Memahami Lebih Jauh Metode Montessori Melalui Filsafat Ilmu

Dien Nurdini Nurdin
Menamatkan pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Psikologi UI, kini berprofesi sebagai Psikolog bersertifikat HIMPSI, dosen Fakultas Psikologi UI, dan ibu dari tiga anak.
Konten dari Pengguna
27 Juni 2021 6:04 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dien Nurdini Nurdin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Alat kegiatan montessori. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Alat kegiatan montessori. Foto: Shutterstock

Penulis: Dien Nurdini Nurdin, M.Psi., Psikolog

ADVERTISEMENT
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan di Indonesia saat ini memang perlu dipertanyakan. Banyak pembicaraan mengenai pendidikan alternatif di luar sekolah tradisional seperti Home Schooling, Billingual School, dan yang mulai ramai dibicarakan adalah Sekolah Montessori.
ADVERTISEMENT
Sekolah Montessori saat ini banyak berkembang di kota-kota besar Indonesia dan menjadi pembicaraan hangat sebagai jawaban atas ketidakpuasan pendidikan di indonesia. Metode Montessori sendiri pada awalnya dikembangkan dari Italia oleh Dr. Maria Montessori melalui teori perkembangan anak yang ia dapat dari observasi yang dilakukannya. Dr. Maria Montessori pada awalnya adalah seorang physician di yang kemudian tertarik menjadi pendidik di awal abad ke-20. Metode Montessori yang dikembangkan menekankan pentingnya penyesuaian lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangannya, serta peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep akademis dan keterampilan praktik (learning and movement).
ADVERTISEMENT
Di kalangan peneliti psikologi sendiri, sikap terhadap Montessori beraneka ragam, beberapa yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai metode tersebut memberikan apresiasi mereka, sementara beberapa yang belum mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai pendekatan ini cenderung salah paham (Lillard, 2005). Lebih lanjut, metode Montessori akan dibahas secara lebih mendalam melalui filsafat ilmu, yaitu aspek Ontologi, Epistemologi, Pandangan mengenai Metode Montessori sebagai Ilmu, dan Penerapan Metode Montessori di konteks Indonesia.

Epistemologi

Metode Montessori pada dasarnya adalah pengembangan dari filsafat konstruktivisme yang berkembang pada tahun 1930-an. Pada awalnya, pembuat teori pendidikan seperti Dewey, Piaget, Bruner, dan Montessori mengembangkan alternatif baru untuk mengatasi kritik dari para behavioris. Penelitian-penelitian psikologi menemukan bahwa pendekatan behavior (seperti sistem reward-punishment) dan anggapan bahwa anak merupakan tabula rasa (John Locke) tidak lagi relevan untuk pembelajaran seseorang.
ADVERTISEMENT
Berbagai temuan penelitian tersebut antara lain: (1) Mempelajari dalam konteks yang berkesan akan lebih menghasilkan pembelajaran dibandingkan mempelajari sesuatu tanpa mengerti konteks penggunaannya. Misalnya, seorang anak yang berjualan di pasar mungkin tidak pernah mengerti soal matematika yang diajarkan di kelas, tapi mendapatkan pelajaran yang lebih ketika berada dalam konteks sebenarnya.
Terkadang seseorang memiliki pengetahuan yang semestinya bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari namun tidak dapat mentransfer pengetahuan tersebut di luar konteks sekolah. (2) Pemberian rewards dapat memberikan efek yang tidak baik dalam pemaknaan konsep belajar bagi anak. Misalnya, seorang anak akan belajar demi pizza, bukan demi pengetahuan yang akan mereka peroleh. Penggunaan prinsip behavior ini masih banyak digunakan pada buku teks, kurikulum, dan metode sekolah tradisional (Lillard, 2005).
ADVERTISEMENT
Montessori tergolong ke dalam konstruktivis karena ia melihat anak-anak sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan daripada hanya mengisinya seperti kertas kosong. Dalam konstruktivisme, setting belajar juga penting untuk diciptakan bermakna, karena individu menggunakan peralatan dan material dari lingkungan dalam mengkonstruk pengetahuan mereka (Isaacs, 2008). Sumber pengetahuan dalam Montessori ini sejalan juga dengan Rasionalisme Kritis Kant, di mana pengetahuan yang ideal adalah perpaduan antara pengetahuan yang bersumber dari pengalaman indera dan rasio.
Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya didapat secara “a priori” yaitu murni dari pemikiran saja, namun juga “syntethic truth” yaitu memahami lebih jauh berdasarkan properti yang ada di dunia sehingga secara aktual dapat menjelaskan hakikat dari sesuatu. Kant menyebut pengetahuan perpaduan ini sebagai “sintesis a priori” (Rosenberg, 2005).
ADVERTISEMENT
Dalam metode Montessori, terdapat tiga hal yang berperan dalam pembelajaran, yaitu: pemikiran anak itu sendiri, lingkungan yang mendukung, dan guru (Issaacs, 2008). Dinamika dan interaksi dari ketiga komponen ini yang merepresentasikan apa yang dikenal sekarang sebagai pendekatan Montessori.
Secara “a priori”, metode Montessori menekankan pada pemikiran yang dapat diproses oleh anak itu sendiri. Montessori memandang bahwa setiap anak adalah individu yang unik dengan potensial yang dimilikinya masing-masing. Setiap anak juga memiliki tahapan perkembangan pemikiran mereka, yaitu absorbent mind (0-6 tahun), childhood (6-12 tahun), adolescence ( 12-15 tahun).
Secara “sintesis”, metode Montessori menekankan pentingnya lingkungan yang mendukung dan guru. Montessori, seperti halnya Piaget, melihat lingkungan sebagai faktor kunci dalam pembelajaran spontan. Montessori percaya, lingkungan yang baik akan membantu perkembangan anak secara keseluruhan dan membuka kesempatan agar anak bisa mengembangkan potensi mereka. Sementara guru dipandang sebagai seseorang yang mengatur ruangan kelas dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara spontan (Isaacs, 2008)
ADVERTISEMENT
Montessori memandang pembelajaran sebagai sesuatu yang holistik. Pendidikan baginya adalah kunci untuk pengembangan anak dan faktor yang berkontribusi dalam persiapan anak menghadapi kehidupan. Oleh karena itu, seorang anak seharusnya tidak mempelajari suatu subjek mata pelajaran, melainkan mereka mempelajari sesuatu secara holistik dalam sifat alaminya.
Kemampuan siswa dalam mengobservasi, mengeksplor, menginvestigasi, mengajukan pertanyaan, dan sebagainya mengenai lingkungan mereka seharusnya tidak dikemas dalam suatu mata pelajaran tertentu. Anak sebaiknya mengamati dan mengeksplorasi hal-hal yang ia minati (Isaacs, 2008).
Untuk mencapai kebenaran dalam pembelajaran, Montessori menggunakan pendekatan kurikulum sebagai berikut:
(1) Menggunakan permainan sebagai alat utama pembelajaran,
(2) Memiliki area pembelajaran yang terdiri dari:
a. Practical life, memberikan pengembangan dari tugas organisasional dan urutan kognisi melalui perawatan diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati, dan koordinasi dari pergerakan fisik,
ADVERTISEMENT
b. The sensorial area, membuat anak mampu untuk mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperatur, masa, warna, titik, dan lain-lain.
c. Mathematics, memanfaatkan pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasi konsep angka, simbol, urutan operasi, dan memorisasi dari fakta dasar
d. Language art, yang di dalamnya termasuk pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang grammar, dramatisasi, dan kesusesteraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis dan membaca dikembangkan melalui penggunaan huruf dari kertas, kata-kata dari kertas pasir, dan berbagai prestasi yang memungkinkan anak-anak untuk menghubungkan antara bunyi dan simbol huruf, dan mengekspresikan pemikiran mereka melalui menulis.
e. Cultural activities, membawa anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosial.
ADVERTISEMENT
f. Creativity, musik, dan seni lainnya merupakan bagian dari kurikulum terintegrasi.
Sekolah Montessori juga memiliki model yang berbeda dengan sekolah lainnya. Tidak seperti sekolah tradisional yang terlihat seperti pabrik (memiliki siswa yang banyak dengan pengetahuan yang diajarkan sama), sekolah Montessori lebih terlihat sebagai miniatur dari laboratorium penelitian universitas. Anak-anak di Sekolah Montessori menyelesaikan proyek mereka masing-masing, sama seperti para peneliti dalam laboratorium. Sama halnya, anak pun dapat memilih sendiri apa yang mereka ingin pelajari, berdasarkan hal yang mereka minati. Dalam pelaksanaannya, terdapat prinsip yang perlu diperhatikan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, yaitu (Lillard, 2005):
1. Aktivitas (movement) dan kognisi (cognition) sangat erat satu sama lain, aktivitas dalam hal ini dapat juga meningkatkan pemikiran dan pembelajaran.
ADVERTISEMENT
2. Pembelajaran dan kesejahteraan akan meningkat ketika seseorang memiliki perasaan mengontrol hidupnya sendiri
3. Seseorang akan belajar lebih baik ketika mereka tertarik dengan apa yang dipelajarinya.
4. Pemberian reward dalam melakukan aktivitas, seperti pemberian uang jika membaca atau mendapatkan nilai yang bagus pada test, akan berpengaruh negatif terhadap motivasi dalam beraktifitas jika tidak ada lagi reward yang diberikan.
5. Kolaborasi dari siswa lain yang berbeda umur akan memberikan suasana yang kondusif bagi pembelajaran.
6. Mempelajari situasi pada konteks yang bermakna akan lebih mendalam dan kaya pembelajaran dibandingkan belajar pada konteks yang abstrak.
7. Bentuk interaksi dari orang dewasa berkaitan dengan pencapaian anak yang optimal.
ADVERTISEMENT
8. Pengaturan ruangan akan bermanfaat bagi siswa.

Ontologi

Dalam Montessori, manusia dipandang sebagai pembentukan dari dua unsur (dualisme), yaitu jiwa (mind) dan tubuh (body). Hal ini terlihat dari pendekatan yang dipakai, misalnya anak akan lebih baik belajar hal-hal yang menjadi minatnya (mind) dan anak sebaiknya melakukan aktivitas tertentu dalam pembelajarannya (body). Dalam Lillard (2005) tercermin bahwa dalam prinsip Montessori, aktivitas (movement) dan kognisi (cognition) sangat erat satu sama lain, aktivitas dalam hal ini dapat meningkatkan pemikiran dan pembelajaran. Aktivitas dapat terlihat sebagai unsur tubuh, dan kognisi dapat terlihat sebagai unsur jiwa.
Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang bebas (independen) dan berhak memilih sendiri apa yang mau dipelajarinya. Prinsip ini diterapkan dalam Montessori, yaitu seseorang akan belajar lebih baik ketika mereka tertarik dengan apa yang dipelajarinya. Hal ini sejalan dengan aliran filsafat indeterminisme di mana manusia bebas dalam menentukan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatannya, Montessori memandang bahwa setiap anak adalah individu yang unik dan memiliki potensinya masing-masing. Dengan kata lain, manusia dipandang sebagai makhluk individual sehingga bersifat unik dan subjektif. Namun, Montessori juga berpendapat bahwa faktor lingkungan penting bagi perkembangan anak. Dalam praktiknya, satu kelas dalam pendekatan Montessori berisi kurang dari 20 anak dengan rentang umur yang berbeda-beda, sehingga satu sama lain dapat saling belajar. Kolaborasi dari siswa lain yang berbeda umur akan memberikan suasana yang kondusif bagi pembelajaran. Selain itu, bentuk interaksi dari orang dewasa berkaitan dengan pencapaian anak yang optimal.
Kedudukan manusia dalam Montessori lebih ke aliran filsafat humanisme, yaitu manusia pada dasarnya adalah pusat dunia, berposisi paling tinggi di atas makhluk-makhluk lain dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Hal ini tergambar dalam prinsip Montessori, yaitu pentingnya individu dalam menentukan hidupnya sendiri di mana pembelajaran dan kesejahteraan akan meningkat ketika seseorang memiliki perasaan mengontrol hidupnya sendiri. Kontrol terhadap diri sendiri ini juga yang menyebabkan dalam Montessori tidak ada prinsip reward, karena dapat menurunkan motivasi anak dalam beraktivitas untuk pembelajaran dirinya sendiri jika reward tidak ada.
ADVERTISEMENT
Kepribadian dan tingkah laku seorang anak dalam pendekatan Montessori dipandang sebagai gabungan dari produk lingkungan (nurture) dan bawaan (nature), dengan kata lain sepaham dengan aliran filsafat interaksionisme. Seorang anak dipercaya memiliki potensi mereka masing-masing sejak lahir (nurture), dan nantinya akan dikembangkan melalui lingkungannya (nature). Hal ini juga yang menyebabkan adanya pemahaman “absorbent mind” dalam Montessori serta penekanan pada faktor setting kondusif yang sangat penting bagi anak. Selain itu sesuai dengan teori Piaget dan Vygotsky, faktor lingkungan dan budaya juga diperhitungkan dalam memberikan kontribusi yang baik dalam pembelajaran anak.
Pendekatan Montessori menolak penggambaran yang dilakukan oleh kaum Empirisme John Locke, di mana anak dipandang sebagai tabula rasa atau kertas kosong yang dapat diisi kemudian. Montessori menganggap setiap anak pada dasarnya baik dan memiliki potensinya masing-masing. Hal ini menjawab kritik mengenai tahapan perkembangan Piaget yang terkesan terlalu underestimate dalam menilai kemampuan anak. Pandangan positif dari Montessori ini sejalan dengan aliran filsafat humanisme dalam memandang manusia pada dasarnya baik atau buruk.
ADVERTISEMENT

Metode Montessori sebagai Ilmu

Piaget dan Montessori sama-sama bersifat konstruktivisme dan melakukan observasi terhadap anak dengan tahapan perkembangan. Pada Piaget, anak diobservasi berdasarkan interaksi mereka dengan stimulus yang ditentukan. Tujuan Piaget pada dasarnya adalah untuk menjelaskan intelegensi anak, sayangnya teori yang dimiliki Piaget sudah diasumsikan terlebih dahulu sehingga rentan untuk melakukan observasi dengan menyesuaikan teorinya.
Sementara itu, tujuan awal Dr. Montessori lebih ke arah praktis, yaitu ia ingin mengembangkan sistem pendidikan untuk anak dan tidak terlalu tertarik pada pembentukan teori. Dr. Montessori pun sebenarnya adalah Physician, yang menangani pengobatan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Dengan demikian Dr. Montessori melakukan observasi yang lebih objektif di mana latar belakang ilmunya mengenai pengobatan juga dapat membawa hasil yang optimal mengenai pembelajaran dan perkembangan.
ADVERTISEMENT
Dalam memperoleh ilmu, pendekatan yang dipakai adalah kualitatif, hal ini sudah tepat karena Montessori memandang manusia sebagai dualisme, tidak terbatas pada fisik atau biologis saja. Secara umum, metode Montessori dapat dipakai sebagai ilmu pengetahuan karena telah melakukan pendekatan scientific dalam memperoleh teori.

Penerapan Metode Montessori di Indonesia

Metode Montessori banyak dipakai oleh sekolah preschool di Indonesia. Namun begitu, Pendidikan prasekolah dengan metode Montessori membutuhkan fasilitas yang terencana dan terorganisir dengan baik. Metode pendidikan tanpa didukung fasilitas pendidikan yang memadai, tidak dapat mencapai tujuan pendidikan.
Dengan demikian fasilitas pendidikan prasekolah bukan sekadar fungsi ruang semata, karena ruang akan memberikan stimulus yang besar bagi proses perkembangan anak seutuhnya. Penelitian Tesis S2 pada sekolah Montessori di Bandung menunjukkan bahwa Bandung Montessori School telah mengalami perubahan konsep penggunaan fungsi ruang, yang berpengaruh pada program kegiatan dan aktivitas anak.
ADVERTISEMENT
Sebagian fasilitas pendidikan Bandung Montessori School saat ini tidak sesuai lagi dengan metode Montessori; di antaranya; ruang kelas melebihi kapasitas (maksimal 20 anak, diisi 23 anak); tidak ada laboratorium komputer, perpustakaan dan workshop sehingga ada program kegiatan yang tidak terlaksana (Mahmudin, 2005). Pemahaman dasar mengenai filsafat ilmu dari Montessori perlu dipahami oleh para pendiri sekolah pre-school ini agar dapat melakukan evaluasi secara berkala mengenai fasilitas sekolah mereka.
Selain itu, pendidikan Montessori di Indonesia juga umumnya cukup mahal, sehingga biasanya siswa yang mendaftar hanya berasal dari kalangan tertentu, yaitu kelas atas. Melihat konsep dasar dari Montessori ini, sebaiknya kalangan siswa diperluas, agar siswa dapat belajar satu sama lain dan mendukung pembelajaran yang kondusif. Peralatan juga dapat dikembangkan dari yang digunakan di keseharian masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Faktor lingkungan juga menjadi peran penting dalam Metode Montessori. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen yang tinggi dari orang tua yang mendaftarkan anaknya di sekolah Montessori. Belum lagi budaya di Indonesia, di mana anak-anak seringkali dilayani oleh “pembantu” sehingga menyebabkan anak menjadi kurang mandiri dan dapat menghambat pembelajarannya. Dengan demikian faktor lingkungan keluarga perlu diperhatikan sebagai pertimbangan Sekolah Montessori dalam menerima anak didik baru.
Sistem pendidikan di Indonesia secara garis besar masih bersifat tradisional. Siswa yang berasal dari sekolah Montessori pun pada akhrinya memiliki kemungkinan melanjutkan di sekolah tradisional yang sangat berbeda dengan budaya di sekolahnya saat ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan lebih lanjut agar perbedaan budaya tersebut tidak malah menurunkan motivasi siswa, karena pada dasarnya pendidikan Montessori disusun agar siswa dapat lebih menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Semoga dalam pelaksanaannya di Indonesia metode Montessori tidak diperdebatkan dengan metode yang sudah ada karena pada akhirnya semua ilmu pengetahuan dibuat untuk menciptakan kemudahan dalam mencapai kesejahteraan manusia.
Daftar Pustaka:
Isaacs, B. (2007) Bringing the Montessori Approach to Your Early Years Practice. New York: Rotledge.
Lillard, A. S. (2005) Montessori: The Science Behind The Genius. New York: Oxford University Press.
Loose, John. (2001) A Historical Introduction to Philosophy of Science. New York: Oxfor University Press.
Mahmudin. (2004) Master Tesis: Evaluasi Fasilitas Pendidikan Prasekolah berkaitan dengan Metode Pendidikan. Bandung: ITB Post-Graduate School.
Rosenberg, A. (2005) Philosophy of Science, A Contemporary Introduction, 2nd Ed. New York: Rotledge.
Slee, P. & Rosalyn S. (2003) Child Development: Thinking about Theories. New York: Oxford University Press.
ADVERTISEMENT
Suriasumantri, Jujun S. (1998) Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg14809.html