Realsitis, Kapitalisme dan Cinta

Konten dari Pengguna
23 Juni 2021 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas putra hadi santosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pasangan Sedang Menikmati Senja, Sumber foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pasangan Sedang Menikmati Senja, Sumber foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, cinta merupakan hal yang sungguh menarik dan kita kerap kali bertanya-tanya apa arti dari cinta itu sendiri. Menurut Plato “Cinta sejati adalah kekaguman”, lantas bagaimana menurut kalian para pengagum cinta ?.
ADVERTISEMENT
Dalam risalah ini, penulis tidak akan membahas kebenaran maupun baik dan buruk dari kapitalisme. Kita juga tidak akan menelusuri pemahaman tentang cinta maupun realistis secara mendetail namun kita akan berpolemik terhadap sudut pandang seorang yang digadang-gadang sebagai bapak kapitalis dan pandanganya terhadap cinta, Karl marx.

Kapitalisme dan Cinta

Patung Karl Marx, Sumber Foto : unsplash.com
Capitalsm bad for capitalist” tukas marx yang artinya kapitalisme buruk untuk seorang yang kapitalis. Sungguh pernyataan yang kontradiksi namun bukan tanpa sebab. Tentu pemahaman tentang bagaimana meningkatkan margin dan menurunkan pengeluaran dalam sudut pandang bisnis merupakan hal yang manis namun kita tidak memperdebatkan hal tersebut melainkan bagaimana bisnis dan kapitalisme menekan kehidupan seorang kapitalis.
Marx melihat pernikahan orang-orang kaya penuh dengan tekanan dan mereka kerap kali mengkontaminasi cinta dengan economical interest (kepentingan ekonomi). Menurutnya orang-orang kaya cenderung memilih pasangan yang setara dalam strata ekonomi untuk mempertahankan atau meningkatkan aset-aset kekayaan mereka dan hal tersebut menciderai cinta yang berujung kepada kehidupan keluarga yang penuh dengan tekanan, gengsi, dan depresi.
ADVERTISEMENT
Pembahasan tentang kapitalisme dan cinta tadi menghantarkan penulis kepada pertanyaan “Apakah cinta tidak boleh melibatkan materi di dalamnya ?”. Bagaimana dengan prejudis “Cinta itu harus realistis ?”, nah hal ini sangat menarik dan mengugah hasrat penulis untuk berpikir.

Realistis dan Cinta

Premis
Menurut hemat penulis, cinta dan realistis merupakan dualisme yang berbeda namun bisa berjalan berdampingan. Dengan premis pertama “Cinta adalah afeksi dan kasih sayang yang sifatnya subjektif” dan premis ke dua “Realistis adalah pola pikir yang rasional dan nyata” mari kita mencoba memahami dualisme ini dengan pendekatan metafora.
Kasus 1
Ketika seorang wanita menikah dengan seorang pria yang dia cintai namun pria tersebut tidak memiliki kestabilan ekonomi untuk menunjang kehidupan mereka berkeluarga.
ADVERTISEMENT
Berarti wanita tadi cinta kepada pria tersebut sehingga dia rela mengesampingkan faktor kestabilan ekonomi yang merupakan hal fundamental untuk kehidupan berkeluarga.
Kasus 2
Ketika seorang wanita setelah memikirkan masa depan keluarganya dia menikah dengan pria pilihan ibunya, pria yang mapan namun tidak begitu tampan dan hanya sedikit membuatnya nyaman.
Maka dapat kita simpulkan, jika wanita tersebut penuh pertimbangan dan sangat realistis dalam hubungannya sehingga dia rela menikah dengan pria pilihan ibunya.
Miniatur Patung The Thinker, Sumber Foto : unsplash.com
Pertanyaan
Penulis yakin akan timbul pertanyaan dibenak para pembaca, misalnya :
“Lantas apakah dengan mengesampingkan pertimbangan ekonomi dapat menjamin kehidupan keluarga pada pasangan dalam kasus pertama ?”
Kembali lagi dengan premis pertama “Cinta adalah afeksi dan kasih sayang yang sifatnya subjektif” jika mereka sungguh saling mencintai maka akan terus ada afeksi dan kasih sayang, jika mereka saling sayang maka mereka akan memikirkan tentang kebutuhan pasangan mereka yang akan menghantarkan mereka kepada pola pikir yang rasional dan nyata yang merupakan premis dari realistis.
ADVERTISEMENT
“Lantas apakah pasangan pada kasus ke dua tidak saling mencintai ?”, dengan premis pertama dan kedua maka jawabanya adalah “Iya, mereka tidak memulai kehidupan keluarganya dengan saling mencintai namun dengan realistis” .
Memulai dengan tidak mencintai juga bukan berarti akan berakhir dengan tidak mencintai jika yang awalnya saja mencintai juga bisa berbalik menjadi tidak mencintai justru saling membenci yang merupakan antitesis dari cinta.
Sudjiwotedjo dalam perkataanya menyampaikan “Cinta tidak butuh pengorbanan, begitu kamu berkorban kamu sudah tidak cinta” menurutnya ketika kita berkoban maka kita sudah tidak lagi cinta karena mencintai itu harus dilakukan dengan senang, ketika kita melakukan sesuatu terhadap orang yang kita cintai dengan perasaan tidak senang maka hal itu dianggap suatu pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan Penulis
Dari kesimpulan penulis, untuk terus dapat hidup dengan mencintai kita harus realistis dalam artian realistis memenuhi hal-hal yang fundamental dalam hidup seperti kebutuhan konsumsi, edukasi, dan hal-hal mendasar lainnya. Juga bukan berarti kita tidak bisa mengesampingkan hal yang fundamental lantas kita mencintai tentu saja bisa namun dengan cara mencintai yang demikian kita belum tentu bisa hidup.
Foto Close Up Mata, Sumber Foto: unsplash.com
Cinta di Mata Penulis
Pertama kali penulis belajar tentang mencintai bukan dari Plato, Socrates, maupun Marx melainkan seorang yang paling ahli dalam hal mencintai yaitu Ibu penulis. Beliau yang selalu ada di sisi penulis bahkan disaat saat penulis kehilangan siasat, beliaulah yang mendasari definisi cinta dari penulis.
“Cinta yang sebenarnya adalah tentang waktu, tentang bagaimana kita bisa bertahan setelah melewati rentetan kejadian yang berpeluang untuk memisahkan kita namun kita masih saling berdampingan” itu adalah definisi cinta yang sebenarnya menurut penulis dan pembaca juga berhak memiliki definisi cintanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Selamat derdinamika dengan cinta dan semoga beruntung dengan cinta kalian masing-masing wahai para pengagum cinta !.
Penulis bernama Dimas Putra Hadi Santosa mahasiswa FKIP Bahasa Inggris USK, Banda Aceh