Konten dari Pengguna

PPN 12% di Tahun 2025: Solusi atau Beban Baru bagi Masyarakat?

Diffa Salsabilla Maulidina
Mahasiswi baru Universitas Airlangga prodi Manajemen Perkantoran Digital yang suka dengan pemandangan alam serta senang belajar hal baru.
31 Desember 2024 20:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diffa Salsabilla Maulidina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana jual-beli di pasar tradisional, Surabaya Foto: Diffa Salsabilla Maulidina
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jual-beli di pasar tradisional, Surabaya Foto: Diffa Salsabilla Maulidina
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ramai diperbincangkan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Peraturan terbaru ini sesuai dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mulai April 2022, tarif PPN meningkat menjadi 11%, dan akan naik lagi pada Januari 2025 menjadi 12% sesuai UU HPP. Selain itu, pada UU HPP juga terdapat perubahan pada daftar negative list atau barang/jasa yang tidak dikenakan PPN. Itu artinya terdapat beberapa barang/jasa yang sebelumnya tidak terkena PPN sekarang dapat terkena pajak.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani mengatakan bahwa PPN Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti di India 18% dan di Turki sebesar 20%. Namun, apakah hal tersebut dapat dijadikan patokan yang meyakinkan bagi masyarakat? Nyatanya, saat ini banyak masyarakat yang mulai menyuarakan penolakan atas kenaikan PPN 12% ini. Mereka membandingkan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia sekaligus beban pajaknya dengan negara lain yang mana jauh berbeda.
Kenaikan PPN ini dikhawatirkan akan berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun dikarenakan tingginya harga barang/jasa tetapi tidak berbanding lurus dengan pendapatan yang didapatkan. Perdebatan yang masih terus terjadi di kalangan masyarakat adalah adanya asumsi bahwa barang/jasa yang terkena pajak hanyalah barang-barang mewah. Faktanya sesuai dengan UU No.7 tahun 2021 tentang HPP, pajak akan barang mewah sudah memiliki regulasi tersendiri yaitu melalui Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM. Hal inilah yang membuat masyarakat terpecah menjadi dua kubu, golongan yang menentang dan golongan yang mendukung karena menganggap bahwa kenaikan PPN hanya menyasar pada barang mewah saja.
ADVERTISEMENT
Dari banyaknya informasi yang beredar terkait barang/jasa yang akan terkena PPN 12% pada tahun 2025 antara lain, bahan makanan premium meliputi daging wagyu; salmon; buah-buahan premium; hingga beras premium, tiket pesawat, tiket konser, transaksi jual-beli online, serta kuota internet. Hal inilah yang memicu kepanikan masyarakat karena membayangkan naiknya jumlah pengeluaran pada tahun 2025 sebagai akibat dari naiknya PPN menjadi 12%. Meskipun kenaikan yang terlihat dari selisih 11% dan 12% hanyalah 1%, tetapi pada kenyataannya kenaikan persentase yang terjadi ada pada angka 9,09% dari jumlah pajak yang dibayarkan sebelumnya.
Kegeraman masyarakat tidak berhenti di sini saja. Sebagian masyarakat kecewa terhadap usaha pemerintah dalam melakukan brainwash terhadap masyarakat dengan membandingkan beban pajak Indonesia dengan negara lain yang mana tidak apple to apple. Masyarakat merasa bahwa kenaikan pajak ini hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan akan memojokkan masyarakat kelas menengah. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, bahkan menyarankan pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan PPN 12% ini. Masih ada waktu sebelum Januari 2025 untuk pemerintah mengeluarkan perpu untuk membatalkan kenaikan PPN. Beliau mengatakan tanpa aksi menahan konsumsi pun, daya beli masyarakat akan tetap turun imbas dari kenaikan tarif pajak.
ADVERTISEMENT
Kepanikan dan kekhawatiran yang terjadi di kalangan masyarakat sejatinya bukan hanya karena kenaikan tarif pajak melainkan karena adanya 8 pungutan baru serta ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Besar kecilnya suatu pajak sebenarnya bukan menjadi suatu masalah jika pengelolaannya jelas dan kembali kepada rakyat. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi membuat masyarakat kehilangan kepercayaannya dan enggan mendukung keputusan pemerintah akan kenaikan tarif pajak.
Dari sudut pandang pemerintah, kenaikan tarif PPN ini adalah langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat fondasi perpajakan. Namun, dalam implementasinya perlu dilaksanakan dengan kehati-hatian serta pengawasan yang ketat. Transparansi penggunaan pajak dan komunikasi yang efektif kepada publik sangat diperlukan oleh masyarakat mengingat banyaknya penolakan yang terjadi akibat kurangnya transparansi dalam sistem perpajakan di Indonesia. Meskipun dalam teknisnya transparansi telah diterapkan dengan adanya laporan yang dapat diakses masyarakat, tetapi dalam implementasinya masyarakat masih merasa kurang puas akan kinerja pemerintah karena banyaknya kasus korupsi dan penyalahgunaan anggaran.
ADVERTISEMENT