Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Simbol Perlawanan pada Tokoh Buyung dalam Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
22 Oktober 2024 17:57 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dimas Aldean Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lahirnya karya sastra pada umumnya merupakan kehendak seorang pengarang untuk menggapai situasi yang sedang atau pernah dialaminya. Dalam merespon situasi yang ada di dalam masyarakat, seorang pengarang tidak bisa lepas dari pengetahuan, emosi, agama, dan ideologi. Dengan demikian, terciptanya karya sastra secara langsung atau tidak langsung merupakan representasi sikap budaya pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal demikian terjadi karena dalam proses kelahiran karya sastra lebih banyak disebabkan oleh dialektika yang secara terus-menerus antara nilai-nilai ideal tertentu dan pengarang dengan nilai-nilai realitas sosial. Salah satunya adalah perlawanan yang terjadi di dalam sebuah karya sastra (Yulitin, 2007: 167).
ADVERTISEMENT
Simbol perlawanan di dalam karya sastra merupakan aspek yang sering digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan pesan mengenai perlawanan terhadap otoritas, norma sosial, atau ketidakadilan dalam masyarakat. Lewat simbol itulah, pengarang bisa mengungkapkan kritik sosial, menggambarkan perjuangan individu atau kelompok dan menyoroti bentuk perlawanan terhadap penindasan atau ketidakadilan. Simbol perlawanan bisa berupa tokoh, objek, peristiwa, atau bahkan tema yang berulang dalam karya sastra. Tokoh-tokoh yang menjadi simbol perlawanan seringkali digambarkan sebagai individu yang berani, penuh perjuangan/semangat, dan memiliki keinginan untuk kuat dalam memperjuangkan apa yang dianggap benar. Salah satuna adalah tokoh Buyung.
Lewat karakter Buyung, pengarang menyampaikan pesan yang mendalam mengenai kebebasan. Berikut analisis bagaimana Buyung menjadi simbol perlawanan dalam cerpen tersebut.
ADVERTISEMENT
1. Perlawanan Terhadap Otoritas
Buyung merupakan seorang pemuda yang penuh dengan semangat dan idealisme. Ia menolak untuk patuh pada norma yang dianggapnya tidak adil. Sikap tidak adik terlihat pada caranya menentang larangan mencintai bunga-bunga yang bisa dilihat sebagai metafora dari larangan untuk mengeksperikan cinta dan kebebasan. Lewat tokoh Buyung, Kuntowijoyo menggambarkan perlawanan terhadap otoritas yang mencoba mengendalikan tindakan individu.
2. Simbol Kebebasan dan Identitas
Metafora “bunga-bunga” dianggap sebagai simbol dari kebabasan dan identitas. Saat Buyung dilarang mencintai bunga-bunga, berarti ia dilarang untuk menjadi dirinya sendiri dan mengekspresikan kebebasan pribadinya. Perlawanan Buyung terhadap larangan ini menunjukan adanya rasa keinginan untuk mempertahankan identitas dan kebebasannya. Hal tersebut menjadi pesan yang kuat mengenai pentingnya hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri dan mengekspresikan diri tanpa takut pada hukuman.
ADVERTISEMENT
3. Perjuangan dalam Menemukan Jati Diri
Buyung, mengeksplorasi tema pencarian jati diri dan identitas. Buyung berupaya untuk menemukan siapa dirinya dan apa yang ia yakini, meskipun harus berhadapan dengan larangan dan penolakan dari masyarakat. Perjuangan tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku.
Buyung dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga merupakan simbol perlawanan terhadap berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan sosial. melalui cerpen tersebut memberikan pesan yang mendalam tentang pentingnya perlawanan terhadap otoritas, simbol kebebasan, dan perjuangan dalam menemukan jati diri. Cerpen tersebut juga mengajak pembaca untuk merenung perihal norma sosial yang ada dan menginspirasi untuk mempertahankan kebebasan di tengah-tengah tekanan dan larangan yang terjadi.
Daftar Pustaka
ADVERTISEMENT
Sungkowati, Yulitin. 2007. “Kerudung Santet Gandrung: Simbol Perlawanan Terhadap Kaum Santri Banyuwangi”. Jurnal Diksi. Vol. 14, No. 2.