news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Meningkatkan Hukuman Pidana Anak Tindakan Ngawur atau Tepat?

Dika Novi T
Mahasiswa Ilmu Hukum Untag Surabaya. Menulis esai, karya fiksi, serta jurnal ilmiah. Sementara tinggal di Surabaya, berharap tinggal di Lund, Swedia.
Konten dari Pengguna
20 Maret 2023 10:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dika Novi T tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh penulis; diambil di sebuah lapang bermain anak di kota Surabaya
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh penulis; diambil di sebuah lapang bermain anak di kota Surabaya
ADVERTISEMENT
Belakangan, keriuhan di media sosial banyak didominasi oleh rentetan kasus kenakalan dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu ada pelajar tewas dibacok oleh pelajar dari sekolah lain di bogor tanpa satu orang pun tahu alasan pembacokan tersebut, lalu masih dalam pekan yang sama, publik internet dibikin geram karena tersangka kasus pemerkosaan dan pembunuhan di Bone, Sulawesi Selatan telah dipulangkan dari masa penahanan oleh pihak kepolisian setelah mendekam di penjara selama 7 hari.
Dalam rentan waktu beberapa minggu saja ada banyak kasus-kasus anak yang melakukan tindak kejahatan kriminal, mulai dari kasus nekropilia balita di Deli Serdang yang dilakukan oleh anak berusia 17 tahun, kasus anak yang menjadi pengedar narkoba, hingga banyak kasus penganiayaan lain yang membuat publik internet marah sejadinya.
Screenshot komentar publik internet sebagai respon terhadap hukuman anak yang terlalu ringan
Rupanya kemarahan ini dipicu karena bagi mereka, perspektif perlindungan anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dianggap salah, bukannya malah seharusnya menghukum si anak pelaku kejahatan dengan memberikan hukuman yang berat tetapi bisa menjadi celah untuk meloloskan anak dari sanksi atau hukum yang ada.
ADVERTISEMENT
Publik berpandangan bahwa sudah saatnya meningkatkan hukuman bagi anak pelaku kejahatan, bagi mereka; kini dunia anak sudah rusak, bejat, dan liar tak terkendali. Itu terlihat dari berbagai komentar yang muncul di akun-akun media sosial berbagai platform media massa.
Mereka kesal dengan perspektif Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang melindungi si pelaku. Dengan pembacaan seperti itu, maka solusi yang dimunculkan adalah berupa pemberatan hukuman. Tapi apakah dengan memperberat hukuman bagi anak pelaku kejahatan merupakan sebuah solusi?
Walaupun memang dalam faktanya kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak memang tidak terjadi penurunan yang signifikan. Dari data yang dihimpun oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), mereka mencatat selama periode 2016-2020 ada 2300 anak sebagai pelaku tindak kejahatan.
Ilustrasi anak jadi korban bully. Foto: Shutterstock
Dalam periode 2016-2018 mengalami peningkatan signifikan, lalu pada periode 2019-2020 mengalami penurunan. Kejahatan yang dilakukan didominasi oleh tindak kekerasan fisik dengan persentase sekitar 25% dari jumlah kasus anak pelaku kejahatan per-tahunnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari proses dari pengadilan anak adalah adanya diversi. Hal ini berupa cara penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan.
Diversi dilaksanakan mulai tingkat pemeriksaan, penyidikan, dan penuntutan di pengadilan melalui musyawarah dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses hukum.
Dari ketetapan ini, lembaga pemasyarakatan (lapas) anak menjadi pilihan terakhir bagi hakim untuk memutuskan tindakan yang diberikan kepada anak. Apabila opsi terakhir memang harus memenjarakan anak, lapas anak haruslah ada pendidikan, layanan kesehatan, dan hak kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan hari yang pasti diperoleh anak di sana.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Dengan Beragamnya perlindungan yang disediakan oleh negara melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak tersebut, publik menilainya ini semua tidak akan ada efek jera sama sekali terhadap anak yang melakukan tindak kejahatan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang berpendapat bahwa menghukum berat anak pelaku kejahatan biasanya hanya ingin melihat permasalahan secara instan dan gemar main hakim sendiri tanpa bisa melihat keseluruhan permasalahan mengapa si anak hingga bisa melakukan tindak kejahatan.
Banyak faktor yang memengaruhi dari mulai absennya negara dalam rantai kemiskinan keluarga-keluarga di Indonesia, hingga Absennya keluarga sendiri terhadap kehidupan sang anak.
Youssouf Abdel-Jelil, seorang representatif UNICEF pernah menulis soal Meningkatkan Hukuman Untuk Anak Pelaku Kejahatan Bukan Solusi Untuk Mencegah Kriminalitas dalam laman UNICEF, ia berkata;
"Karena bukti menunjukkan bahwa memenjarakan anak tidak efektif dalam rehabilitasi dan pencegahan pelanggaran di masa depan, hukum tidak boleh dibuat lebih keras. Karena masa remaja adalah masa di mana anak-anak dapat dipengaruhi menjadi lebih baik atau lebih buruk, rehabilitasi dan reintegrasi harus menjadi tujuan utama."
Anak menghentikan bully. Foto: Shutter Stock
Kecenderungan anak untuk melakukan pelanggaran sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keluarga anak, sekolah, atau komunitas tempat anak terpapar perilaku yang berisiko.
ADVERTISEMENT
Kurangnya apresiasi dari keluarga ketika anak melakukan kegiatan yang bermanfaat dan bagus. kurangnya keterlibatan anak di dalam setiap aktivitas keluarga. Ini bisa saja membuat anak merasa kehadirannya tidak berarti bagi anggota keluarganya.
Hal-hal itu mungkin bisa terlihat biasa saja, tapi ternyata bagi anak itu bisa menunjukkan sisi psikologis yang hampa. Tentu saja setelah itu anak akan mencari dan berlari menuju lingkungan lain di mana dia bisa mendapatkan apresiasi lebih dan terlibat dalam dunia atau lingkungan barunya.
Ilustrasi anak menangis. Foto: DONOT6_STUDIO/Shutterstock
Secara sederhana bentuk apresiasi ini bisa disebut sebagai reward and punishment. Saat anak melanggar sesuatu, anak mendapatkan hukuman. Tentu orang tua turut berperan dalam memperbaiki kesalahan yang anak lakukan.
RODNEY RICHARDS dalam artikelnya yang berjudul Apresiasi atau Hukuman: Mana yang Benar-benar Mencegah Kejahatan? menerangkan bahwa memang reward bisa membuat si anak tindakannya bisa menjadi berguna bagi lingkungan di mana dia hidup dan mencegah kehampaan moral dan value pada sang anak.
ADVERTISEMENT
Elizabeth Fry, seorang reformis hukum dan penjara di Inggris pada pertengahan abad 18 menyatakan bahwa; Hukuman terhadap anak-anak pelaku pidana itu bukan untuk balas dendam. Mestinya, hal itu ditujukan untuk mencegah kejahatan selama si anak bertumbuh, sekaligus merehabilitasi dan mereformasi pelakunya.