news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Figur Seorang Istri yang Setia Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘Anha

Dilla Azka Azkia
Mahasiswi di STIBA Ar-raayah Sukabumi
Konten dari Pengguna
31 Maret 2021 7:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dilla Azka Azkia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Dilla Azka Azkia*
ilustrasi foto wanita muslimah. unsplash.com
Ummul Mu’minin Saudah binti Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams Al-Qurasyiyyah Radhiyallahu ‘Anha. Ibunya bernama Ummusy Syumus binti Qais bin Zaid bin ‘Umar. Saudah adalah termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam bersama suaminya As-Sakran bin ‘Amr dan keduanya sama-sama berhijrah ke Habasyah dan suaminya meninggal disana.
ADVERTISEMENT
Kisah Pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
Khaulah binti Hakim, istri dari ‘Utsman bin Mazh’un melihat keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam yang ditinggal wafat oleh sang istri tercinta -Khadijah Radhiyallahu ‘Anha- sosok wanita yang selama ini selalu mendukung dan membelanya sekaligus sebagai penyemangatnya dalam berdakwah telah tiada dan tak lama kemudian wafatlah pamannya tercinta Abu Tholib, yang kemudian disebutlah tahun ini sebagai ‘Aamul Huzni atau tahun duka cita. Ia berniat menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam agar ada seseorang yang dapat menghibur dan menemaninya, kemudian ia pun berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau berkenan untuk menikah lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bertanya, “Dengan siapa?” Khaulah pun menjawab, “Jika engkau menginginkan, ada seorang gadis dan ada seorang janda”. Beliau bertanya, “Siapakah gadis itu dan siapakah janda itu?” Khaulah menjawab, “Gadis itu adalah putri dari manusia yang paling engkau cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar, sedangkan janda itu adalah Saudah binti Zam’ah, dia telah beriman kepadamu dan dia setia mengikuti ajaran yang kau ajarkan pada umat ini.”
ADVERTISEMENT
Ada point penting yang dapat kita ambil dari kisah tersebut, bahwa ketika seorang muslim berkendak untuk menikah, maka wajib untuknya melihat agama calon pasangannya, agar kelak keduanya mencapai tujuan yang sama dalam pernikahan. Tidak seperti fenomena yang terjadi saat ini, seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir atau seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir. Na’udzubillah, bahkan Allah telah memerintahkan kepada kita agar memilih pasangan hidup yang seiman, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
ADVERTISEMENT
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Qur’an Surah Al-Baqarah: 221)
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berkata, “Pergilah dan sampaikan niat baikku bahwa aku hendak melamarnya”. Kemudian Khaulah menemui Saudah Radhiyallahu ‘Anha untuk menyampaikan niat baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan berkatalah ia, “Wahai Saudah, sungguh luar biasa hari ini! Aku membawa kabar gembira dan keberkahan untukmu” Lalu Saudah menjawab, “Apakah itu?” Khaulah berkata, “Aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam agar melamarmu untuk beliau” Kemudian Saudah menjawab, “Aku menginginkannya, tetapi tolong pergilah temui ayahku, dan sampaikan maksudmu ini” kata Saudah, terlihatlah bahwa ia adalah seorang yang logis yang memiliki pemikiran yang jauh ke depan dan paham dengan aturan, bahwa ia masih memiliki ayah yang harus memberikannya restu, sehingga emosionalnya tidak mengalahkan logikanya. Lalu ditemuilah ayahnya -Zam’ah- yang sudah tua dan saat itu belum memeluk islam, kemudian Khaulah menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam hendak melamar putrinya. Statusnya yang kafir tidak melarangnya untuk berbuat objektif dalam menilai seorang muslim, sehingga ia menerima lamaran untuk anaknya itu karena ia tahu bahwa pria yang melamar anaknya adalah pria yang mulia, yang memiliki akhlak dan budi yang luhur. Akhirnya menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam dengan Saudah Radhiyallahu ‘Anha.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riwayat ini, dua pendapat mengenai mana yang lebih dulu diantara pernikahan ‘Aisyah dan Saudah dapat disatukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menikahi ‘Aisyah terlebihi dahulu sebelum menikahi Saudah, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam lebih dulu menggauli Saudah sebelum menggauli ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, karena kata “nikah” dalam bahasa arab dapat diartikan sebagai akad nikah atau berhubungan badan. (Musnad imam Ahmad [VI/221]. Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini secara panjang lebar dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha)
Kesetiaan Saudah Radhiyallahu ‘Anha
Diriwayatkan oleh Muslim bahwa ketika Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘Anha telah menginjak usia tua, ia memberikan jatah giliran hari dan malamnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha demi mencari ridha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
ADVERTISEMENT
Riwayat lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata bahwa saat Saudah telah menginjak usia tua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam hendak menceraikannya, tetapi Saudah berkata, “Jangan engkau ceraikan aku, dan engkau akan terbebas dari kewajibanku, aku hanya ingin dikumpulkan bersama istri-istrimu dan aku berikan hari jatah giliranku kepada ‘Aisyah, karena aku sudah tidak punya keinginan seperti yang diinginkan para wanita” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam tetap mempertahankan Saudah hingga beliau wafat dengan meninggalkan Saudah bersama istri-istri beliau lainnya. Diriwayatkan oleh Abu ‘Umar. Kemudian turunlah ayat berkenaan dengan peristiwa ini:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
ADVERTISEMENT
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Qur’an Surah An-nisa:128)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berkata kepada istri-istri beliau pada tahun Haji Wada’, “(Haji) ini wajib bagi kalian, setelah itu kalian harus tetap berada di rumah, karena kalian sudah tidak lagi diwajibkan untuk menunaikannya”. Setelah itu mereka semua tetap melaksanakan ibadah haji, kecuali Zainab binti Jahsy dan Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘Anhuma. Keduanya berkata mengenai hal itu, “Kami tidak lagi melakukan perjalanan jauh setelah kami mendengar hal itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.” Diriwayatkan oleh Ahmad.
ADVERTISEMENT
Sungguh mulia hati Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘Anha, hingga ia rela memberikan jatah hari dan malamnya untuk mencari keridhaan suaminya, mungkin hal ini belum tentu akan kita dapatkan pada saat ini, dimana kebanyakan dari wanita yang dipoligami oleh suaminya saja belum tentu meridhai hal itu sepenuhnya, apalagi sampai merelakan jatah waktunya kepada istrinya yang lain. Disinilah ciri ketaatan seorang istri kepada suaminya, yang mana ia akan melakukan hal apa pun yang membuat suaminya ridha terhadapnya, karena ketika seorang wanita telah menikah, maka wajiblah ia patuh terhadap suaminya, bahkan melebihi kepatuhannya kepada kedua orang tuanya, agar ia menjadi wanita yang disebutkan dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
ADVERTISEMENT
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany)
Demikian, Wallahu ‘Alam.
*Mahasiswi Semester 4 Prodi Komunikasi Penyiaran Islam STIBA Ar Raayah Sukabumi.
Sukabumi, 10 Sya’ban 1442 H/ 23 Maret 2021 M
Referensi:
Ath-thabari, Muhibbudin. (2016). Ummahatul Mukminin Biografi Istri-Istri Nabi ﷺ (Edisi Indonesia). Jakarta Timur: Griya Ilmu.
https://muslim.or.id/9275-bebas-memilih-pintu-surga.html, diakses pada Selasa 23 Maret 2021 pukul 17.51 WIB.
https://nabulsi.com/web/article/5589/%D8%B3%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%8A%D8%AF%D8%A9-%D8%B3%D9%88%D8%AF%D8%A9-%D8%A8%D9%86%D8%AA-%D8%B2%D9%85%D8%B9%D8%A9, diakses pada Selasa 23 Maret 2021 pukul 13.34 WIB.