Konten dari Pengguna

Rasisme Yang Tak Berujung di Papua

Didit Handika
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta
31 Januari 2021 18:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Handika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus rasisme yang terjadi pada Natalius Pigai menjadi tambahan catatan panjang terhadap berbagai kasus rasisme yang menimpa masyarakat Papua. Permasalahan rasisme bagi Papua memang seolah tak berujung.
Ilustrasi Rasisme Papua, Dok : Pribadi Didit Handika
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rasisme Papua, Dok : Pribadi Didit Handika
Dilansir dari Diskusi Publik Jamaah Muslim Fisipol (JMF) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 6 Juli 2020, Zaki Aarobi seorang Professor dari Departemen Sosiologi UGM mengatakan, “Ada stereotip yang melekat pada orang Papua; bahwa mereka pemabuk, pemalas, dan lainnya. Stereotipe inilah yang menjadi pemicu penganiayaan massal seperti yang terjadi di Surabaya. Dan ketika mereka menggunakan hak politiknya, mereka sering dianggap sebagai ancaman berkedok “NKRI sampai kita mati” yang bukan lagi milik militer semata, tetapi juga milik sipil dan organisasi sipil paramiliter.”
ADVERTISEMENT
Warisan Sejarah yang Merugikan
Persoalan rasial di Papua yang berlarut larut disebabkan masih adanya perbedaan mendasar mengenai pemahaman kepentingan sejarah dan status politik di antara masyarakat Papua dengan Negara yang kerap kali bertindak diskriminatif.
Diskriminasi rasial di Papua telah terjadi subur sejak masa kolonial, dimana pemerintah Belanda pada masa itu menerapkan kebijakan segregrasi tempat hunian yang dibedakan berdasarkan ras atau warna kulit. Orang-orang Belanda selalu memuncaki kedudukan sosial yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat Papua itu sendiri, dimana semua lahan-lahan yang ada disana berhak pemerintah kolonial miliki.
Dalam buku Agenda Damai & Potensi Damai di Papua (2005), peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerangkan bahwa terdapat pembedaan kelas pekerja yang terjadi di Papua, dimana banyak masyarakat adat yang kalah bersaing dengan para pembinis dan pemodal asing untuk menguasai lahan-lahan di Papua. Kekalahan tersebut pada akhirnya menciptakan keterasingan bagi masyarakat Papua di wilayahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Biopolitik Bagi Papua
Konflik berkepanjangan di Papua juga mengakibatkan rriunculnya persoalan trauma dan psikologis di antara masyarakat terutama para korban yang secara langsung maupun tidak langsung mengalami penderitaan dan kekerasan politik. Meskipun kekerasan politik yang dialami masyarakat Papua tidak pernah tercatat atau sengaja dilupakan dalam sejarah bangsa Indonesia pengalaman traumatis ini dapat diingat dengan sangat jelas oleh para korban. Pengalaman buruk yang diceritakan turun temurun telah membentuk memoria passionis yang sulit dihapuskan.
“Benang merah yang mengikat rasisme, kolonialisme, dan kapitalisme tidak dapat dinihilkan. Kolonialisme berasal dari perasaan superioritas. Dulu orang melihat kolonialisme sebagai budaya, yaitu kepercayaan bahwa orang kulit putih dimaksudkan untuk menjadi peradaban, agen yang membudayakan bangsa lain. Inilah yang oleh Foucault disebut biopolitik, di mana tubuh menjadi arena pertarungan politik. Kulit putih dan kulit hitam dibagi menjadi beberapa kategori seperti beradab dan biadab.” Ujar Zaki dalam sesi diksusi JMF UGM 2020.
ADVERTISEMENT