Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menghias Ruang Kosong Commuter Line dengan Sejarah
14 April 2018 6:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Dieny Maya Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Sumber foto: jakartamytrain.com)
Kereta Rel Listrik (KRL) atau Commuter Line (CL) adalah alat transportasi pilihan utama bagi sebagian masyarakat yang tinggal di Jabodetabek dengan alasan cepat dan bebas dari kemacetan. Penumpang CL saat ini jauh memiliki keamanan dan kenyamanan dibandingkan 15 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, dahulu pintu kereta banyak yang tidak dapat ditutup pada saat beroperasi, tanpa memedulikan keselamatan jiwa penumpang. Belum lagi gerbong yang kotor dan lantai bolong-bolong sehingga kita bisa lihat rel saat kereta sedang jalan.
Sekarang gerbong kereta sudah dilengkapi AC atau kipas angin dan kebersihannya selalu dijaga dengan adanya petugas-petugas kebersihan yang membersihkan secara rutin ketika kereta tiba di stasiun akhir.
Demikian juga dari segi keamanan, di setiap gerbong kereta akan mudah dijumpai petugas yang selalu siap membantu. Stasiun-stasiun kereta pun sudah jauh lebih bersih dan aman dibandingkan dulu.
Namun demikian, apabila diperhatikan banyak sekali ruang kosong di dalam gerbong dan stasiun-stasiun kereta yang kurang dimanfaatkan dengan baik. Padahal ruang-ruang kosong itu dapat digunakan sebagai media edukasi bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Misalnya, menyediakan infografis sejarah daerah stasiun tersebut. Selain dapat menjadi wall art yang menarik, tentu saja sebagai pengingat sejarah bangsa bagi para pengguna kereta.
Sebagian gerbong CL juga telah difasilitasi dengan layar MacroAd LINIKINI yang telah hadir hampir 4 tahun. Layar televisi yang ditempatkan di dalam gerbong kereta itu memberikan tontonan berupa informasi, berita, hingga hiburan bagi penumpang kereta selama perjalanan.
Saat ini layar MacroAd LINIKINI sudah terpasang di 28 rangkaian kereta terdiri dari 924 layar di 231 gerbong CL Jabodetabek, termasuk rute Jakarta - Rangkasbitung dan Jakarta - Cikarang.
Masyarakat Indonesia yang beragam dan rentan perpecahan satu sama lain, memiliki sejarah yang sama adalah salah satu jawaban untuk merekatkan persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Jalur KRL Commuter Line yang ada saat ini menjadi tempat lalu lalang kereta yang mengangkut penumpang antara 900 hingga 1 juta perharinya mememiliki sejarah bangsa ini yang tidak boleh dilupakan.
Sejarah pembangunan jalur kereta antara Jakarta dan Bogor sendiri bermulai pada tahun 1870 dan dilakukan oleh NIS (Nederlandsch-Indische Spoor Maatschappij).
Di awal abad ke-20 perkembangan kawasan Gondangdia, Menteng dan Kramat menjadikan kapasitas jaringan kereta semakin dibutuhkan. Maka dibangunlah stasiun Gambir, Manggarai, Kemayoran, Pasar Senen, Tanah Abang, dan Jatinegara.
Seiring dengan perkembangan zaman, pembangunan elektrifikasi listrik mulai dilakukan pada tahun 1923 dengan Jalur Tanjung Priok - Meester Cornelis (Jatinegara) yang selesai pada tahun berikutnya.
Sedangkan elektrifikasi jalur Jakarta - Bogor selesai tahun 1930. Pengoperasian KRL di Jakarta merupakan tonggak dimulainya sistem transportasi massal modern yang pertama di Asia.
ADVERTISEMENT
Dapat dilihat, sejak awal keberadaannya kereta api di Indonesia memiliki peran penting, baik di masa kolonial Belanda maupun pada masa perang kemerdekaan. Rel-rel jalur KRL yang kita lalui sehari-hari seakan menjadi saksi bisu sejarah negeri ini. Beberapa contoh sejarah ringkasnya seperti di bawah ini.
Gambir-Bogor
Sejarah Stasiun Gambir tidak lepas dari pertumbuhan perekonomian Hindia Belanda dulu. Kebijakan pemerintah kolonial di tahun 1870 mengijinkan bangsa Eropa menanam modal untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar.
Jalur Gambir-Bogor saat itu adalah jalur perkebunan mereka yang menjadikan sebuah moda transportasi massal menjadi kebutuhan yang vital saat itu.
Kereta api dianggap sebagai alat transportasi yang paling efektif untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan. Untuk itu NIS dikontrak untuk membangun jalur kereta Batavia-Buitenzorg atau Bogor yang merupakan tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan pusat administrasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sepuluh stasiun pun dibangun untuk mendukung perekonomian pemerintah kolonial Belanda, yaitu Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Passar Mingoe, Pondok Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjileboet, dan Buitenzorg.
Depok-Pondok Cina
Depok yang merupakan daerah perkebunan pada milik tuan tanah Cornelis Chastelein di tahun 1704. Di sanalah ia mengelola "kerajaan" perkebunan dengan 12 keluarga budak yang ia beli dari berbagai daerah nusantara, yaitu Bali, Sunda, Ambon, Bugis, dan juga suku mardijker atau keturunan portugis-creole.
Keluarga 12 budak ini lah yang menjadi cikal bakal penduduk Depok asli saat ini. Depok sendiri merupakan singkatan dari De Eerste Protestante Organisatie van Christenen (DEPOC).
Dengan adanya perkebunan Chastelein ini, maka muncullah pasar-pasar tempat menjual kebutuhan sehari-hari para pekerja perkebunan. Para pedagang Tionghoa dari Batavia pun berdatangan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut dan membuka toko-toko kelontong.
ADVERTISEMENT
Namun, Chastelein melarang mereka untuk menetap di wilayah perkebunannya. Oleh karena jarak antara Batavia-Depok terlalu jauh, maka para pedagang Tionghoa itu diperbolehkan menetap di luar kawasan kebun dimana kemudian muncul nama Pondok Cina yang kita kenal saat ini.
Jatinegara
Stasiun Jatinegara memiliki sejarah penting dalam sistem perkeretaapian di Indonesia karena merupakan stasiun perintis elektrifikasi kereta di kota Batavia pada 1925, hingga saat ini sistem jaringan kereta rel listrik (KRL) di ibukota pada dasarnya tidak berubah.
Stasiun Jatinegara sendiri didirikan pada tahun 1910 dan saat itu bernama Stasiun Meester Cornelis.
Wilayah Jatinegara sendiri memiliki sejarah yang menarik, mulai dari hutan jati tempat pelarian Pangeran Jayawikarta dari Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen di tahun 1619 hingga lahan ini dibuka oleh Meester Cornelis Senen pada tahun 1656 yang lama kelamaan kawasan ini berkembang di bawah VOC di abad ke-18 dengan membangun jalan-jalan dan pemukiman.
Serpong-Parung Panjang-Maja
ADVERTISEMENT
Jalur kereta antara Serpong-Parung Panjang hingga Maja menjadi jalur perlawanan rakyat melawan tentara sekutu NICA pada bulan Mei 1946. Saat itu wilayah Tangerang jatuh di tangan tentara NICA, namun rakyat Banten melawan. Sepanjang jalur kereta api dari Maja hingga Serpong menjadi medan pertempuran.
Kekuatan laskar pejuang yang awalnya hanya 400 bergerak dari arah Maja untuk menyerang tentara sekutu yang bermarkas di Serpong. Para pejuang itu bergerak melalui Parung Panjang dan sepanjang jalan semakin banyak rakyat yang bergabung.
Perang Serpong pecah pada tanggal 26 Mei 1946 antara laskar pejuang yang hanya bersenjata golok, klewang, tombak dan bambu runcing melawan tentara NICA dengan senjata modernnya. Lebih dari 200 pejuang gugur saat itu dan seluruh jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Seribu di Serpong.
ADVERTISEMENT
Selain stasiun-stasiun kereta api yang disebutkan di atas, setiap stasiunnya lainnya pun memiliki sejarah. Baik jalurnya sendiri maupun sejarah daerahnya. Oleh sebab itu akan sangat menarik dan bermanfaat apabila ruang-ruang kosong di stasiun kereta maupun di gerbong kereta (baik menggunakan LINIKINI ataupun dinding gerbong yang kosong) dengan infografis sejarahnya.
Bangsa ini terlalu beragam. Terlalu rentan untuk dipecah-pecah. Sejarah adalah satu hal yang dimiliki bersama dan mampu menyatukan perbedaan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu jangan pernah lupakan sejarah dengan meneruskan kisah sejarah ini kepada penerus bangsa ini. Seperti pesan Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya."
(Sumber: dari berbagai sumber)