Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Rayakan Kesedihanmu, Menangis Bukan Tanda Kamu Lemah
20 Oktober 2023 21:55 WIB
Diperbarui 25 November 2023 10:42 WIB
Tulisan dari Dikky Yudi Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Judul Buku: Merayakan Kesedihan “Laut Pasang 1994”
Penulis: Lilpudu
Penerbit: PT Tekad Media Cakrawala
ADVERTISEMENT
Tahun Terbit: 28 Agustus 2023
Jumlah Halaman: 220 halaman
ISBN: 978-623-095-013-1
Merayakan Kesedihan, novel terbaru karya Lilpudu yang merupakan kisah lanjutan dari novel “Laut Pasang 1994”, bercerita tentang raga yang tersisa setelah kejadian yang membuat kehilangan orang tersayang. Torehan kilas balik tentang kenangan bersama yang membuat mereka harus bertahan hidup dibawah luka.
Alur Cerita Lanjutan dari Novel Sebelumnya
Novel Merayakan Kesedihan karya Lilpudu ini dibuka dengan lembar penyesalan yang sangat amat mendalam dari seorang Bapak. Sosok Bapak yang melihat rumahnya hancur rata dengan tanah dan hanya menyisakan puing-puing yang berserakan. Cukup lama ia berdiri memandang laut seolah meratapi kejadian semalam dimana tingginya ombak laut menyapu daratan dan merenggut nyawa anak-anaknya. Perasaan menyesal, rasa sakit, kecewa, dan bersalah semua ia rasakan dalam satu waktu. Tak henti-hentinya ia menangisi kejadian yang membuatnya menjadi kehilangan arah dan tanpa tujuan. Perlahan secercah cahaya kebahagiaan mulai tampak tatkala ia diberi secarik kertas oleh Pak Yusri dan melihat anak sulungnya, Khalid Mahavir menjadi salah satu korban yang selamat dalam tsunami itu.
ADVERTISEMENT
Pada lembar selanjutnya, Khalid menganggap bahwa dirinya gagal menjadi anak sulung. Ia menyalahkan diri sendiri atas kejadian tsunami yang membuat dirinya kehilangan adik-adiknya dan merasa gagal untuk menjaga adik-adiknya seperti janjinya kepada ibu sebelum wafat. Sesaat setelah ia tersadar dari pingsannya, matanya berbinar kala melihat Bapak mendatanginya ke posko bencana. Tanpa berpikir lama, Bapak pun menghampiri Khalid dan memeluk tubuhnya dengan kuat. Tangis mereka pecah tak terhindarkan ketika berpelukan, Khalid dan Bapak merasakan sakit yang sama dan berusaha menguatkan satu sama lain. Mereka mengetahui jasad Nadi, Esa, Dipa, dan Windu sudah dikebumikan, sisa Apta dan Dewa yang belum diketahui dimana mereka sekarang. Selang beberapa hari, Bapak dikejutkan dengan panggilan suara yang tak asing baginya, benar saja itu adalah suara putra ketiganya, Batara Dewangga. Hanya sisa mereka bertiga saja yang masih diberikan waktu untuk hidup lebih lama, namun Apta, masih belum ditemukan dimana dia dan kalaupun dia sudah meninggal, Bapak berharap jasad Apta dapat dikebumikan dengan semestinya.
ADVERTISEMENT
Lembar selanjutnya dari sudut pandang Dewa, Dewa yang masih teringat luka lama akibat sering disakiti dan ditinggalkan oleh Bapak, namun kini hanya sisa dirinya, Bapak dan mas Khalid yang harus tetap berjuang untuk hidup. Meskipun begitu, Dewa tetap belum bisa menerima kehadiran Bapak lagi setelah kejadian tsunami itu, ia tetap memiliki rasa benci karena perbuatan Bapak di masa lalu. Dewa terus berpikir mengapa ia tidak mati bersama dengan adik-adiknya saja yang selalu bersamanya dari kecil daripada harus hidup dengan Bapak yang dari dulu menyakitinya. Dewa pun bertanya-tanya, ia diberikan kesempatan untuk tetap hidup ini adalah sebuah keberuntungan atau sebuah kesialan?
Mereka bertiga yang seharusnya saling menguatkan dan bangkit dari keadaan terpuruk ini, namun yang terjadi malah Dewa selalu menghindari dan diam saat berbicara dengan Bapak. Mas Khalid sempat tersulut emosi saat melihat perlakuan Dewa terhadap Bapak yang bertendensi kasar dan tidak seperti Dewa yang Mas Khalid kenal. Bapak memaklumi perlakuan Dewa padanya dan tetap bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Bapak memang pandai dalam berpura-pura agar konflik dengan putranya tidak berlanjut. Bapak yang sekarang sudah jauh berubah jadi lebih baik dibanding Bapak yang dulu yang sering main tangan dan kasar kepada anak-anaknya. Lambat laun Dewa mulai menerima kehadiran Bapak kembali.
ADVERTISEMENT
Menariknya Sudut Pandang yang Digunakan
Lilpudu menulis novel Merayakan Kesedihan ini dengan menggunakan sudut pandang yang cukup menarik menurut saya. Kita diajak masuk ke dalam tiga sudut pandang berbeda dari Bapak, Khalid, dan Dewangga. Ketiga sudut pandang tokoh tersebut yang tentu memiliki perspektif yang berbeda pula. Lilpudu menyuguhkan berbagai sudut pandang yang dimaksudkan agar pembaca lebih mengetahui alasan dibalik tokoh melakukan sesuatu hal. Seperti tokoh Dewa yang terlihat egois dan tidak peduli dengan Bapak dan Khalid, namun pada saat cerita dalam Lembar Dewangga, ia sebenarnya peduli dengan Bapak dan kakaknya namun rasa sakit yang ia rasakan belum bisa ia terima sepenuhnya. Lilpudu cermat dalam mengembangkan cerita dan memilih sudut pandang ketiga tokoh dalam penyampaian ceritanya. Kesalahpahaman dalam memahami antar tokoh dapat terjawab dengan adanya berbagai sudut pandang yang disajikan. Adanya ilustrasi juga dapat mendukung pemvisualisasian jalan cerita dalam imajinasi pembaca. Yang perlu disorot lagi yakni adanya surat pada akhir lembar atau chapter secara konsisten oleh tokoh yang sedang bercerita. Hal itu seakan ungkapan hati yang ingin disampaikan tokoh dan Lilpudu cukup cermat dengan mengemasnya dalam bentuk selembar surat setiap pada akhir lembar atau chapter. Adanya dialog maupun frasa tentang kesedihan yang diucapkan berkali-kali seakan menekankan rasa sakit dan kesedihan yang dialami tokoh dalam novel ini terasa semakin kuat hingga penonton dapat larut dengan kesedihan yang dibangun.
ADVERTISEMENT
Jalan Cerita yang Repetitif
Jalan cerita novel ini terkadang membuat penonton merasa bosan. Hal ini terjadi karena semisal pada suatu peristiwa atau kejadian yang dialami oleh tokoh Khalid dan Dewa maka akan diceritakan pada sudut pandang Khalid namun akan terceritakan kembali pada lembar sudut pandang tokoh Dewa, seakan mengulang cerita yang sama. Terdapat pula beberapa kesalahan penulisan pada cerita novel ini, tidak banyak namun ada beberapa yang mungkin bisa dihilangkan kesalahan penulisan tersebut dengan pengecekan yang lebih teliti lagi.
Novel Merayakan Kesedihan mengajarkan kita untuk seolah merasakan betapa pedih, hancur, dan sakitnya ketika kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi yang setiap hari-harinya selalu bersama kita. Mereka tiada bukan kesalahan kita, memang alam sudah diperintahkan untuk menjemput mereka, maka tidak sepatutnya ada yang merasa bersalah dan dipersalahkan atas kejadian tsunami. Seperti pada awal buku ini tertulis “perihal keikhlasan yang harus dilakukan dengan terpaksa” yang dimaknai bahwa kita harus bisa mengikhlaskan hal yang sudah terjadi meskipun itu berat dan harus dilakukan dengan terpaksa. Pada lembar penutup ditegaskan kenangan mereka tidak akan dilupakan dengan dituliskan “Tujuh raga itu akan selalu menjadi kenangan. Mereka tidak akan pernah mati, mereka hanya terkubur di dalam tanah dengam kenangan yang akan selalu teringat di memori.” Novel ini cocok untuk dibaca bagi kalian yang ingin mengisi waktu luang dengan penggambaran cerita sedih yang apik.
ADVERTISEMENT