Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Inflasi Rendah 2024: Keberhasilan Pemerintah atau Sinyal Krisis?
10 Februari 2025 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Diha Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Inflasi Rendah/Deflasi. Sumber: Freepik. Link: https://www.freepik.com/free-photo/graph-is-going-down-has-red-arrow_67681630.htm#fromView=search&page=1&position=2&uuid=8e967272-847c-48b9-90ce-85e89001fbd7&query=deflation](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkq33tvfwr14dyvg5scw56ev.jpg)
ADVERTISEMENT
Mengapa Inflasi Begitu Rendah?
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, pencapaian ini merupakan hasil dari kebijakan pengendalian harga pangan yang efektif. Penurunan harga pangan pokok, yang sempat mengalami lonjakan di tahun-tahun sebelumnya, kini lebih terkendali. Stabilitas harga ini memberikan keuntungan bagi masyarakat, terutama dalam menjaga daya beli mereka di tengah berbagai tekanan ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa deflasi beruntun sempat terjadi selama lima bulan berturut-turut pada Mei hingga September 2024. Deflasi kemudian berulang pada awal 2025, dengan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025. Komoditas yang paling berpengaruh dalam penurunan harga ini adalah tarif listrik, dengan andil deflasi sebesar 1,47%.
Ancaman di Balik Inflasi Rendah
Meski inflasi rendah sering dikaitkan dengan kestabilan ekonomi, beberapa pengamat menilai kondisi ini sebagai alarm bahaya. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai bahwa tren inflasi rendah saat ini bisa menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Ini sudah alarm bahaya menurut saya. Industri manufaktur terus tumbuh rendah secara konsisten dari tahun ke tahun. Jika situasi ini dibiarkan, dampaknya akan semakin meluas, termasuk meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujar Andry.
ADVERTISEMENT
Senada dengan itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa inflasi rendah seharusnya tidak terjadi dalam kondisi ekonomi yang normal. Jika inflasi yang rendah disebabkan oleh melemahnya konsumsi akibat PHK dan ketidakpastian ekonomi, maka ini bisa menjadi tanda peringatan serius.
"Kita bisa melihat contoh di tahun 2009 saat krisis global dan pandemi Covid-19, di mana inflasi rendah terjadi akibat daya beli yang anjlok. Padahal, saat ini kita tidak sedang menghadapi krisis besar, tetapi permintaan masyarakat tetap melemah," jelas Huda.
Tanggapan Ekonom dengan Skenario BI Rate
Dalam skenario optimis, suku bunga acuan (BI rate) berpotensi turun sekitar 25-50 basis poin (bps) pada 2025, terutama jika inflasi tetap terkendali dan perekonomian memerlukan stimulus tambahan. Penurunan ini akan menciptakan kebijakan moneter yang lebih longgar, sehingga mendorong peningkatan pembiayaan dan konsumsi domestik.
ADVERTISEMENT
Reksa dana pendapatan tetap, yang sebagian besar portofolionya terdiri dari obligasi pemerintah dan korporasi, memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan suku bunga. Jika BI rate menurun pada 2025, ada peluang positif yang dapat terjadi melalui dua mekanisme utama:
Kenaikan Harga Obligasi (Capital Gain): turunnya suku bunga cenderung meningkatkan harga obligasi yang telah diterbitkan sebelumnya, karena instrumen tersebut menawarkan kupon lebih tinggi dibandingkan obligasi baru. Hal ini berkontribusi pada peningkatan nilai aset bersih (NAV) reksa dana pendapatan tetap.
Penurunan Yield Obligasi: Penurunan BI rate juga menekan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah, menjadikannya lebih menarik bagi investor yang mencari aset dengan tingkat risiko lebih rendah dibandingkan instrumen berisiko tinggi.
Langkah yang Perlu Ditempuh Pemerintah
ADVERTISEMENT
Para ekonom menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Salah satu opsi adalah memberikan insentif pajak, seperti yang dilakukan oleh Vietnam dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau India yang menurunkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) karyawan.
Selain itu, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto diharapkan lebih agresif dalam mendorong hilirisasi industri dan menggenjot pertumbuhan sektor manufaktur. Jika tidak ada upaya luar biasa untuk membalikkan tren ini, maka target pertumbuhan ekonomi 5% yang dicanangkan dalam APBN 2025 bisa sulit tercapai.
Meskipun inflasi rendah sering dianggap sebagai indikator positif, dalam konteks Indonesia saat ini, justru bisa menjadi tanda peringatan. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya langkah nyata dari pemerintah, maka dampaknya bisa semakin luas, dari stagnasi industri hingga menurunnya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah perlu segera merancang strategi untuk menjaga keseimbangan antara inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang sehat.
ADVERTISEMENT