Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Fenomena SCBD dan Alun-Alun Utara Yogyakarta Menunjukkan Krisis Ruang Publik
31 Juli 2022 13:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dihasfian Dio Aryanta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah dua bulan belakangan ini jagat media sosial dihebohkan oleh aksi para remaja yang berkumpul di area Terowongan Kendal atau MRT Dukuh Atas. Remaja-remaja ini tampak asyik menggunakan fasilitas publik di sana, mereka berkumpul, berpose, hingga berlenggak-lenggok layaknya model papan atas. Nama-nama seperti Jeje, Bonge dan Roy rasanya telah ramai didengar oleh publik. Saking ramainya, singkatan SCBD yang sebelumnya ditujukan untuk “Sudirman Central Business District” berubah menjadi “Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok.” Nama daerah-daerah ini diambil dari daerah asal tempat tinggal para remaja tadi.
ADVERTISEMENT
Dibalik hebohnya fenomena SCBD ini, terdapat pula pendapat dari kalangan warganet yang turut meramaikan jagat media sosial, baik dari yang pro hingga yang kontra. Beberapa warganet berpendapat bahwa aksi remaja tersebut merusak citra mewah yang tersemat di SCBD sebelumnya. Lain daripada itu, ada juga yang berpendapat bahwa itu semua adalah agenda intelijen. Namun, dari kedua pendapat itu, belum ada yang berhasil menjawab secara logis dan jelas tentang pertanyaan mengapa fenomena ini bisa terjadi.
Jadi, untuk memecahkan pertanyaan tadi, maka perlu adanya kelihaian dalam melihat fenomena SCBD ini secara struktural. Jeje, Bonge, Roy, serta kawan lainnya berbondong-bondong memenuhi area Dukuh Atas untuk mencurahkan kreativitas mereka sekaligus menikmati fasilitas publik disitu. Jika demikian, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus di Dukuh Atas? Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis melakukan riset kecil-kecilan dengan mengumpulkan informasi tentang ketersediaan ruang publik.
ADVERTISEMENT
Hasilnya mencengangkan, di Depok, ruang publik adalah hal yang jarang ditemukan. Sedikit menelusuri sejarah, kawasan yang dulunya sempat ramai dijadikan ruang publik adalah area UI. Daerah itu banyak didatangi oleh kawan-kawan dari Bojonggede, Cilebut, Citayam, Cilodong, Depok Timur, Sawangan, hingga Cinere. Menurut pengakuan Alfian Putra Abdi, seorang penulis di laman Project Multatuli, kawasan Universitas Indonesia atau UI dahulu banyak digandrungi karena akses transportasi ke sana yang mudah serta jam buka yang fleksibel. Sayangnya, sekarang semuanya berbeda, dimulai ketika UI makin memperketat diri dan diikuti dengan pengubahan sistem perkeretaapian.
Saat ini, sebenarnya Pemerintah Kota Depok sendiri telah sadar bahwa eksistensi ruang publik itu krusial. Ruang publik dipergunakan untuk melestarikan kreativitas dan hubungan sosial masyarakat, untuk sarana edukasi masyarakat, untuk mengontrol pelampiasan pemudi-pemuda, bahkan untuk menjaga kemauan berjalan kaki masyarakat. Maka dari itu, Pemkot Depok berupaya untuk menyediakan setidaknya satu taman (sebagai ruang publik) di setiap kelurahan.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok, sudah 48 taman yang mereka bangun dalam periode 2017-2020. Jika demikian, lantas mengapa Jeje dan kawan-kawan justru memilih kawasan Dukuh Atas yang mana itu relatif lebih jauh dari tempat tinggalnya?
Terdapat beberapa temuan menarik di sini. Memang, Pemkot Depok telah menyediakan 48 taman di hampir setiap kelurahan, tetapi sistem taman yang digunakan di sini masih belum efektif. Pertama, akses taman yang terkesan eksklusif atau kurang demokratis. Beberapa taman masih dibangun di tengah kompleks, misalnya Taman Lembah Gurame (di tengah-tengah Perumnas Depok I). Hal ini tentu membuat remaja kawasan pinggiran pesimis untuk memasuki taman tersebut. Padahal, satu poin penting dalam pembangunan ruang publik adalah aksesibilitasnya yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Kedua, beberapa tempat di Depok yang dimaksudkan sebagai ruang publik menerapkan jam malam, alasannya adalah untuk menghindari tindak asusila. Lagi-lagi, ini membatasi ruang interaksi remaja. Sebenarnya, jika niatnya untuk menghindari tindak asusila, penggunaan CCTV dan juga sistem pengaduan yang efektif bisa menjadi solusinya, seperti halnya di Taman Pondok Sukmajaya dan Taman Elok Duren Seribu.
Ketiga, minimnya akses transportasi publik. Alun-alun kota Depok besar kemungkinan untuk dijadikan sebagai ruang publik, tetapi sayangnya, letaknya yang berada jauh dari pusat kota membuatnya sulit dijangkau transportasi publik. Selain itu, letaknya di tengah kawasan perumahan elite Grand Depok City membuat para remaja kelas menengah ke bawah pesimis dalam mengunjungi tempat tersebut, sama kasusnya seperti pada poin pertama di atas.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alasan mengapa Jeje, Bonge, Roy beserta kawan-kawannya memilih area Dukuh Atas sebagai ruang kreatif adalah karena aksesnya yang demokratis (area Dukuh Atas tergolong ruang yang inklusif walaupun terdapat sematan ‘mewah’ terhadap kawasan tersebut), aturan jam main yang fleksibel, serta bisa dijangkau oleh transportasi publik. Harusnya, ini bisa menjadi pelajaran bagi para pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan hak warganya dalam hal mendapatkan akses terhadap ruang publik. Para pemegang kuasa sudah sepatutnya melihat fenomena SCBD ini sebagai isu sosial, yaitu tentang krisis ruang publik yang aman dan bisa diakses secara demokratis.
Namun, seperti pada dongeng negeri Wakanda yang kerap digumamkan oleh para warganet, para pejabat itu, entah disengaja ataupun tidak, masih banyak yang salah paham dalam melihat kasus sosial, termasuk fenomena SCBD ini. Alih-alih melihat fenomena ini sebagai gejala krisis ruang publik, Pemkot Depok justru melihatnya sebagai pompa politik agar wilayahnya bisa diakui secara administratif sebagai bagian dari Jakarta. Kasus ‘pejabat tidak peka’ ini sebenarnya tidak hanya ada di Depok saja, tetapi juga ada hampir di seluruh tempat di Indonesia, salah satu contohnya di Yogyakarta.
Jauh ke tenggara dari kota Depok, kota Yogyakarta juga memiliki isu sosial yang sama, krisis ruang publik. Dalam kasus ini, setidaknya mulai dari tahun 2014 atau 2015, kampanye untuk pemenuhan hak ruang publik makin masif. Contohnya adalah kampanye “Jogja Ora Didol” atau “Jogja Tidak Dijual” yang diinisiasi oleh sejumlah aktivis sosial dan akademisi. Kampanye tersebut merupakan bentuk protes masyarakat Yogyakarta atas kelakuan para pembuat kebijakan yang hanya terfokus pada pembangunan pariwisata, ambisi kapitalisme yang turut meredupkan hak hidup rakyat.
ADVERTISEMENT
Dukungan pemerintah atas ledakan pembangunan hotel yang tentu diikuti juga dengan privatisasi ruang berimplikasi pada penipisan cadangan air tanah (karena pembangunan sumur yang dalam sekaligus konsumsi air yang tinggi oleh hotel) dan juga penyempitan ruang publik berkualitas. Menurut perhitungan BPS pada saat itu, tahun 2015, jumlah penduduk kota Yogyakarta yang mana berjumlah 381.766 jiwa membutuhkan ruang publik setidaknya sebesar 3.817.661 m2. Sedangkan, ruang publik yang tersedia di kota Yogyakarta kala itu hanya sebesar 2.151.841 m2.
Dari sini, seharusnya Pemkot Yogyakarta sudah bisa berbenah diri, lalu menentukan solusi efektif yang berpihak pada masyarakat, bukan hanya pada kapitalis. Namun, tidak seperti di novel-novel populer yang jalan ceritanya berakhir baik, warga kota Yogyakarta justru dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa pemerintah kota sedang tidak berpihak kepadanya. Pembangunan berorientasikan pada pariwisata terus berlanjut dan hak masyarakat makin diabaikan. Ruang publik untuk warga makin menipis, lihat saja Alun-alun Utara sekarang.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Alun-alun Utara yang sebelumnya menjadi salah satu ruang publik ikonik milik Yogyakarta telah menjadi lapangan pasir yang ditutup pagar. Kebijakan ini banyak mendapat kritik, bukan hanya karena menutup akses masyarakat terhadap salah satu ruang publik, melainkan juga karena meningkatnya potensi badai pasir ketika musim angin kemarau, yang mana juga merugikan warga sekitar. Selain Alun-alun Utara, kita juga bisa melihat kondisi Alun-alun Selatan atau biasa disebut Alkid (Alun-alun Kidul). Mulai semenjak pandemi, Alkid menerapkan beberapa aturan pembatasan, salah satunya jam malam. Bahkan, menurut beberapa pedagang Alkid yang saya wawancarai, dengan adanya pengalaman penutupan Alun-alun Utara, maka tidak menutup kemungkinan Alun-alun Selatan akan ditutup juga.
Jika kedua tempat tadi (Alun-alun Utara dan Alkid) menjadi ruang yang aksesnya terbatas, maka opsi masyarakat atas ruang publik terbuka yang ramah hanya akan terbatas pada Jalan Malioboro dan Kawasan Titik Nol. Dengan begitu, akan makin banyak wisatawan atau warga sekitar yang bertumpu pada area itu. Hasilnya, area tersebut akan jadi makin padat, para pengunjung berdesak-desakan, lalu akan muncul peningkatan ketidakamanan. Pada akhirnya, tempat-tempat yang awalnya menjadi tumpuan sebagai ruang publik tidak bisa lagi digunakan sebagai ruang publik, yang aman dan bisa diakses secara demokratis.
ADVERTISEMENT