Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Sepak Bola, Fiksi, dan Identitas
11 Desember 2020 5:28 WIB
Tulisan dari Dimas Pardede Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Kekerasan dalam Sepak Bola](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1607586359/wurxro5jrubelvbvtpqv.jpg)
ADVERTISEMENT
Kemarin sore diadakan pertandingan uji tanding sepak bola di kampung. Saya menjadi partisipan sebagai pemain salah satu tim dalam uji tanding tersebut. Uji tanding tersebut disaksikan banyak penonton dari semua kalangan mulai dari belia, sampai lansia.
ADVERTISEMENT
Di akhir pertandingan terjadi suatu insiden, salah satu pemain melanggar dengan keras pemain yang satu tim dengan saya, sontak kejadian tersebut memantik amarah para penonton yang mendukung tim saya.
Tak berselang lama penonton tim lawan pun terpancing, entah karena merasa tersinggung dengan cemoohan pendukung tim saya atau karena salah satu teman saya melakukan selebrasi yang berlebihan.
Di akhir pertandingan terjadilah adu mulut antar kedua belah pihak penonton dan keributan yang cukup mengundang perhatian orang banyak. Akhirnya saya bertanya-tanya mengapa penonton itu saling adu mulut bahkan adu tangan, hanya karena sepak bola?
Secara historis sepak bola adalah olahraga atau permainan menendang bola, dimulai sejak abad ke-2 dan ke-3 sebelum masehi di Tiongkok. Pada masa Dinasti Han tersebut, masyarakat menggiring bola kulit dengan menendang dan mengarahkannya ke jaring kecil. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan kemari.
ADVERTISEMENT
Dan di Itali juga melakukan permainan yang sama dengan menendang dan membawa bola menuju jaring kecil yang mulai digemari abad ke-16. Kemudian mulai masuk ke tanah Inggris, sepakbola dibuatkan beberapa peraturan. Salah satunya yaitu peraturan jumlah pemain di mana sebelumnya tidak ada jumlah orang per-tim menjadi 11 orang per-tim. Itulah awal sepak bola modern.
Lalu saya pun bertanya-tanya apakah benar sepakbola hanya sekadar menggiring bola kulit menuju jaring? Dengan apa yang saya saksikan secara langsung, di mana banyak sekali individu-individu atau komunitas-komunitas terlibat dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Parahnya lagi bahkan sampai ada yang rela menumbalkan dirinya hanya untuk sepakbola atau tim kebanggaan yang memicu rivalitas-rivalitas antar penonton—di era sekarang disebut supporter.
ADVERTISEMENT
Dengan terjadinya peristiwa yang saya sebut di muka, saya kira sepak bola bukan sekadar permainan dan olahraga, bahkan bukan hanya kemenangan dan kekalahan dalam suatu kompetisi tertentu. Terlebih saya kira, sebagai hiburan sepakbola adalah fiksi. Dan pada titik tertentu sepakbola adalah lapangan pelekatan dan bertarungnya identitas.
Ketika membaca Sapiens yang ditulis Harari, saya menemukan bahwa dunia sesungguhnya dibagi menjadi dua: yang pertama dunia materiel dan yang kedua adalah dunia fiksi. Dunia materiel meliputi segala sesuatu yang bisa ditangkap secara empiris. Sedangkan dunia fiksi adalah produk dari pikiran dan imajinasi. Seperti ideologi, negara, nilai uang, kepercayaan, dan tentu saja tim sepak bola. Siapa yang akan rugi jika Liverpool bangkrut? Siapa yang akan bersedih jika Messi pindah ke Manchester City? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut mungkin sama saja jawabannya.
ADVERTISEMENT
Begini: yang akan rugi dan bersedih adalah mereka yang memiliki ikatan psikologis terhadap tim dan pemain tersebut. Bukan Liverpool maupun Manchester City karena mereka berada pada ranah lain, yakni dunia fiksi.
Lebih lanjut, Harari menulis bahwa fiksi adalah kekuatan Homo Sapiens. Karena fiksilah mereka dapat mendominasi bumi. Mengalahkan mahluk hidup dan dan spesies lain. Dengan menciptakan fiksi (ideologi, negara, nilai uang, tim sepak bola atau lainnya), mereka bisa menggerakkan peradaban dan membuat hidup lebih kooperatif.
Menjadi mudah untuk dipahami mengapa sepak bola kini menjadi olahraga nomor satu di dunia. Dinikmati semua kalangan mulai dari anak muda sampai orang lanjut usia. Sepak bola menjadi sesuatu yang menarik karena kompleksitasnya. Sepak bola menjadi tempat hiburan, ladang subur kapitalisme, sampai sebuah gerakan politik. Pengibaran bendera Palestina yang dilakukan suporter Glasgow Celtic ketika melawan Hapoel Be’er Sheva (tim sepakbola asal Israel) adalah contoh yang baik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, untuk membahas identitas dalam sepakbola, saya mengutip Amartya Sen. Melalui buku Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas, ia menjelaskan bahwa identitas bukanlah hal tunggal, mutlak, dan statis, Melainkan sesuatu yang menjemuk dan dinamis.
Sebagai contoh, semisal saya adalah lelaki, sekaligus pecinta sastra, freelance monotheits, pendukung Liverpool, heteroseksual, pendukung gerekan gerakan feminis, dan lain-lain. Di sinilah identitas dipahami sebagai pemicu konflik sekaligus, bahkan, bahan bakar akan terciptanya persatuan yang buta.
Menurut pendapat tersebut, saya akan berspekulasi misalnya, apa yang perlu dipahami di sini sebagai pendukung Liverpool adalah bahwa itu bukan satu-satunya identitas yang melekat dalam diri saya. Melainkan satu dari beratus macam identitas yang saya miliki. Di dalam saya masih ada saya yang lain. Dengan menyadarinya saya akan paham bahwa kekalahan Liverpool tidak akan benar-benar membuat saya sedih, atau bahkan mengubah hidup saya di kemudian hari. Lebih jauh, saya akan terlepas dari kecintaan buta terhadap Liverpool. Toh, bukankah kecintaan seorang terhadap tim kebanggaannya hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan?
ADVERTISEMENT
Kecintaan seseorang terhadap tim kebanggaan bukanlah sebuah masalah. Tapi jika kecintaan tersebut, alih-alih sebagai bentuk support, malah berujung pada rivalitas dengan pendukung lain adalah sebuah masalah.
Seorang akan terjebak fanatisme buta dan menganggap tim kebanggaannya adalah berhala. Tidak bisa didiskusikan. Pada akhirnya, yang akan terjadi hanyalah penyembahan dan semangat destruktif yang parahnya lagi dapat mengakibatkan kematian.
Publik tanah air dikejutkan dengan kematian salah-satu suporter Persija Jakarta akibat dikeroyok massa yang diduga suporter Persib Bandung di halaman Stadion Gelora Bandung Lautan Api tahun 2018. Dan ini terus berulang.
Sangat disayangkan jika kecintaan seseorang terhadap tim kebanggaannya malah berakibat pada sebuah kematian. Yang mana kita tahu bahwa itu merupakan fondasi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, apa yang perlu dilakukan adalah kampanye sepakbola humanis. Dalam arti memandang siapa pun yang memiliki ikatan terhadap sepakbola bukan sebagai identitas terakhir, melainkan gabungan dari identitas yang sangat perlu dihargai.
Selanjutnya, saya akan mengutip Mahfud Ikhwan dalam Sepak Bola Tak Akan Pulang, “Jangan pernah berharap mengambil kembali bola yang sudah kadung menggelinding itu. Jangan pernah mengharapkannya kembali.”