Konten dari Pengguna

Menemukan Keselarasan antara Logika dan Perasaan Ketika Depresi

Dienda Mutiara Faqih
Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Pamulang (UNPAM)
14 Juni 2023 20:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dienda Mutiara Faqih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi depresi. Foto: amenic181/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi. Foto: amenic181/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pertanyaan seperti itu muncul ketika pembahasan tentang logika diangkat dalam sebuah forum diskusi. Saat itu pembicara menjawab, “karena selain memiliki logika, seseorang memiliki perasaan dan perasaan itu begitu rumit.” Jawabannya tidak salah, tetapi membuat kita berpikir kembali tentang posisi logika dan perasaan ketika seseorang sedang depresi.
ADVERTISEMENT
Banyak dari kita ‘terbiasa’ memahami bahwa logika dan perasaan itu berlawanan, seperti hitam dan putih. Bahwa seseorang yang berlogika tidak memiliki perasaan dan seseorang yang berperasaan itu tidak berlogika. Pada kenyataannya, logika dan perasaan itu saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Secara singkat, logika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membimbing kita dalam proses berpikir dan penalaran, sedangkan emosi dan perasaan merupakan respons batin manusia terhadap rangsangan atau stimulus yang diterima. Dalam kehidupan sehari-hari, logika dan perasaan dapat terjadi bersamaan seperti hujan panas, yang mana ketika digunakan secara efektif dan tepat dapat membuat keputusan yang diambil lebih seimbang dan maksimal. Jika diibaratkan hujan adalah logika dan matahari adalah perasaan, bukan tidak mungkin terjadi hujan panas, yang artinya logika dan perasaan tidak saling berlawanan meski terlihat saling berlawanan, dan dapat terjadi bersamaan.
ADVERTISEMENT
Depresi di sisi lain, merupakan salah satu kondisi kesehatan mental yang sering dialami oleh banyak orang dan sering kali berhubungan dengan kecemasan, dapat bersifat sementara hingga berat dan berlangsung lama, serta bisa dialami sekali dalam hidup hingga berulang kali. Penyebabnya beragam, depresi dapat timbul sebagai hasil dari respons terhadap suatu peristiwa seperti perundungan, kehilangan keluarga, masalah keluarga, stres untuk waktu yang lama, keturunan, atau bahkan tidak diketahui apa penyebab depresi itu.
Penderita depresi memiliki beberapa ciri seperti, sering menyalahkan diri sendiri dan merasakan rasa bersalah, merasa rendah diri, tidak berharga, dan putus asa. Selain itu, juga sering merasakan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, suasana hati yang buruk atau kesedihan yang berlebihan, serta kepekaan emosional yang ditunjukkan melalui mudah marah, sering menangis, dan sikap apatis terhadap sekitar.
ADVERTISEMENT
Depresi juga ditandai dengan kesulitan berpikir, mengambil keputusan, dan berkonsentrasi. Seseorang yang mengalami depresi cenderung kehilangan minat dan motivasi terhadap banyak hal (anhedonia). Selain itu, pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri juga merupakan gejala yang sering muncul.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), depresi saat ini menempati peringkat keempat dalam daftar penyakit dunia dan diproyeksikan menjadi masalah utama dalam gangguan kesehatan. Isu bunuh diri juga menjadi perhatian serius dalam bidang kesehatan masyarakat saat ini. Berdasarkan laporan WHO tahun 2019, sekitar 800.000 orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri di seluruh dunia, dengan angka ini cenderung lebih tinggi pada kelompok usia muda.
Di kawasan Asia Tenggara, tingkat bunuh diri tertinggi tercatat di Thailand dengan angka 12,9 per 100.000 populasi, diikuti oleh Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7), dan Filipina (3,7). Di Indonesia, tingkat depresi mengalami peningkatan tiga kali lipat selama pandemi. Dalam dua tahun terakhir, terjadi peningkatan hingga 28 persen, yang melibatkan 1.161 responden dari bulan Maret hingga April 2020. Pada tahun 2021, peningkatan tersebut meningkat lagi menjadi 32 persen.
ADVERTISEMENT
Tindakan bunuh diri seperti memiliki pemikiran bunuh diri, membuat rencana bunuh diri, dan melakukan tindakan yang berpotensi fatal, terkait erat dengan gangguan mental yang beragam, termasuk depresi. Gejala-gejala depresi seperti perasaan rendah diri, kehilangan harapan, atau perasaan putus asa, merupakan faktor risiko yang signifikan dalam upaya bunuh diri. Diperkirakan sekitar 55 persen dari individu yang mengalami depresi memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.
Ketika seseorang mengalami depresi hingga bertujuan untuk menyakiti diri sampai tingkat ekstrem, bukan berarti dia tidak berlogika sama sekali dan terdorong oleh perasaannya saja. Kebanyakan penderita depresi merasa tidak tahan dengan kehidupan yang dijalaninya sehingga memilih untuk bunuh diri, semata-mata bukan karena ingin mati, tapi tidak ingin hidup seperti hidupnya yang sekarang.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, logikanya berperan memberikan gambaran tentang kehidupan yang tengah dijalaninya dan yang akan datang. Di sisi lain, perasaannya juga berperan sebagai keinginan untuk terbebas dari perasaan menyesakkan, cemas, dan menyakitkan yang dialaminya. Sebuah kontradiksi yang mungkin saja terjadi bagi penderita depresi dengan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa logika dan perasaan memiliki keselarasan ketika seseorang tengah mengalami depresi.
Bahkan jika penderita depresi memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri, itu bukan karena dia tak berlogika, melainkan logikanya menggambarkan tentang dirinya sendiri yang akan hidup berkutat dengan depresi sehingga dia tidak ingin mengalaminya lagi dan memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tentu didorong oleh perasaan kuat yang saling mempengaruhi.
Pada kasus lain penderita depresi, logika dan perasaannya dapat menuju ke arah berlawanan. Daripada keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri, penderita ini lebih berkeinginan untuk hidup dan memiliki semangat untuk hidup yang kuat bahkan ketika depresi.
ADVERTISEMENT
Dia beranggapan bahwa, karena hidupnya sangat sulit, berat, dan menyakitkan, maka dia tidak boleh mati dulu sebelum merasakan kebahagiaan. Pada sisi ini, logikanya menggambarkan bahwa ada kebahagiaan yang akan menantinya di akhir jalan gelapnya, dan perasaannya mempengaruhi harapan serta keinginannya untuk terbebas dari depresi dan menjadi bahagia.
Bagaimanapun, depresi adalah hal yang serius bahkan pada tahap ringan sekali pun. Kita tidak pernah benar-benar tahu kapan seseorang bisa mengalami depresi, karena itu sebagai seseorang yang berlogika dan berperasaan perlulah kita menjadi lebih awas terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita untuk menciptakan hubungan yang sehat dan dapat saling mendukung serta menemani dalam keadaan sulit sekali pun.
Bagi penderita depresi, terkadang mereka hanya ingin didengarkan dan tidak menginginkan suasana yang membuatnya harus selalu dan terus menjadi baik-baik saja. Memang tidak mudah untuk terbebas dari depresi dan membantu seseorang terbebas dari depresinya, tapi jika kita memiliki keyakinan kuat untuk menjadi bahagia, hal seperti itu tidaklah mustahil.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya sebuah mobil, logika dapat diibaratkan sebagai mesinnya, sementara perasaan merupakan bahan bakarnya. Sebelum menggunakan mobil, penting untuk mengisi bahan bakar terlebih dahulu. Dengan adanya cukup bahan bakar dan mesin yang kuat, kita dapat melaju maju ke tujuan yang kita inginkan.
Selain itu kita perlu memikirkan tanggung jawab atas hal apa pun yang kita lakukan sehingga tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Setiap orang, bahkan penderita depresi sekali pun dapat berlogika dan berperasaan, hanya tinggal mengarahkannya ke arah yang baik seseorang bisa saja sembuh dan tidak memiliki keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri atau bunuh diri. Peran kita adalah membantu mereka agar tidak menuju arah yang kemungkinan besar akan disesali nantinya.
ADVERTISEMENT
Dalam perumpamaan hujan panas, kita dapat menyamakan pelangi yang muncul setelah hujan sebagai hasil dari pengambilan keputusan yang baik. Pelangi (keputusan yang baik) ini terbentuk karena tetesan air hujan (penggunaan logika). Namun, pelangi tidak akan terjadi jika tidak ada sinar matahari (perasaan) sebelumnya, dan kita menyadari bahwa pelangi yang indah hanya muncul setelah hujan. Analogi ini mungkin akan membantu kita dalam membuat keputusan terbaik dalam kehidupan kita.