news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Krisis Petani Muda di Tengah Pandemi

Diki Marlina
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
5 Februari 2021 6:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diki Marlina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petani muda. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani muda. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Jawa Barat, Kang Emil, melalui cuitannya di Twitter mengumumkan, “Dicari 5.000 anak muda Jawa Barat yang mau bela negara dengan menjadi petani 4.0. Daripada nganggur dan banyak rebahan melamun, mending gabung aja.Tanah subur masing-masing dipinjamkan 2.000 meter persegi dari Pemprov. Modal dari Bank BJB dan hasil langsung dibeli oleh Agro Jabar.”
ADVERTISEMENT
Memang ironis sekali jika melihat kenyataan pemuda Indonesia yang katanya tinggal di negeri agraris ini. Meskipun lahan pertanian terbentang luas, menjadi petani bukanlah prioritas, bahkan seringnya tak pernah masuk dalam pilihan pekerjaan. Bukankah anak muda sekarang lebih suka bekerja di balik teduhnya gedung bertingkat dan rindangnya AC? Bahkan, ketika menjadi pengangguran pun, profesi petani tak serta merta terlintas dalam benak milenial.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai anak petani dan anak pertanian, memang menjadi petani muda itu banyak susahnya. Sungguh, bukan pekerjaan yang worth it buat milenial untuk mengejar cuan dan pencitraan. Seperti pengalaman saya saat bertani di ladang bersama orang tua saya berikut ini.
“Yuh ayu-ayu kok panggone neng wuh!” (Cantik-cantik, tapi sayang kok tempatnya di rerumputan sih!).
ADVERTISEMENT
Begitulah teriakan yang saya dapatkan ketika sedang memanen Wortel di ladang sebelah rumah. Kebetulan rumah saya berada di daerah pariwisata, sehingga banyak wisatawan yang berkunjung. Tak terkecuali, di siang yang terik itu lewatlah segerombol mas-mas dengan bebasnya melontarkan kalimat demikian. Saya cuma bisa diam, sembari memandang bayang-bayang mereka yang semakin menjauh.
Peristiwa itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu, sebelum Corona menyapa Indonesia. Saya sih tidak kaget waktu itu, meski sedikit sakit hati. Maklum jika mas-mas itu berkata demikian. Sebab, banyak anak muda beranggapan bahwa pekerjaan petani itu kurang pantas bagi anak muda apalagi yang dianggap cantik oleh masnya seperti saya. Jangankan dianggap mulia, pekerjaan petani justru dianggap kotor, tertinggal, ndeso, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Padahal data Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada September 2015 yang lalu menunjukkan bahwa profesi petani terus mengalami penurunan. Setiap tahunnya, 15 ribu petani meninggalkan profesinya. Selain itu, hasil survei tahun 2017 Struktur Ongkos Usaha Tani Padi BPS menyatakan sekitar 61% petani padi sawah kita ternyata berumur 50 tahun ke atas. Hanya sekitar 13% berumur 20-39 tahun. Bisa dibayangkan bahwa mayoritas mereka yang saat ini menjadi petani sudah berusia tua yang tenaganya semakin lemah.
Darurat regenerasi petani ini bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan mood saat gabut saja. Perlu tekad yang kuat untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini apalagi di masa pandemi.
Seharusnya pandemi COVID-19 yang melanda sejak bulan Maret 2020 silam mengajarkan kita tentang arti penting ketahanan pangan. Selama pandemi ini kita bisa saja tidak pergi ke bioskop dan tidak berwisata. Tetapi, jelas kita tidak bisa kalau tidak makan. Setiap hari kita butuh energi dari makanan walaupun hanya untuk sekadar melakukan kegabutan hingga rebahan.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya COVID-19 yang bisa membunuh manusia secara perlahan, krisis pangan juga bisa mengakibatkan kematian jika disepelekan. Seperti yang dikatakan Eric Weiner “Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang”.
Jika alasan tersebut masih belum cukup membulatkan tekad kita untuk menjadi petani, mungkin kita bisa menengok kata-kata Pramoedya di bukunya yang berjudul Gulat di Jakarta. “Yang paling kemudian ia berperasaan, bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Semua orang lebih banyak bekerja untuk orang lain- untuk masyarakatnya, untuk sesama manusia. Karena itu pula, pekerjaan itu harus sebaik-baiknya, agar orang dapat menikmati hasilnya sebaik-baiknya pula”
ADVERTISEMENT
Entahlah, apakah “hakikat pekerjaan” seperti yang Pram bilang ini benar-benar dipahami oleh anak muda masa kini? Hakikat bahwa sejatinya kita bekerja itu untuk memberikan manfaat kepada orang lain sebaik-baiknya. Sebab kita sendiri juga setiap hari menikmati hasil pekerjaan orang lain. Petani adalah salah satu profesi yang tidak boleh berhenti bahkan di saat pandemi sekalipun. Sebab semua orang selalu membutuhkan makan. Dari tangan dan keringat para petanilah, bulir-bulir padi, sayur mayur hingga buah-buahan dihasilkan.
Ah, seharusnya yang dipikirkan pertama dari suatu pekerjaan adalah kebermanfaatanya, bukan? Bukan melulu seberapa banyak pekerjaan itu mendatangkan pundi-pundi uang, memperkaya diri, menaikkan eksistensi, dan seterusnya.