Melihat Lebih Dekat Ketidakberdayaan Perempuan di Papua New Guinea

Dimas Hayon
Mahasiwa Prodi Hubungan Internasional - Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Februari 2024 17:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Hayon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan dan Laki-laki di Papua New Guinea. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan dan Laki-laki di Papua New Guinea. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam konteks masyarakat yang menganut sistem patriarki, pembedaan tugas dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sangat jelas terlihat. Terdapat normalisasi identitas yang acapkali mendiskreditkan perempuan. Padahal sejatinya, perempuan dan laki-laki sederajat sehingga tidak ada kelas dan sekat antara satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, situasi di lingkungan tempat tinggal seringkali berbeda dari yang diharapkan. Laki-laki jadi pihak yang lebih berkuasa sementara perempuan adalah objek yang dikuasai. Ada bineritas yang terlihat di sana bahwa yang kuat adalah laki-laki dan yang lemah adalah perempuan.
Buku Feminism & Masculinities karya Peter F. Murphy, menerangkan satu istilah dalam masyarakat patriarkial yakni model heteroseksual. Model ini mengagungkan laki-laki. Mereka dilihat sebagai penentu identitas manusia.
Bahwa laki-laki diprogram oleh budaya untuk merujuk secara ekslusif kepada laki-laki lain untuk validasi harga diri mereka. Di bawah patriarki, norma budaya identitas laki-laki terdiri dari kekuasaan, prestige, hak istimewa, dan hak prerogatif atas dan melawan kelas gender perempuan. Itulah maskulinitas yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Atas dasar inilah, seluruh wilayah yang menganut sistem patriarki cenderung bersikap tidak adil terhadap perempuan. Faktanya jelas bisa kita lihat di Papua New Guinea. Rasa-rasanya perempuan di sana menyesal telah lahir sebagai manusia dan lebih-lebih sebagai seorang perempuan setelah apa yang mereka terima sebagai bentuk kekerasan.
Data dari UN Women Asia dan Pasifik (2022) menerangkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan tertinggi di dunia ada di Papua Nugini dengan 58% perempuan mengalami kekerasan dalam hidup mereka. Laporan dari Human Rights Watch tahun 2021 juga mencatat bahwa Papua New Guinea adalah tempat paling berbahaya di kawasan ini bagi perempuan dan anak perempuan.
Kerentanan perempuan dan anak perempuan di sana cukup memprihatinkan karena tingginya angka pemerkosaan, pelecehan seksual, kawin paksa, adat-istiadat dan warisan kolonial yang diperkuat oleh institusi yang lemah, buruknya pelayanan publik, dan praktik-praktik berbahaya lainnya. Secara umum, perempuan di sana tidak dapat bertindak secara seimbang juga untuk menentang perilaku laki-laki terhadap mereka karena mereka akan mengalami kekerasan yang lebih ekstrem lagi daripada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks patriarki, kekristenan di Papua Nugini yang secara historis menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan mempunyai wewenang tertinggi dalam pengambilan keputusan. Beberapa kepala keluarga menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk mengharapkan ketaatan, mendisiplin anggota keluarga.
Di sisi lain, gereja-gereja mendukung otoritas patriarki tetapi tidak dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sikap ini mau menyadarkan laki-laki bahwa perempuan bukan untuk “dikuasai” tetapi mesti hidup saling berdampingan secara baik .
Fakta ini mau menunjukkan bahwa hari-hari ini, kekerasan terhadap perempuan masih masif terjadi. Apalagi hal ini didukung oleh sistem adat yang mengesampingkan kesetaraan gender.
Misalnya tradisi pernikahan yang masih kental di Papua Nugini ialah mahar atau mas kawin. Kebanyakan pernikahan harus tertunda karena sebagian besar kebudayaan jika keluarga laki-laki tidak membayar mahar maka tidak bisa masuk pada kesepakatan untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Mahar biasanya ditentukan oleh keluarga mempelai wanita dan dapat diberikan dalam bentuk uang atau barang lainnya. Budaya ini secara tidak langsung “mendiskreditkan” perempuan karena pernikahan lebih bersifat transaksional.
Alhasil, setelah menikah, laki-laki bebas melakukan apa saja karena menganggap perempuan sudah “dibeli” dan secara sah sudah berpisah dari keluarganya. Padahal konsep pernikahan dengan mahar tidak demikian maksudnya.
Pemberian mahar dalam konteks pernikahan lebih merupakan bentuk penghormatan dari mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita yang telah menjaga dan membesarkannya. Selain itu, mahar juga sebagai bentuk pertalian keluarga antara laki-laki dan perempuan.
Cara pandang ini yang seharusnya ada pada masyarakat di Papua Nugini. Jika tidak demikian, maka kasus kekerasan terhadap perempuan akan terus ada karena pemahaman yang keliru terkait pernikahan.
ADVERTISEMENT
Di Papua New Guinea, banyak kekerasan yang dilayangkan kepada perempuan secara seksual menyebabkan banyak perempuan dan anak perempuan terinfeksi HIV dan harus bertahan hidup dalam kondisi seperti itu sepanjang hidupnya. Di luar perkawinan, kekerasan secara seksual sangat tinggi dan rentan terjadi. Ini perlu diperhatikan secara serius oleh semua pihak termasuk masyarakat internasional.
Gerakan kepedulian dari organisasi internasional seperti UN Women terus dilakukan tetapi belum memberi dampak yang luas. Hal ini dilihat dari persentase tingginya kekerasan terhadap perempuan yang masih terjadi di Papua New Guinea.
Oleh karena itu, perlu lebih banyak lagi melibatkan sejumlah komponen seperti pemerintah, organisasi internasional, LSM dan masyarakat internasional untuk memberi perhatian khusus terhadap persoalan ini agar perempuan mendapatkan kehidupan yang lebih layak sebagai manusia dan lebih-lebih sebagai seorang perempuan.
ADVERTISEMENT