Konten dari Pengguna

Pendidikan Multikulturalisme, Menjaga Kemajemukan di Dunia Pendidikan

Didit Handika
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta
29 Agustus 2021 20:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Handika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Dok. Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Dok. Pixabay
ADVERTISEMENT
Keberagaman budaya memanglah unik dan menuntut kita memiliki sifat untuk saling bertoleransi. Namun, problematika pun selalu muncul atas dasar keragaman suku, ras, dan agama yang memunculkan isu rasial. Secara kebahasaan rasialisme bermakna prasangka berdasarkan keturunan bangsa yang menjadi suatu perlakuan sesuatu yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada sejarah, awal mula praktik rasialisme kerap terjadi di Amerika Serikat yang terkenal dengan negara multi-etnis. Di Amerika Serikat sendiri terjadi karena suatu potret suram demokrasi yang diibaratkan sebuah bara dalam sekam yang mudah menyemburkan nyala api akibat perilaku aparat keamanan terhadap salah satu ras yang kerap berperilaku diskriminatif.
Pada Mei 2020 kemarin, merupakan pengulangan sejarah di masa lampau dengan kejadian terbunuhnya George Floyd, seorang warga kulit hitam di kota Minneapolis, mengusik psikologi massa untuk melakukan perlawanan sosial terhadap aparat di sana. Serta hingga saat ini di Amerika Serikat tengah ramai isu Asian Hate yang berujung pada terkucilkannya warga AS keturunan Asia dan kebencian terhadap negara Tiongkok. Hal ini menambah catatan AS sebagai negara tidak toleransi terhadap beberapa ras yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kejadian serupa pun terjadi di Indonesia, seperti kasus rasisme terhadap Etnis Tionghoa hingga masyarakat Papua menimbulkan banyaknya korban jiwa akibat aksi rasisme ini. Setara Institute merilis riset Indeks Kota Toleran Tahun 2020 dari 94 kota sebagai objek kajian yang menunjukkan bahwa sekolah atau lembaga pendidikan menjadi salah satu tempat paling tidak toleran diberbagai lokasi di Indonesia. Faktor utamanya seperti guru yang diskriminatif, aksi intimidasi antar murid, hingga sistem pendidikan yang kurang mengakomodir keragaman suku, ras, dan agama.
Hanya terdapat 10 kota dengan di atas skor dominan seperti, Salatiga (6,717), Singkawang (6,450), Manado (6,200), Tomohon (6,183), Kupang (6,037), Surabaya (6,033), Ambon (5,733), Kediri (5,583), Sukabumi (5,546), dan Bekasi (5,530). Sehingga dibutuhkan konsep pendidikan yang dapat memberikan ruang keberagaman bagi setiap peserta didik di Indonesia yaitu Konsep Pendidikan Multikulturalisme yang dikembangkan oleh Prof. H.A.R. Tilaar.
ADVERTISEMENT
H.A.R Tilaar Penggagas Konsep Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia
H.A.R Tilaar seorang guru besar dari Universitas Negeri Jakarta di tahun 2000-an yang mengawali gagasan konsep multikulturalisme Indonesia. Ia mengungkapkan pentingnya menanamkan pemahaman keberagaman atau multikultural kepada setiap peserta didik sejak dini, karena bukan hanya agar mereka saling mengetahui bahwa negara Indonesia terdiri dari banyak budaya dan agama melainkan agar mereka dapat memaknai keberagaman itu menjadi sebuah nilai-nilai toleransi yang wajib mereka miliki.
Konsep ini menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima serta memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial. Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang interkulturalisme setelah Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Kemunculan gagasan dan kesadaran interkulturalisme ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, diskriminasi rasial, dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference) atau politics of recognition terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Tilaar menganggap bahwa yang menjadikan konflik Indonesia terus-menerus terjadi karena pendidikan tidak mengajarkan bahwa mereka beragam namun satu entitas keindonesiaan yang satu, artinya meski memiliki perbedaan latar belakang tapi mereka tetap satu yaitu sebagai masyarakat yang lahir dan tumbuh sebagai warga negara Indonesia.
Multikulturalisme dan Kemajuan Peradaban Masyarakat Indonesia
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan H.A.R Tilaar, Paulo Freire, seorang ahli Pendidikan dari Brasil menuturkan, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. “Harus mampu membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya,” tuturnya.
Freire menambahkan, pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi “manusia” agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai pada tingkat ketertinggalan.
Oleh karena itu, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan cultural domain. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.