Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Industri Komik Indonesia dan Sebuah Optimisme
25 Maret 2018 9:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Dieny Maya Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak pernah membaca komik? Komik adalah karya yang mungkin paling banyak diminati di mana pembacanya tidak mengenal batas usia. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mereka membaca komik sesuai dengan genre yang disukainya.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 1990-an, dengan meledaknya komik manga Jepang di pasar Indonesia, komik seakan-akan sudah menjadi salah satu gaya hidup membaca terutama di kalangan anak muda. Pada acara NTV Sekai Banzukai Jepang di bulan November 2013 disebutkan Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia yang memiliki pembaca manga terbanyak setelah Finlandia. Menurut acara tersebut, rata-rata satu orang Indonesia dapat membaca 3,11 buku komik manga, sedangkan di Finlandia 3,59 manga. Di Jepang sendiri rata-rata perorang hanya membaca 1,57 manga.
Perubahan era menjadi serba digital membuat komik bertransformasi dari bentuk konvensional ke digital. Di Indonesia pun komik digital memiliki pembaca yang banyak dan semakin bertambah. Berdasarkan data Line Webtoon, sebuah platform komik digital, pada April 2015 Indonesia menjadi pembaca terbanyak komik digital dibandingkan negara lain dengan sekitar 6 juta pengguna aktif.
ADVERTISEMENT
Melihat data-data tersebut, tidak dapat dipungkiri Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan bagi industri komik. Namun, apakah hanya komik asing berasal dari Amerika, Eropa, dan terutama Jepang yang mendapat perhatian publik Indonesia? Bagaimana dengan komik-komik lokal karya asli komikus Indonesia? Apakah mereka juga mendapatkan posisi yang sama dalam perindustrian komik di Indonesia?
Pembaca komik mengenal tiga tempat yang dianggap sebagai munculnya jenis komik. Pertama, Amerika Serikat dengan komik superhero dan graphic novels. Sebut saja Superman yang diciptakan tahun 1938 dalam Action Comics, atau yang diterbitkan oleh Marvel seperti Spider-Man, X-Men, dan Daredevil. Kedua, Eropa, terutama dengan komik franco-belge, seperti Petualangan Tintin oleh Hergé yang diciptakan di antara dua perang dunia atau petualangan Asterix dan Obelix ciptaan René Goscinny dan Albert Uderzo yang kemudian menjadi salah satu ikon budaya Prancis. Ketiga adalah Jepang dengan Osamu Tezuka yang mempopulerkan jenis manga setelah Perang Dunia II. Dalam perkembangannya manga semakin merambah pasar dunia di era 1990-an, seperti Candy Candy, Topeng Kaca, Kung Fu Boy, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa komik Indonesia memiliki sejarah yang panjang bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930 Kho Wang Gie adalah tokoh komikus tersohor dengan tokoh ciptaannya Put On di surat kabar Sin Po, sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang terbit di Hindia Belanda.
Pada 1950-an R.A. Kosasih menyodorkan superhero pewayangan seri Mahabharata dan Ramayana, serta menciptakan tokoh pahlawan perempuan Indonesia pertama, yaitu Sri Asih yang diterbitkan pertama kali pada 1954. Selain itu, beberapa tokoh superhero Indonesia juga muncul, seperti Gundala Putra Petir karya Harya Suryaminata atau lebih dikenal dengan nama pena Hasmi atau deretan serial si jago silat, Mandala, dengan seri yang paling populer "Siluman Sungai Ular" dan "Golok Setan" karya Mansyur Daman atau dengan nama pena Man.
ADVERTISEMENT
Era tersebut dapat dikatakan sebagai “the Golden Age” bagi perkomikan Indonesia. Komik-komik diakses oleh para generasi muda saat itu melalui tempat-tempat penyewaan komik atau taman bacaan yang menjamur.
Di tahun 1980-an industri komik Indonesia mengalami kemunduran. Antara lain penerbit-penerbit nasional saat itu cenderung lebih senang menerbitkan komik-komik Amerika dan Eropa, terutama komik franco-belge. Petualangan-petualangan Johan dan Pirlouit, Sarah Spits, Steven Sterk, Smurf, Lucky Luke, Bob Napi Badung dan Agen Polisi 212 adalah deretan komik yang sangat akrab masa itu bahkan hingga sekarang. Di pertengahan 1990-an komik-komik impor selalu laris di toko-toko buku dan 90% adalah komik manga Jepang.
Salah satu alasan mengapa komik-komik Jepang ini menjadi sangat populer di kalangan pembaca Indonesia, terutama kalangan muda, adalah tema yang diangkat lebih beragam. Tidak hanya tema laga atau kolosal, tema yang diangkat lebih banyak hal-hal yang dekat dengan kehidupan remaja pada umumnya, seperti kehidupan sekolah, percintaan remaja dan persahabatan, serta tutur yang lebih banyak memunculkan efek emosi.
ADVERTISEMENT
Dengan semakin banyaknya judul-judul komik impor yang terbit, terutama Jepang, dan mampu menggaet banyak konsumen, situasi tersebut seakan-akan menenggelamkan komikus-komikus lokal dengan karya-karya mereka yang hanya terbit dengan format strip di surat kabar daerah atau nasional pada akhir pekan dan kurang mendapat pengakuan publik. Tema cerita yang usang bagi pembacanya, tidak memiliki strategi pemasaran yang baik, bergantinya tempat-tempat penyewaan komik menjadi tempat penyewaan video, serta produksi rendah dengan kualitas yang buruk menjadikan penyebab hampir menghilangnya komik-komik Indonesia di toko-toko buku.
Tetapi dunia perkomikan di Indonesia tidak pernah benar-benar mati. Di pertengahan tahun 1990-an mulai bermunculan komunitas dan studio komik baru yang mengangkat isu kebangkitan komik Indonesia. Sebut saja komunitas Masyarakat Komik Indonesia dan Karpet Biru yang muncul saat itu untuk mengupayakan mengangkat kembali komik lokal yang tersingkirkan. Mereka tetap berkarya dengan cara underground dan independen sehingga memunculkan banyak komik-komik indie.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan era digitalisasi, sejak 2013 komik Indonesia hadir dalam bentuk digital dengan cara mengakses yang beragam dan ketentuan yang berbeda di setiap platform-nya. Terbukanya kesempatan di ranah digital ini membuat para komikus terus berinovasi dan menerima permintaan yang makin beragam. Kemudahan akses internet melalui media sosial dan teknologi gadget yang semakin berkembang membuka peluang lebih besar bagi para komikus untuk berkarya.
Indonesia tidak pernah kehilangan talenta-talenta dalam bidang komik. Walaupun industri komik nasional pernah seakan tenggelam, namun selalu muncul para komikus yang mampu berkarya dan diperhitungkan talentanya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kancah internasional.
Pembaca komik sebagai konsumen yang tidak pernah habis bahkan semakin meningkat, perkembangan teknologi yang meningkatkan mutu komik, serta pada komikus dengan talentanya dan konsisten dalam berkarya, semua adalah potensi untuk memajukan industri komik nasional.
ADVERTISEMENT
Industri kreatif yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah diharapkan menjadi kekuatan baru penggerak ekonomi di masa yang akan datang. Sebagai industri yang sarat kreativitas, industri komik sudah selayaknya diperhitungkan untuk memberikan kontribusi terhadap perekonomian.
Dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara pemerintah, sektor swasta, dan para kreator untuk menciptakan sebuah mekanisme perkembangan industri komik nasional. Mekanisme tersebut harus mampu menjawab tantangan yang dihadapi, seperti royalti yang layak bagi komikus, aturan pajak yang tidak memberatkan, alokasi anggaran para penerbit untuk mempromosikan buku komik, serta harga yang patut diberikan untuk sebuah hasil karya.
Konsistensi komikus Indonesia dalam berkarya telah membuktikan bahwa komik Indonesia akan selalu hidup. Publik Indonesia pun tidak pernah habis membaca komik yang disediakan oleh pasar. Tinggal kesungguhan dari pemerintah yang diharapkan dalam mengembangkan industri komik nasional dan mampu menjembatani antara kreator dan pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Selama usaha dilakukan sungguh-sungguh dengan strategi yang tepat, perkembangan industri komik nasional pun menjadi sesuatu yang optimis. Mungkin masih terlalu jauh untuk memiliki mimpi komik Indonesia merajai pasar-pasar internasional, seperti halnya komik-komik Amerika, Eropa dan Jepang. Mengapa tidak?
(Sumber data: dari berbagai sumber)