Parau Sepercik, Harapan di Pesisir Utara Surabaya

Dika Novi T
Mahasiswa Ilmu Hukum Untag Surabaya. Menulis esai, karya fiksi, serta jurnal ilmiah. Sementara tinggal di Surabaya, berharap tinggal di Lund, Swedia.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 13:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dika Novi T tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gubuk kolektif nelayan, dipergunakan untuk memantau laut dan musyawarah warga (Ulung Hananto)
zoom-in-whitePerbesar
Gubuk kolektif nelayan, dipergunakan untuk memantau laut dan musyawarah warga (Ulung Hananto)
ADVERTISEMENT
Surabaya adalah kota yang mulanya dibangun melalui peradaban laut dan sungai oleh pemerintah kolonial Belanda di abad 15–17 masehi lalu. Pelabuhan, Nelayan, Permukiman di sekitar sungai, dan potensi-potensi air lainnya. Namun hingga kini, meskipun peninggalan-peninggalan tersebut masih ada tetapi fungsi dari bangunan-bangunan tersebut perlahan mulai terkikis oleh modernisasi zaman. Berdasarkan keresahan tersebut saya selaku penulis bersama kawan saya melaksanakan gali cerita singkat, menguak bekas-bekas atau tinggalan tersebut.
Cerobong penghidupan, kepul dapur asap setiap hari yang ada di kampung ini (Dika Novi T)
Sisi utara Surabaya menjadi penjelajahan pertama kami, adalah Kenjeran. Daerah yang acap kali menjadi cibiran bagi warga kota surabaya karena dianggap padat, keras, dan panas ini menyimpan banyak cerita menyenangkan, kabar kebahagiaan, mata pencaharian, dan penghidupan yang berkelanjutan.
Menyusuri lorong pemukiman di utara (Dika Novi T)
Perjalanan menyusuri bangunan paling kekinian milik pemkot surabaya, tak pelak kesan apa pun yang masuk dalam benak kami karena adanya pandemi maka yang terlihat di sana hanya penjaga jembatan dari satpol pp surabaya, anak-anak muda sekitar yang sedang menerbangkan burung dara mereka, serta pedagang jajanan yang tak tahu kapan dagangan mereka akan habis terjual hari itu atau bahkan sama sekali tak ada yang beli. 15 menit kami habiskan berjalan dan hanya kehampaan yang kami dapati dari bangunan tersebut, sekali lagi tak ada kesan.
Keluarga pengolah ikan sedang melakukan rutinitas (Ulung Hananto)
Kami berpindah, ke tempat narasumber kami yang tak jauh dari lokasi pertama. Langsung tanpa basa-basi lama dan dengan sambutan lugas khas pesisir kami mulai menyusuri perkampungan sekitar. aberasi yang kerap kali dikeluhkan sudah menjadi makanan sehari-hari di sana tiap pasang air laut, memenuhi pekarangan rumah serta masuk ke ruang tamu. Mereka bukan tanpa usaha, menanam mangrove, meninggikan tanggul, adalah usaha mempertahankan hunian mereka dari terpaan air garam. Sejak 2007 masyarakat bahu membahu mempertahankan tempat tinggal mereka, dari situ kebersamaan warga terjalin hingga membentuk berbagai macam paguyuban, koperasi, dan kelompok-kelompok solidaritas lain.
Pedagang beristirahat dalam tenda kecil jualan, walaupun pandemi menghantam penghasilan tak menjadikan alasan untuk berhenti jualan (Dika Novi T)
Padat penjaja ikan asin olahan (Ulung Hananto)
Satu hal yang menarik perhatian kami adalah di saat krisis mengancam mereka dan penghasilan sebagai nelayan mulai menemui titik paling kritis, di situlah timbul mata pencaharian mata pencaharian baru di sekitar pesisir. Pengasapan ikan mulai banyak dan dengan berbagai macam teknik, bagi saya ternyata pengasapan ini model bisnisnya sama persis seperti penyelepan beras di kampung saya di mana pedagang membeli ikan-ikan dari nelayan lalu diasapkan sesuai permintaan satu hal yang menarik. Lalu pedagang olahan-olahan ikan di pinggir jalan raya sangat ramai dengan harapan roda ekonomi terus bisa diputarkan mereka banyak membikin inovasi-inovasi olahan baru kalau kata orang-orang kan “krisis akan menimbulkan banyak hal baru” sepertinya memang itu yang terjadi. Sebuah pemandangan ceria dari anak-anak pesisir juga makin membuat kami bersemangat untuk menyusuri kampung ini, ceria,lincah, dan penuh harapan terpancar dari raut-raut mereka yang tak lepas dari suasana kebersamaan kampung yang dibangun.
Anak-anak enyemai masa depan, di sini anak-anak bebas ceria bermain (Ulung Hananto)
Satu paragraf khusus saya buat untuk cerita-cerita unik di sini. Dimulai dari legenda kolonial belanda yang sempat membangun benteng dan sisa-sisa bangunan pesisir lainnya kami dapat dari narasumber, entah untuk apa mereka membangun sebegitu besar demi peradaban di pesisir ini saat itu yang jelas hingga sekarang dampaknya luar biasa besar untuk penduduk yang tetap memilih bergelut dengan kerasnya pasang surut pesisir utara jawa. Selanjutnya, cerita tentang perahu-perahu nelayan yang kini sudah sangat berbeda tampilan dan rupanya, menurut narasumber kami dahulu perahu mereka berbentuk unik dengan cat hias yang menarik serta topeng di depan perahu seakan menunukan kemegahan alat mata pencaharian mereka. Namun entah ada kaitannya dengan ekosistem yang kian memburuk mengakibatkan nelayan makin susah dan jauh untuk mencari ikan mereka mengaharukan para nelayan untuk menanggalkan kebiasaan mempercatik kapal mereka seperti dahulu. Oh iya, alih-alih pemerintah ikut memperbaiki ekosistem laut, kok seakan malah mereka membangun monumen itu ya? Terserah lah..
Kapal nelayan menunggu giliran melaut (Ulung Hananto)
Kampung yang kami jelajahi kali ini memang memiliki pelbagai permasalahan dan dinamikanya sendiri, namun itu juga yang membuat warga bersatu untuk menghadapi kerasnya zaman dan bentuk-bentuk gangguan lain di sekitar kampung. Menyepelekan daerah-daerah seperti ini tentu hal yang salah kaprah, nyatanya kampung ini adalah permukiman paling menyenangkan untuk dikunjungi dan dihidupi. Pandangan kami terutama saya atas keras dan kasarnya peradaban pesisir telah hilang, di sini kami banyak menemui penghidupan, kebersamaan, solidaritas, tawa, cair, dan segalanya yang diberkati oleh hal-hal baik. Sisi utara tak hanya menyimpan pelik, dia hadir menjadi tiang pancang dan sandaran utama bagi sekitarnya, kehidupan mengitari napas-napas panjang tersengal namun harus tetap menatar cerah masa depan. Utara dan arah lainnya, kita semua sama.
Warga sipil sekitar bantaran pesisir dan satu narasumber kami yang memandu perjalanan pesisir (Ulung Hananto)