Rasanya Menjadi Alumni COVID-19

Dieva Azzahra Ayadiansyah
Mahasiswi Jurnalistik, Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
11 Juli 2021 18:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dieva Azzahra Ayadiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
"(Ilustrasi Isoman). Foto : https://pixabay.com/tookapic
zoom-in-whitePerbesar
"(Ilustrasi Isoman). Foto : https://pixabay.com/tookapic
ADVERTISEMENT
Lucu bukan menjadi seorang alumni sebuah penyakit mematikan, namun menggelikan? Tapi apakah memang benar adanya?
ADVERTISEMENT
Saat itu bidadari tanpa sayaku terbaring lemas di atas tempat tidur kayunya, hancur rasanya, siapa orang terkuat di rumah? Ibu jawabannya. Melihatnya tidak ada gairah hancur dunia rasanya.
Setiap hari hidup terasa seperti tidak ada tujuan, tetapi berusaha untuk kuat, memberi semangat terhadap ibu yang sedang sakit adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan. Bagaimana tidak berapa lama, air mata sudah berlinangan.
Pekerjaan rumah dari mulai memasak, mencuci pakaian, membenahi rumah, aku lakukan. Jika bertanya soal lelah? Tidak Tidak sebanding dengan rasa sakit yang ibu rasakan di atas kasur sana. Gejala yang ibu rasakan antara lain demam, batuk, flu, dan lemas beserta pegal linunya yang hebat membuat ibu terus-terusan harus berbaring di tempat tidur.
ADVERTISEMENT
Aku bertanya kepada Tuhan, “ Tuhan, ini ada apa? Apa yang telah aku, keluargaku perbuat, sembuhkan ibuku Tuhan, biar aku saja yang sakit. Aku tidak bisa hidup hanya untuk melihat ibu lemas tak berdaya,” gerutuku dalam setiap sujud. Melihat keadaan rumah yang seperti ini, aku bisa apa? Tuhan mengujiku dengan dahsyat saat itu.
Aku menggerutu. “Harusnya orang miskin tidak boleh sakit!” sebab kami tidak bisa apa-apa, kami takut, takut hidup kami berhenti saat itu juga, bahkan kami tidak punya biaya untuk pergi ke rumah sakit.
Hari-hari berlalu ibu terlihat membaik, sudah bisa berdiri walau masih harus berpegangan, sudah bisa makan walau belum terlalu banyak. Sore hari aku harus pergi mengantarkan sebuah barang ke Kantor Pos. Setelah itu langsung pulang ke rumah untuk menjaga ibu kembali.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah entah apa yang menghampiri diriku, entah Tuhan sudah mengabulkan doa ku kemarin, atau bagaimana, sekujur tubuhku tak kuasa menahan lemas dan pusingnya rasa yang entah dari mana dia berasal. Aku bergegas masuk ke kamar dan membaringkan tubuhku di atas kasur berseprai biru itu. Apa ini Tuhan, apa yang terjadi?.
Tidak dapat memejamkan mata, suhu tubuh hingga 39 celsius sekujur tubuh sakit rasanya. Terpaan badai menghantam hingga sekejap hilang ingatan terasa seperti sepersekian detik nyawa tercabut tidak dapat merasa, apakah aku masih hidup? Depresi di bulan Juni apakah masih belum cukup? Bukan, ini bukan positif COVID-19. Ini namanya positif gila! Imunitas dan bahagiakan diri lebih penting rasanya untuk saat ini.
ADVERTISEMENT
Demam tinggi membawaku pada insomnia, sekejap memejamkan mata, sekejap aku terbangun, menatap langit-langit yang menyeramkan, panas tubuhku menggila. Ditemani ibu, dikompresnya badanku dengan air dingin nan menyejukan, nyatanya tangan dan usapan lembut jari ibu lah obatnya. Walaupun aku tahu, bahkan saat itu ibu belum sembuh sepenuhnya. Namun demi anak segala cara akan ia lakukan.
Pagi hari terbangun dengan kepanikan, ke mana hilangnya itu. Wangi embun di pagi hari tak tercium lagi dari sela-sela jendela kamar. Tidak ada aroma sedap nasi goreng buatan ibu, kepanikan menghantui diriku. Inikah yang banyak orang katakan, tentang gejala dari COVID-19 ini! Anosmia. Ternyata aku tidak sendiri, ibuku pun begitu. Bahkan kami tidak dapat membedakan mana aroma sabun, sampo, dan odol. Hidungku terasa dipenuhi oleh debu dan besi berkarat.
ADVERTISEMENT
Mencari ke mana perginya, namun tak kunjung pulang. Berbagai cara sudah kami lakukan, menghirup uap, kayu putih, parfum. Tak kunjung aku membau. Dalam hati, “Oh ini covid, nyata benar adanya,” malam hari menjadi penanti mata yang tak berhenti terbuka.
Bahkan mimpi saja tak mau menepi, tidak ada mimpi yang menemani saat itu, lagi dan lagi aku menggerutu, “ Tuhan, aku hanya ingin hidup normal, sehat, nyaman, seperti sedia kala. Rindu rasanya memeluk nenek, terbangun sebab wangi sarapan yang ibu buatkan, bahkan makan saja aku tidak nafsu Tuhan.” Bagaimana tidak, berat badanku menyusut tanpa harus diet. Walaupun rasa tetap ada, tapi jika tak ada aroma, apa boleh buat. Seperti meminum air mineral. Tak beraroma namun terasa manis.
ADVERTISEMENT
Ternyata imunitas memang menjadi bagian penting saat ini, bahagia adalah kunci segalanya. Bagaimana tidak semakin kamu memikirkannya, imunitas menurun, penyakit lain berdatangan, semakin kamu happy semakin cepat tubuh untuk recovery. Ternyata bukan hanya aku ada 20 warga lain di hari yang sama merasakan hal yang sama juga. Maka isolasi mandiri 10 hari + 3 hari bebas gejala setelah gejala pertama kali muncul kami jalani.
Terkejut sekali mendengar berita yang menyedihkan ini, namun senang dalam hati bahwa aku tidak sendiri. Semua sudah mulai membaik, Anosmia sudah pergi, flu dan batuk hanya tinggal sedikit. Mungkin jahe merah hangat di pagi hari akan sedikit mengobati. Menjadi alumni COVID-19. Tegang namun kami berhasil. Isolasi mandiri yang terpenting adalah vitamin dan happy. Percaya bahwa Tuhan selalu ada, menjaga dan melindungi dari segala marabahaya.
ADVERTISEMENT
Dieva Azzahra A
(Politeknik Negeri Jakarta)