Konten dari Pengguna

Konflik antara China dan Taiwan: Penolakan Pengimplementasian One China Policy

Dimas Aryo Wibowo
Taking international relations undergraduate program, In Gadjah Mada University, Dimas (19) is a passionate student with concern in socio-political and education issues.
25 Juni 2024 7:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Aryo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolase foto: Bendera China dan Taiwan. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Kolase foto: Bendera China dan Taiwan. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik antara China dan Taiwan dalam beberapa dekade terakhir dipengaruhi besar oleh kehadiran sebuah prinsip yang dibuat oleh pemerintah China, yaitu One China Policy. Melekat dengan kepentingan nasional China, One China Policy merupakan sebuah prinsip yang menekankan bahwa hanya ada satu pemerintahan bagi rakyat China, yaitu Republik Rakyat China.
ADVERTISEMENT
One China Policy dibuat agar terjadi sebuah reunifikasi antara pulau utama China dan Taiwan. One China Policy menegaskan bahwa Taiwan merupakan sebuah bagian dari Pemerintahan Republik Rakyat China. Namun, melekat dengan posisi realis, penulis melihat bahwa adanya tindakan yang dilakukan China terhadap Taiwan bersifat agresif dalam percobaan reunifikasi.
Maka dari itu, tulisan ini akan fokus pada tindakan China yang memaksa reunifikasi dengan Taiwan. Lebih lanjut, dengan pendekatan realisme, penulis akan mengkaji ulang bagaimana respons dan interaksi antara China dan Taiwan dalam pengimplementasian One China Policy.
Dalam studi politik internasional, terdapat berbagai teori yang dapat menjelaskan kondisi perpolitikan internasional. Salah satu dari landasan teori politik internasional adalah teori realisme. Teori realisme menekankan bahwa aktor negara sebagai aktor tunggal dalam sistem internasional yang bersifat anarkis (Morgenthau, 1948). Realisme menekankan pada kepentingan nasional setiap negara yang berusaha untuk bertahan di komunitas internasional.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa instrumen yang mendukung tindakan negara dalam politik internasional. Salah satu instrumen tersebut adalah kekuatan militer. Dalam teori realisme, kekuatan militer digunakan sebagai instrumen bertahan di sistem internasional anarki. Dalam sistem anarki, negara dituntut untuk bertahan dan tidak mempercayai aktor lain demi mencapai kepentingan nasionalnya.

Pengimplementasian One China Policy: Penolakan Reunifikasi Taiwan

Sebagai sebuah negara demokrasi, Taiwan memiliki perbedaan ideologi dengan China yang memiliki ideologi komunis. Taiwan menolak keras atas pengimplementasian prinsip One China Policy yang digunakan China sebagai dasar reunifikasi Taiwan dan China. China menganggap bahwa Taiwan merupakan salah satu bagian dari wilayah China. Namun, Taiwan menyatakan bahwa Taiwan merupakan sebuah negara yang berkedaulatan.
China merespons pernyataan Taiwan tersebut dengan penolakan pengakuan bahwa Taiwan merupakan sebuah negara yang berkedaulatan dan China tidak menganggap Taiwan sebagai sebuah negara di kancah internasional. Dalam kajian realisme, One China Policy dianggap sebagai sebuah instrumen China demi menjalankan kepentingan nasional untuk reunifikasi dengan Taiwan. Maka dari itu, China menolak untuk menganggap Taiwan sebagai sebuah negara yang berdaulat demi menjalankan kepentingan nasionalnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, Ketegangan Taiwan dan China pecah menjadi sebuah konflik. Pecahnya konflik tersebut berawal dari tindakan agresif militer China di perairan Laut China Selatan. Sejalan dengan teori realisme, China menggunakan kekuatan militernya sebagai bentuk ancaman terhadap posisi Taiwan.
Adanya ketimpangan kekuatan antara China dan Taiwan membuat posisi China lebih diuntungkan dalam perubahan status quo yang ada. Perubahan status quo tersebut ditujukan untuk menekan dan mengancam tindakan Taiwan yang masih bersikeras untuk mempertahankan status negara berkedaulatannya.
Selain itu, tekanan ekonomi juga diberikan China terhadap komunitas internasional. China menyatakan bahwa China tidak akan bekerja sama secara ekonomi dengan negara yang mengakui kedaulatan Taiwan. Dengan begitu, China dapat mencegah terjadinya sebuah legitimasi komunitas internasional terhadap Taiwan melalui kerja sama ekonomi.
ADVERTISEMENT

Pengimplementasian One China Policy: Respons dan Interaksi saat Konflik.

Dalam pengeimplementasian One China Policy di kancah internasional, China memberikan sebuah pernyataan bahwa China menolak bekerja sama untuk negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan. Selain itu, China menyebarkan pasukan dan kekuatan militer di daerah perairan Laut China Selatan. Hal tersebut ditujukan untuk mengisolasi Taiwan dari adanya pengakuan resmi dari komunitas internasional terhadap kedaulatan Taiwan.
China menggunakan hard power and soft power-nya untuk menekan komunitas internasional agar tidak mengakui Taiwan sebagai negara resmi. Dengan begitu, secara tidak langsung, One China Policy memaksa negara-negara lain untuk tidak memiliki hubungan resmi dengan Taiwan.
Dengan berbagai tekanan yang diberikan China, Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen membuat beberapa pendekatan, seperti small states diplomacy and diplomatic recognition (Ahzani, 2021). Dalam pendekatan small state diplomacy, Taiwan memanfaatkan geostrategic position untuk meningkatkan hard power yang dimiliki Taiwan, khususnya di bidang ekonomi. Taiwan memiliki keunggulan dalam beberapa sektor akibat geostrategic position, seperti jasa, agrikultur, dan industri.
ADVERTISEMENT
Dalam pendekatan diplomatic recognition, Taiwan memiliki fokus untuk diakui sebagai negara yang berkedaulatan. Taiwan memberikan bantuan-bantuan, seperti aid packaging kepada negara yang menjadi hubungan diplomatik dengan Taiwan. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa negara-negara yang menjalin hubungan dengan Taiwan adalah negara berkembang dan lemah dalam posisi politik internasional.
Maka dari itu, dalam diplomatic recognition, Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Amerika, Donald Trump, untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Taiwan. Trump dan Tsai Ing-wen bersama-sama untuk mengangkat profil demokrasi Taiwan di lingkup internasional (D.P. Chen, 2019, p. 252)
Secara garis besar, tulisan ini ingin menggarisbawahi beberapa hal. Pertama, Prinsip One China Policy untuk melakukan reunifikasi menyebabkan konflik yang berkepanjangan antara China dan Taiwan. China memberikan tekanan melalui berbagai pendekatan, seperti soft power and hard power-nya untuk mengisolasi posisi Taiwan di komunitas internasional. Demi menjalankan kepentingan nasionalnya, China telah melakukan berbagai cara paksaan untuk reunifikasi China dan Taiwan. Akan tetapi, Taiwan sebagai negara berkedaulatan tetap mempertahankan statusnya melalui berbagai pendekatan. Sejalan dengan posisi realisme, China dan Taiwan sama-sama bertahan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. China memiliki kepentingan untuk melakukan reunifikasi dengan Taiwan. Sedangkan, Taiwan memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
ADVERTISEMENT