news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bukan Bali Ini Sukabumi

Dieva Azzahra Ayadiansyah
Mahasiswi Jurnalistik, Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
16 Juli 2021 15:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dieva Azzahra Ayadiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapal nelayan setelah pulang berlayar, Ujung Genteng, Sukabumi. Foto: Dok.Pribadi/ Dieva Azzahra A
zoom-in-whitePerbesar
Kapal nelayan setelah pulang berlayar, Ujung Genteng, Sukabumi. Foto: Dok.Pribadi/ Dieva Azzahra A
ADVERTISEMENT
Sukabumi merupakan surganya lautan, selain terkenal dengan empalnya, Sukabumi akan menarik perhatian kalian dengan wisata pantai dan lautnya.
ADVERTISEMENT
Menempuh perjalanan 6 jam dari Kabupaten Bogor, dengan kemacetannya, namun dihiasi indahnya pepohonan, akan membuat perjalanan kalian tidak terlalu membosankan.
Dimulai dengan jalanan perkotaan yang pastinya membuat pusing kepala sebab banyaknya angkot berhenti sembarangan, mobil-mobil truk besar lalu-lalang, membuat macet sepanjang jalan, apalagi bila melalui pasar, seperti Pasar Pelita Sukabumi, Pasar Pasundan, dan masih banyak pasar-pasar lainnya yang menjadi pusat perbelanjaan dan tempat yang dapat membuat macet jalanan.
Setelah melewati perkotaan kalian akan memasuki pedesaan yang dihiasi perkebunan yang luas, dimulai perkebunan kelapa sawit milik PTPN VIII di KEBUN CIBUNGUR, hamparan luas menghijau dan angin yang sejuk akan membuat mata sayup-sayup mengantuk, namun tetap waspada jalanan yang berkelok curam akan menjadi rawan terjadinya kecelakaan.
ADVERTISEMENT
Kebun sawit berlalu bertemulah kami dengan kebun teh, kebun karet, dan masih banyak kebun-kebun lainnya, yang tak disangka-sangka ternyata kita memutari sebuah pegunungan.
Kemudian kita dihadapkan dengan hamparan luas membiru mencapai langit, apakah itu langit? namun berbeda rasanya, banyak titik-titik kecil tak kasat mata sejauh mata memandang, ternyata lautan dari Pelabuhan Ratu terpampang jelas di depan mata. Titik-titik kecil itu merupakan kapal-kapal para nelayan yang sedang berlayar mencari ikan. Sebentar lagi sampai! sudah dekat, semakin dekat.
Ternyata tidak, bukan Pelabuhan Ratu destinasi kita kali ini. Kita akan pergi ke Ujung Genteng, di mana benar-benar ujung lah keberadaannya, jalan yang kami tempuh sejauh ini ternyata berputar-putar saja, memutari gunung yang kita pijak dengan roda mobil ERTIGA yang hampir habis bensin sebab kami pikir bensin yang ada akan cukup untuk pergi ke " Pantai", nyatanya pantai lain yang kami kunjungi, yang menempuh hingga 6 jam perjalanan.
ADVERTISEMENT
Gerimis mengundang, perut sudah tak karuan, tandanya bukan hanya mobil yang membutuhkan asupan bensin, perut manusia pun butuh asupan makanan. Tapi kita sedang berada di tengah-tengah hutan, Bekal makanan persediaan pun menipis. Tak lama berdirilah sebuah gubuk, di tengah hutan, yang tidak banyak kendaraan melintas, sedikit curiga namun setelah dilihat-lihat, ada tulisan sate di atapnya.
Kita memutuskan untuk mampir dan mengisi bensin perut dahulu dengan sate yang lumayan untuk mengganjal kelaparan ini, walau satenya biasa saja rasanya. Kami memesan sate, sop kambing yang isinya tulang kambing, dan beberapa jus jeruk dan teh hangat. Makanlah kita dengan lahap.
Setelah makan, melihat Google Maps, masih ada setengah perjalanan menuju tempat yang dituju. Namun melihat bensin semakin menipis dan kita masih berada di tengah-tengah hutan, campur aduk rasanya. Panik namun berusaha terus berdoa untuk segera keluar dari hutan ini.
ADVERTISEMENT
Dengan rasa was-was pula panik akhirnya kami keluar hutan, hari sudah mulai petang, melihat kendaraan berlalu-lalang, lega namun takut rasanya. Ini kapan sampainya? Mana pom bensin terdekat? ada pula yang kebelet buang air. Lengkap sudah.
Pom bensin seakan melambai di depan sana, rasa panik berubah menjadi senang, serasa mendapatkan sesuatu yang berharga, tentu saja, bensin menjadi sesuatu yang berharga untuk kita saat itu. Tidak ada bensin matilah kita, di tengah hutan dan banyak monyet bergelantungan, suara serangga yang bising di telinga. Ah tak kuasa.
Masuk pom, mengisi bensin hingga full, membuang air yang sudah ditahan cukup lama, lega rasanya, kita bisa melanjutkan perjalanan dengan tenang semoga.
Langit berubah menjadi jingga mana suara ombak? atau pohon kelapa? langit yang bersatu dengan laut membiru? belum sampai juga rupanya. Kami memasuki daerah perkampungan yang bersatu dengan hutan lagi. Sepi, sunyi, angin yang dingin, tapi apa itu di sebelah kiri? pohon kelapa! padang rumput yang luas, dan para domba! sapi berlari seperti gembira menyambut kedatangan kita, walaupun mereka bilang tidak, haha. Pantai sudah di depan mata gerutuku. Rasa muak akan jalanan dan lemas karena tak sampai-sampai, dan musik dari radio yang sinyalnya kacau, berubah menjadi bahagia! akhirnya kita sampai juga! di depan sudah muncul bau-bau air laut asin, jalanan pun berubah menjadi pasir putih. Kapal-kapal nelayan parkir di pinggiran, bersiap untuk berlayar malam nanti.
Sunset di Ujung Genteng. Foto : Dok.Pribadi/ Dieva Azzahra A.
Masya Allah! Indah sekali ciptaanmu Tuhan, Pantai Ujung Genteng dengan sinar senja berwarna jingga kemerahan dan violet yang mewarnai langit, suara deburan ombak yang menenangkan hati, rasa kesal, lemas, ngantuk, pegal, terobati seketika.
Pasir dan Sandal. Foto : Dok Pribadi/ Dieva Azzahra A
Akhirnya kaki ku pijakkan di atas pasir putih, sejauh mata memandang hanya ada lautan biru kehijauan, kerang-kerang bangkai berserakan, kelomang berlarian, ikan-ikan kecil berenang di tepian, lama kelamaan air surut, dan para nelayan pun turut pergi ke tengah laut, untuk mencari ikan sebagai penghidupan perut dan keluarga di rumah.
ADVERTISEMENT
Rasa syukur terhadap Tuhan, tak henti-hentinya ku panjatkan, sayang COVID-19 sedikit menjadi penghalang, kita tidak dapat bebas bergerak, masker kita kenakan, handsanitizer tetap stand by, jarak pun kita tak boleh berdekatan. Pantai-pantai itu, laut, menyadarkanku bahwa ini bukan Bali, ini Sukabumi. Tetap indah tak kalah indah dengan Bali.
Karang Baertumpuk. Foto : Dok Pribadi/Dieva Azzahra A
Dieva Azzahra Ayadiansyah
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta