Positivisme Hukum Merupakan Kekerasan Hukum

Dika Novi T
Mahasiswa Ilmu Hukum Untag Surabaya. Menulis esai, karya fiksi, serta jurnal ilmiah. Sementara tinggal di Surabaya, berharap tinggal di Lund, Swedia.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2022 12:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dika Novi T tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi oleh penulis
ADVERTISEMENT
Dalam hukum kita mengenal yang namanya konsep hukum kodrat dan konsep hukum positif. Di dalam hukum kodrat, kekerasan digunakan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan yang adil. Sebagai contoh, adalah peribahasa “eye for an eye” mata dibalas mata, atau dalam kasus konkret ketika seseorang membunuh keluarga saya, maka selanjutnya tugas saya sebagai keluarga korban adalah membalas perlakuan pelaku dengan menghabisi pelaku atau salah satu dari keluarga pelaku. Bentukan hukum kodrat yang seperti itu lalu mendorong banyak para pakar hukum untuk memfromulasikan kembali problematika hukum ini, maka kemudian mucullah konsep hukum positif. Hukum ini sengaja dibuat oleh manusia dengan tujuan untuk mencapai keadilan dalam hidup bersama (Theo Huijibers, 1982: 274). Lagi pula, hukum positif, dibuat untuk membatasi praktik-praktik kekerasan oleh pihak berwenang – lain halnya jika dalam tradisi konsep hukum kodrat. Maka dengan adanya hukum positif, kekerasan yang tadinya dipertontonkan atau terjadi pasti dalam hukum kodrat dapat dihentikan.
ADVERTISEMENT
Positivisme hukum berkelakar bawa konsep ini memunculkan hukum yang adil, dapat membendung kekerasan. Gagasan yang berasal dari revolusi yang besar ini mendorong orang untuk menghasilkan sebuah kesepakatan bersama dalam menetapkan aturan-aturan yang harus diaati demi kepentingan bersama.
Dalam konsep hukum positif, menangguhkan upaya balas dendam dengan kekerasan adalah suatu keyakinan dan apat dianggap telah menyelamatkan pihak-pihak yang bertikai. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah adalah bagaimana jika positivisme hukum justru menunjukkan penegakan hukum yang tidak adil? Bagaimana jika penegakan hukum justru hanya bersifat quod scripsi, scripsi (apa yang tertulis, tetap tertulis)? Bukankah hal ini merupakan bentuk lain dari kekerasan? Bagaimana membedakan hukum yang adil dan yang tidak adil?
Menurut Derrida kata “enforceability” dia memaknainya The word “enforceability” reminds us that there is no such thing as law that doesn’t imply in itself, in the analytic structure of its concept, the possibility of being “enforced,” applied by force,” Jacques Derrida, 1992: 233). Bahwa, tak ada hukum tanpa penegakan dan tak ada penetapan atau penegakan hukum yang tanpa paksaan, bersifat langsung juga maupun tidak langsung, dalam arti simbolis atau psikis.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab persoalan kekerasan yang dianggap adil ini, Derrida menyodorkan sebuah kata “Gewalt” terjemahan dalam bahasa jerman adalah kekerasan. Akan tetapi dalam bahasa Jerman, kata “Gewalt” juga berarti kekuasaan yang dilegitimasi (legitimate power), otoritas (authority) dan kekuatan massa/publik (public force). Maka, kata “Gewalt” itu sendiri memiliki dua arti, pada satu sisi Gewalt berarti kekerasan dan di sisi lain Gewalt berarti kekuasaan yang dilegitimasi atau otoritas yang dibenarkan/mendapat pembenaran. Pemaknaan kata “Gewalt” memperlihatkan bahwa praktik kekerasan dalam positivisme hukum dilegalkan dan ditetapkan oleh otoritas yang sah. Dapat dikatakan, bahwa prospek awal dari hukum positif, yang sejatinya untuk membendung terjadinya kekerasan, justru malah hanya visi utopis. Kekerasan justru tetap dapat dipraktikkan dengan wajah dan penampilan yang lain. Kekerasan yang dilegalkan seringkali mengajak korban untuk menyetujui tindakan kekerasan itu sendiri. Derrida bersabda bahwa: “Selama otoritas yang sebenarnya, pendiri atau pendasar, positivisme hukum tidak bisa didefinisikan pada apa pun, tetapi pada dirinya sendiri. Mereka pada dirinya sendiri adalah sebuah kekerasan yang tak berdasar. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa mereka pada dirinya tidak adil, dalam arti ilegal atau tidak sah“ (Derrida, 1992: 242). Keadilan hukum dalam konteks ini tidak lebih daripada suatu retorika yang membujuk penggugat agar mau menerima kekerasan hukum (F. Budi Hardiman, 2007: 195).
ADVERTISEMENT
Ruang-ruang interpretasi hanya diperbolehkan seluas konsep atau definisi yang dibuat. Kekerasan justru kadang beroperasi melalui definisi dan permainan bahasa. Cara-cara macam ini mengindikasikan bahawa keadilan justru dibatasi dengan diberi sebuah pengertian atau bahkan telah dikonsepkan. Saat konsep keadilan ini akhirnya dilembagakan dalam institusi hukum, segala daya upaya penemuan unsur keadilan kemudian menjadi terhenti. Seluruh cara-cara penemuan konsep keadilan di luar hukum dianggap sebagai sesuatu yang melawan hukum. Penegakan hukum (law enforcement) akhirnya membujuk orang untuk menyetujui tindakan kekerasan yang diberlakukan oleh hukum.