Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sindrom Stockholm: "Sebuah Paradoks Psikologis"
15 Desember 2022 18:57 WIB
Tulisan dari Dimas Alif Erlangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Teman-teman pasti pernah menjumpai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap seseorang yang nakal dan tidak berperilaku baik. Ketika seseorang merasa disakiti, tidak seharusnya individu tersebut merasa ikatan yang positif terhadap hubungan yang telah Ia jalani dengan sang pelaku, akan tetapi hal tersebut masih saja terjadi. Maraknya fenomena ini membuat persepsi khalayak umum terhadap hal tersebut menjadi sesuatu yang dilazimkan, walaupun sepatutnya hal tersebut tidak dilakukan. Berdasarkan kisah Patricia Hearst yang dikutip dari Quora.com, Ia merupakan seorang anak konglomerat yang diculik beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-20 pada tahun 1974. Patricia menyatakan bahwa Ia mendukung kelompok penculiknya, meskipun telah mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Fenomena tersebut dapat dikenal secara linguistik dan ilmiah dalam dunia psikologis sebagai stockholm syndrome.
ADVERTISEMENT
Mengenal Stockholm Syndrome
Dikutip dari (Nair, 2015), stockholm syndrome adalah fenomena psikologis di mana seorang sandera mengekspresikan empati, simpati, dan perasaan positif hingga ketertarikan, terkadang sampai membela dan mengidentifikasi diri dengan penculiknya. Hal ini disebut juga sebagai capture bonding atau ikatan tangkap. Perasaan ini umumnya dipertimbangkan mengingat bahaya atau risiko yang ditanggung oleh para korban yang pada dasarnya salah mengira kurangnya perlakuan kejam dari penculiknya sebagai tindakan kebaikan.
Apakah teman-teman mengetahui bahwa stockholm syndrome sendiri dapat ditinjau kembali ke masa di mana manusia masih hidup dengan berburu dan meramu? Psikolog evolusioner menjelaskan bahwa stockholm syndrome dapat dikaitkan dengan nenek moyang kita. Mereka sering menghadapi masalah ditangkap oleh suku lain dan ditempatkan dalam beberapa situasi di mana nyawa mereka terancam. Menurut (Logan, 2017), dengan mengembangkan ikatan dengan suku itu, mereka memastikan kelangsungan hidup mereka. Karena frekuensi penangkapan ini, capture bonding berkembang menjadi salah satu sifat adaptif dalam populasi manusia.
ADVERTISEMENT
Kepribadian mereka mengembangkan perasaan dan pikiran yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dari situasi tersebut serta menurunkan risiko fisik dan emosional mereka. Untuk bertahan hidup, tujuannya menjadi untuk mengantisipasi apa pun yang dapat mengakibatkan ledakan amarah sang pelaku dan menghindarinya dengan cara apa pun sehingga sang korban menjadi sibuk dengan kebutuhan, keinginan, dan kebiasaan sang pelaku.
Ternyata teman-teman, sindrom ini didorong dalam situasi kejahatan yang berbahaya karena dapat meningkatkan peluang para sandera untuk bertahan hidup tetapi mereka yang mengalaminya biasanya tidak terlalu kooperatif selama penyelamatan atau penuntutan. Hal ini dapat dilihat melalui hal-hal yang ada di sekitar kita, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di mana seorang korban. Dikutip dari CNN Indonesia, kasus Lesti Kejora dapat dikaitkan dengan stockholm syndrome. Meski sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Lesti diketahui mencabut tuntutan KDRT yang dilakukan oleh suaminya demi memperbaiki kondisi rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Diagnosa dan Akibat
Dikutip dari (Namnyak et al., 2007), meski dikenal oleh khalayak umum, stockholm syndrome merupakan definisi deskriptif dari pola mengatasi situasi traumatis dibandingkan kategori diagnostik. Kebanyakan psikiater akan menggunakan kriteria diagnostik gangguan stres akut atau post-traumatic stress disorder (PTSD) saat mengevaluasi seseorang dengan stockholm syndrome.
Dikutip dari (Guze, 1995) yang meninjau buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), seperti sindrom lainnya, stockholm syndrome juga memiliki gejala. Orang dengan stockholm syndrome melaporkan gejala yang sama dengan yang didiagnosis dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). Gejalanya adalah:
Selain gejala-gejala sebelumnya, adapun gejala lain yang juga ditemukan pada orang yang memiliki stockholm syndrome. Gejalanya adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan stockholm syndrome secara instan. Beberapa pasien diberikan obat anti kecemasan atau resep lain untuk membantu mereka mengatasi kegugupan dan kecemasan mereka. Perawatannya sama dengan PTSD, yang merupakan kombinasi untuk gangguan tidur jangka pendek dan psikoterapi untuk gejala jangka panjang.
Terapi kelompok adalah metode yang sering digunakan. Korban akan belajar menghadapi emosi mereka dan membentuk hubungan baru dengan orang lain yang telah melalui situasi serupa. Mereka akan belajar menghadapi masa kini dan beralih dari stockholm syndrome. Terapi keluarga juga merupakan terapi umum lainnya di mana para korban akan secara terbuka membicarakan perasaan dan kekhawatiran mereka terhadap keluarga mereka, sehingga keluarga mereka dapat memiliki gagasan yang lebih baik tentang bagaimana cara membantu mereka.
ADVERTISEMENT
Paradoks dalam Kacamata Psikologis
Apakah teman-teman mengetahui meski dikenal oleh khalayak umum, stockholm syndrome merupakan definisi deskriptif dari pola mengatasi situasi traumatis dibandingkan kategori diagnostik? Diketahui bahwa orang dengan stockholm syndrome melaporkan gejala yang sama dengan yang didiagnosis dengan PTSD, perawatan stockholm syndrome sama dengan PTSD, dan evaluasi stockholm syndrome yang sama dengan PTSD. Mari kita simak poin-poin tersebut.
Menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), seperti sindrom lainnya, stockholm syndrome juga memiliki gejala. Meski demikian, orang-orang dengan stockholm syndrome melaporkan gejala yang sama dengan gejala-gejala PTSD. Gejala-gejala yang sama dengan yang didiagnosis dengan PTSD di antaranya adalah insomnia, mimpi buruk, mudah merasa gelisah, ketidakpercayaan, serta beberapa gejala PTSD lainnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan stockholm syndrome secara instan. Perawatannya sama dengan PTSD, terutama kombinasi untuk gangguan tidur jangka pendek dan psikoterapi untuk gejala jangka panjang. Beberapa pasien juga diberikan obat anti kecemasan atau resep lainnya untuk membantu mereka mengatasi kegugupan dan kecemasan mereka.
Kebanyakan psikiater akan menggunakan kriteria diagnostik gangguan stres akut atau post-traumatic stress disorder (PTSD) saat mengevaluasi seseorang dengan stockholm syndrome. Kepribadian mereka mengembangkan perasaan dan pikiran yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dari situasi traumatis serta menurunkan risiko fisik dan emosional mereka.
Menarik bukan? Teman-teman sekarang mengetahui bahwa stockholm syndome merupakan definisi deskriptif dari pola mengatasi situasi traumatis dibandingkan kategori diagnostik. Telah dibuktikan bahwa stockholm syndrome memiliki gejala yang sama dengan PTSD, memiliki perawatan yang sama dengan PTSD, serta memiliki kriteria evaluasi yang sama dengan PTSD. Dapat disimpulkan bahwa stockholm syndrome bukan merupakan kriteria diagnostik, melainkan sebuah pola perilaku yang masuk ke dalam naungan post-traumatic stress disorder (PTSD).
ADVERTISEMENT
Referensi:
Guze, S. B. (1995). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed. (DSM-IV). American Journal of Psychiatry, 152(8), 1228–1228. https://doi.org/10.1176/ajp.152.8.1228
Logan, M. (2017, November 14). Stockholm syndrome: Held hostage by the one you love.
Nair, M. . S. (2015). Stockholm syndrome - a self delusive survival strategy. International Journal of Advanced Research, 3(11), 385–388.
Namnyak, M., Tufton, N., Szekely, R., Toal, M., Worboys, S., & Sampson, E. L. (2007). Stockholm syndrome: psychiatric diagnosis or urban myth? Acta Psychiatrica Scandinavica, 0(0), 071120024945001-??? https://doi.org/10.1111/j.1600-0447.2007.01112.x