Konten dari Pengguna

Jangan Harap Generasi Lama Paham Sastra Digital

Dikta Sumar Hidayah
Mahasiswa semester 7 Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga, ex-Pemred LPM SITUS FIB Unair
24 November 2024 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dikta Sumar Hidayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels.com/ Mart Production
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels.com/ Mart Production
ADVERTISEMENT
Jangankan membaca sastra digital, cara mengganti tanda centang biru di WhatsApp saja belum tentu Generasi Pre-Boomers hingga Generasi-X tahu. Sastra digital adalah salah satu jenis sastra yang dibuat secara digital, termasuk cara distribusi dan konsumsinya. Bentuk sastra digital tidak hanya berupa novel, puisi, cerita pendek, atau jenis sastra lainnya, tetapi bisa memiliki tambahan dari media yang lain (multimedia) berupa musik, ilustrasi, video, bahkan beberapa di antaranya bisa memunculkan interaksi antara pembaca dan karya sastra tersebut. Contoh karya sastra yang paling sederhana dan mudah diakses adalah karya sastra yang dibuat melalui sosial media, seperti Instapoetry. Sedangkan contoh karya sastra yang lebih kompleks adalah aplikasi Joylada. Dalam aplikasi terebut, sebuah novel memiliki bentuk berupa percakapan online yang memberikan pengalaman pembaca untuk memilih alur cerita dengan pilihan yang disediakan. Contoh lain dari sastra digital adalah graphic novel atau komik yang dibuat dan dipublikasikan secara digital (Webtoon, Mangatoon, dll), Alternative Universe (AU), berbagai permainan yang mengandung cerita yang dapat diunduh bebas di Playstore maupun Appstore, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dengan indeks literasi digital di Indonesia yang mencapai 3,54/5, peminat sastra digital cenderung berasal dari kalangan usia yang relatif muda. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti penggunaan teknologi yang kurang dikuasai oleh generasi lama dan juga minimnya waktu yang dimiliki oleh kaum-kaum generasi lama saat ini. Semisal, ibu-ibu di Indonesia yang berasal dari Generasi X, saat ini sedang fokus membersihkan rumah, memasak, mengantar-jemput anak sekolah, kebutuhan sosialisasi dengan tetangga, dan lain sebagainya. Jangankan waktu untuk membaca, waktu untuk melakukan kegiatan lain seperti mengisi token listrik pun kadang tak ada. Setelah bunyi tut-tut dari token listrik terdengar, baru mereka akan mengisinya. Hal ini sulit untuk dibandingkan dengan perempuan asal Kanada, Margaret Atwood. Perempuan yang memiliki usia lebih tua dari Negara Indonesia ini lebih sadar akan pentingnya sastra terutama di era digital ketimbang netizen Indonesia. Bahkan, meskipun kulitnya sudah tidak kencang lagi, Margaret Atwood telah aktif menulis di aplikasi Wattpad sejak 2012.
ADVERTISEMENT
Sedangkan mengenai teknologi itu sendiri, bagaimana masyarakat Indonesia bisa lebih menyadari kegunaan teknologi lebih dari sekadar update status jalan-jalan? Sekelas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saja telah beberapa kali kecolongan. Ratusan kasus data masyarakat Indonesia tersebar setelah Kominfo–hanya–mengandalkan Windows Defender, bahkan tanpa membuat pencadangan data. Lalu, bagaimana masyarakat Indonesia, khususnya generasi lama bisa menggunakan teknologi sampai kepikiran untuk membaca sastra digital?
Sebagai anak perantauan yang tinggal di sebuah kos-kosan, tak jarang saya dipuji “pintar” oleh–mantan–ibu kos saya yang sudah berumur 70 tahun lebih. Beliau ingin menonton campursari di Youtube, tapi ternyata aplikasinya tidak bisa dibuka. Alasannya simpel, Youtube tersebut error karena aplikasinya tidak pernah diperbarui. Saya, sebagai anak kuliah yang menurut pandangan orang-orang di sekitar saya bahwa anak yang kuliah berarti anak pintar, juga seringkali diminta untuk menyimpankan nomor telepon oleh ibu kos, keluarga, atau bahkan tetangga saya. Ironisnya, dari semua kalangan tersebut, hanya sedikit dari mereka yang menggunakan gawai mereka untuk menikmati sastra digital. Bahkan tidak ada yang pernah bertanya kepada saya tentang cara membaca sastra digital di gawai mereka. Seolah mereka tidak mengenal apa itu yang namanya sastra digital.
ADVERTISEMENT
Jadi, apalah itu sastra digital bagi mereka? Membaca saja mereka tidak mau, atau tidak punya waktu barangkali. Apalagi dengan kecanggihan teknologi yang justru jadi musuh mereka, semakin membuat sastra digital jauh dari pikiran. Lucunya, masih ada saja orang-orang dari generasi lama yang justru menyepelekan sastra.
Namun, ada hal lain yang menurut saya turut menjadikan alasan sastra digital cenderung lebih banyak dibaca oleh generasi yang lebih muda. Mekanisme target pasar dan strategi marketing platform digital cenderung lebih menyasar generasi muda mulai dari generasi milenial. Sehingga, terlepas dari masalah penggunaan teknologi, eksistensi sastra digital ini kurang bisa naik di kalangan generasi lama.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, teknologi bisa menjadi batu loncatan bagi segala generasi tidak hanya untuk menikmati sastra, tapi juga menciptakan karya-karya yang bisa dikenang. Asal generasi lama juga mau belajar teknologi, maka sastra digital tidak akan lagi jauh dari pelupuk mata. Namun, bisakah generasi lama yang kesulitan mengganti ukuran font gawai bertransformasi menjadi generasi yang cakap teknologi dan menghasilkan segudang karya sastra digital?