Memanusiakan Buku dan Martabat Intelektual

Didit Handika
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
11 Februari 2021 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Handika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Buku-buku telah memberikan saya pintu ajaib untuk berhubungan dengan banyak orang di masa lalu dan sekarang.”- Lisa Bu-
Membaca buku, Foto : Pinterest

Menggugat Razia Buku

ADVERTISEMENT
Pada akhir-akhir ini kita kembali diingatkan pada kebiasaan kelam rezim orde baru yang penuh dengan pelarangan dan razia terhadap berbagai jenis buku terutama buku yang dianggap menyebarkan paham komunisme dan mengancam ideologi Pancasila. Setidaknya kita melihat terdapat dua alasan mengapa pemerintah di mana pun di dunia ingin melarang buku; itu bisa berupa ketakutan atau kedunguan. Sejak Partai Komunis Indonesia hancur lebur dikalahkan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di bawah komando Soeharto pada tahun 1965, membuat paham-paham komunis, leninisme dan sejenisnya dinarasikan sebagai bahaya laten yang akan menggoyahkan keutuhan bangsa. Orang-orang di Indonesia, pada akhirnya dihantui rasa ketakutan pada apa yang mereka tidak tahu dan hal ini telah melembaga sejak 40 tahun yang lalu hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Jika kita sepakat dengan klaim bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi maka negara ini harus membuktikan bahwa tiga aspek yang terdiri dari kebebasan berekspresi, kebebasan berbicara dan kebebasan pers atau media massa memiliki jaminan dan ruang terbuka bagi setiap warga negara. Sangat aneh, bila kita mengatakan negara demokrasi namun ketiga hak tersebut nihil untuk diwujudkan dalam masyarakat. Seperti pada bulan April 2020, begitu dibuat terkejutnya kita pada polisi di Kota Banjar, Jawa Barat, yang menampilkan tujuh buah buku sebagai barang bukti atas kasus vandalisme oleh sekelompok pemuda, ketujuh judul buku yang digelar polisi sebagai barang bukti, yaitu buku berjudul ‘Sex dan Revolusi' karya Jean Paul Sartre ‘Muhammad, Marx dan Marhaen' karya Jeanne S. Mintz, 'Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat' karya Mark Manson, 'Negeri Para Bedebah’ karya Tereliye, , "Syekh Siti Jenar', karya Achmad Chodjim, 'Nietzsche Sabda Zarathustra' karya Friedrich Nietzsche, dan ‘Bertuhan Tanpa Beragama' karya Hendra Kristopel dianggap sebagai biang keladi pendorong pemuda-pemuda tersebut melakukan tindakan vandalisme yang mengancam negara.
ADVERTISEMENT
Pelarangan buku oleh institusi negara atau oleh pemerintah merupakan suatu bukti adanya upaya untuk menggerogoti intelektualitas masyarakat, dengan membenamkan dan menutup akses terhadap buku-buku yang memberikan realitas berbeda dengan apa yang pemerintah informasikan adalah sebuah paradoks bagi negara yang menganut sistem demokrasi yang cenderung seakan sama dengan rezim otoriter. Mengapa kondisi demikian dapat terjadi?, kita dapat menjawab hal ini dengan meminjam apa yang dijelaskan oleh Franz Magnis Suseno tentang klasifikasi dua kegunaan buku yang relatif bertentangan, menurutnya buku dianggap sebagai lumbung kebijaksanaan dan pusat pengetahuan esoteris atau bersifat rahasia. Kondisi ini bagi eyang magnis menempatkan negara untuk melegitimasi pengetahuan rakyatnya dengan adanya peraziaan buku dan lainnya.

Memanusiakan Buku di Kampus

Pada saat ini Indonesia sudah jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia dan generasi muda seperti kita mahasiswa harus kembali memikirkan bagaimana mengambil peran untuk menciptakan masa depan bangsa ini yang lebih berbeda dan baik. Generasi muda harus memiliki bekal atau modal untuk melakukan itu. Hanya pengetahuan yang dapat kita tempatkan pada posisi utama sebagai modal yang harus dimiliki generasi muda, untuk memperoleh pengetahuan yang holisitik dan banyak kita hanya bergantung pada satu cara yaitu membaca. Sebab, membaca buku-buku. Namun, hal ini tidak selaras dengan fakta yang ada bahwa generasi muda di Indonesia cenderung tidak menggemari membaca, mirisnya muda-mudi lebih tertarik membaca status orang lai di berbagai media sosial dibandingkan buku.
ADVERTISEMENT
Seperti dijelaskan dalam hasil studi Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APPJII), pada akhir januari 2020 disampaikan bahwa negara Indonesia menjadi salah satu jumlah pengguna media sosial terbanyak di dunia. Masih dari riset yang sama, jumlah pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 160 juta, meningkat 8,1 persen atau 12 juta pengguna dibandingkan tahun lalu. Dengan begitu, penetrasi penggunaan media sosial di Indonesia sudah mencapai 59 persen dari total jumlah penduduk. Serta rata-rata menggunakan sosial media adalah sekitar 3,2 jam dalam sehari. Bayangkan jika, waktu yang lama itu dapat dimanfaatkan oleh generasi muda untuk
Dalam sejarah, kita mencatat bahwa Indonesia telah kehilangan suatu era yang amat penting. Pada sejarah di Eropa, setelah melewati masa kegelapan dan penjajahan, lalu mereka masuk kepada era membaca, dan berujung pada era pengunaan teknologi. Namun, di Indonesia, era membaca terlupakan dan langsung masuk terjerumus ke dalam era teknologi. Teknologi pula yang nanti akan menghancurkan moral generasi bangsa. Teknologi menciptakan dunia yang penuh keterasingan akan buku dan kesesatan pengetahuan ketika masyarakatnya kehilangan waktu untuk membaca buku-buku.
ADVERTISEMENT
Pemuda seperti kita yang saat ini menjadi mahasiswa sudah sepatutnya, kembali untuk memiliki kedekatan dengan berbagai buku-buku dan punya kegemaran akan membaca serta hasrat ingin tahu yang besar, Soe Hoek Gie pernah mengingatkan kita bahwa yang dibutuhkan oleh seorang mahasiswa hanyalah buku, pesta dan cinta. Bagi Gie, buku adalah sumber-sumber kekuatannya agar tetap hidup dalam kejujuran dan kewarasan atas kondisi-kondisi kehidupan yang sulit. Bagi seorang Soe Hoek Gie, perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran. jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya. Dan hal itu selalu dia yakini dapat terwujud dengan selalu menghabiskan banyak waktunya untuk membaca buku-buku di kampus Universitas Indonesia yang berada di Rawamangun pada masa itu, buku baginya menciptakan intelektualitas dan ketajaman pikir pada hati dan tindakan.
ADVERTISEMENT

Memulihkan Kembali

Mungkin kita juga tak ada alasan kuat untuk menghindari dari kembali membaca buku. Jika dulu Gie, selalu kesal dengan sulitnya akses berbagai bacaan buku yang dapat dia nikmati, kita justru malah kesal bila dosen selalu menuntut kita untuk membaca berbagai jenis buku. Padahal aksesibilitas kita sekarang telah lebih mudah dengan adanya perpustakaan nasional yang megah, perpustakaan daerah hingga perpustakaan yang besar pada setiap universitas atau kampus-kampus kita masing-masing. Namun, memang perpustakaan selalu menjadi tempat yang mengerikan karena dianggap jauh dengan teknologi dan modernitas kehidupan generasi muda, dibandingkan tempat-tempat perbelanjaan yang mewah dan serba futuristik adalah tempat yang nyaman bagi muda-mudi menghabiskan waktunya.
Memulihkan kembali kedekatan dengan buku menjadi wajib bagi mahasiswa pada zaman sekarang, meski budaya kedangkalan yang membuat intelektualitas dan budaya kritis semakin termarjinalkan dalam kehidupan-kehidupan generasi muda. Melalui berbagai cara yang lebih hebat pada era ini, negara selalu dapat melegitimasi rakyat dengan berbagai institusi-institusi atau kebijakan yang menjauhkan kita terhadap pengetahuan yang dapat memerdekakan diri kita dari belenggu kertertindasan dan kedunguan. Seperti yang disampaikan oleh Lisa Bu dalam penampilannya pada TEDtalks yang berjudul “How books can open your mind”, ia berujar bahwa buku-buku telah memberikan saya pintu ajaib untuk berhubungan dengan banyak orang di masa lalu dan sekarang. Karena memang buku selalu memberikan kita ruang untuk berpikir, menilai dan bertindak.
ADVERTISEMENT
Oleh: Didit Handika