuk perdamaian Papua bukan demi mengumpulkan harta dan kekayaaan. Karena bagi Muridan melibatkan diri demi Papua, karena baginya masyarakat Papua adalah kita sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia.
Dalam banyak kesempatan, Muridan selalu mengangkat masalah sosial di tanah papua. Mulai dari penebangan hutan, pengambilan tanah dari masyarakat, penegakan hukum yang diskiriminatif, pelanggaran HAM, dan kekerasan yang terjadi dimana-dimana.
Muridan pula yang memberikan empat solusi penyelesaian berbagai konflik yang terus terjadi di Papua, seperti yang dijelaskan dalam buku Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Solusi yang terdiri dari; (1) rekognisi dan pemberdayaan orang Papua, (2) paradigma baru pembangunan, (3) pengadilan HAM dan rekonsiliasi, dan (4) dialog. Langkah lebih luas dilakukan Muridan dengan terbentuknya Jaringan Damai Papua (JDP) untuk mewujudkan dialog terbuka antara Papua dan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Meski solusi itu terlihat begitu baik, tetapi hingga Muridan wafat pada tanggal 7 Maret 2014, tak ada satu pun dialog yang terjadi antara Jakarta dan Papua serta solusi-solusi lainnya yang tidak pernah diupayakan serius oleh pemerintah.
Namun, Muridan tidak pernah berhenti sampai akhir hayatnya untuk memperjuangkan perdamaian di Papua, karena Muridan meyakini bahwa Hak Asasi Manusia wajib dimiliki oleh seluruh manusia, termasuk masyarakat di Papua.