Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Polemik Pakta Keamanan Kepulauan Solomon-Tiongkok di Kawasan Asia Pasifik
29 Februari 2024 13:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dimas Hayon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kepulauan Solomon telah lama mengahadapi beberapa konflik internal yang memengaruhi pembangunan negara seperti kekerasan etnis, lemahnya institusi negara, korupsi dan meningkatnya kejahatan. Kepulauan yang terletak di antara Papua Nugini dan Vanuatu ini membutuhkan “pertolongan” lebih untuk mengatasi persoalan internal mereka. Terhadap kepentingan ini, Tiongkok berhasil hadir dan memenuhi apa yang dibutuhkan negara tersebut. Melalui “Belt and Road” khas Tiongkok, arah pembangunan ditujukan untuk membangun pelabuhan, jalan raya, pembangkit listrik, stasiun dan infrastruktur lainnya yang dibiayai melalui pinjaman Tiongkok. Beberapa hal yang sudah dibuat ialah Kepulauan Solomon mendapatkan pinjaman sebesar $66 juta dari Exim Bank of China untuk mendirikan 161 menara seluler yang dibangun oleh rakrasa komunikasi Tiongkok, Huawei. Selain itu, Tiongkok juga membangun fasilitas di kepulauan tersebut untuk menjadi tuan rumah Pacific Island Games 2023.
ADVERTISEMENT
Ketika berurusan dengan Tiongkok, daya tarik yang diperlihatkan ialah hal-hal yang menarik, cepat, dan nyata. Ini menjadi kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di wilayah Pasifik. Sebut saja, Australia yang sudah menjalin hubungan dengan Kepulauan Solomon tetapi lambat dan membosankan -kendati bermaksud baik- dalam implementasi program-program kerja yang telah disepakati. Selain itu, proyek pembangunan yang ditawarkan pihak Australia tidak responsif dan adaptif terhadap prioritas local, padahal Solomon membutuhkan banyak bantuan dalam menangani persoalan dalam negeri. Hal ini juga menjadi penyebab bergesernya perubahan hubungan kerja sama Solomon yang merasa perlu mendiversifikasi hubungan mereka dengan mitra yang lain sebagai bagian dari pengelolaan kedaulatan negara mereka demi kepentingan nasional.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare telah mengalihkan pengakuan resminya pada tahun 2019 ke Beijing dari Taiwan. Kedua negara telah resmi menandatangani perjanjian keamanan rahasia pada tahun 2022 yang mungkin memberi kesempatan bagi pasukan militer untuk hadir di Pasifik Selatan. Perubahan arah hubungan luar negeri ini sontak membuat banyak masyarakat menentang hal tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah negara di Kepulauan Pasifik seperti Australia, Amerika Serikat, dan Selandia Baru pun secara vokal menolak kerja sama tersebut karena melihat adanya ancaman terhadap keamanan di kawasan Pasifik.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Perdana Menteri Kepulauan Solomo membela pakta tersebut. Menurutnya, kerja sama ini dipandu oleh kepentingan nasional negara mereka. Lebih lanjut, Tiongkok menyampaikan bahwa perjanjian tersebut sebagai “pertukaran dan kerja sama normal antara dua negara berdaulat dan independen.” Tetapi, pernyataan yang berbeda disampaikan pemimpin oposisi Mattew Wale terkait pakta kerja sama keamanan ini. Menurutnya, kesepakatan ini memberikan peluang dan kesem
patan pada sikap militer Tiongkok dan tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional Kepulauan Solomon. Jadi, kehadiran Tiongkok akan memberikan ancaman bagi situasi geopolitik kawasan Pasifik.
Terlepas dari kompleksitas persoalan yang terjadi di wilayah tersebut, yang jelas ialah semua kekuatan, baik itu Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Tiongkok sama-sama membawa misi kepentingan untuk negara mereka masing-masing di wilayah Pasifik. Amerika Serikat akan selalu ingin menjadi yang terkuat dan terdepan dalam berbagai sisi seperti militer dan ekonomi sehingga kehadiran Tiongkok dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap mereka. Tidak heran jika segala upaya akan dikerahkan untuk menjaga kestabilan di kawasan Pasifik agar tetap eksis sebagai negara super power. Di sisi lain, Tiongkok dengan “Belt and Road” terus menggurita ke hampir seluruh wilayah “strategis” dan menguntungkan bagi mereka guna mencapai kepentingan nasionanya. Solomon perlu juga berhati-hati ketika menjalin kerja sama dengan Tiongkok. Pasalnya mereka tidak memberi pengurangan terhadap pinjaman yang sudah diberikan dan itu bisa jadi adalah bumerang bagi Solomon sendiri. Sementara Australia, yang adalah perwakilan AS di Pasifik dan memiliki rekam jejak konflik dengan Tiongkok, merasa kehadiran mereka adalah suatu persoalan baru karena mengancam stabilitas kawasan tersebut. Bahkan Menteri Pertahanan Australia, Petter Dutton menyatakan bahwa rakyatnya harus “bersiap menghadapi perang” untuk melawan tindakan Tiongkok di wilayah tersebut. Hal ini secara jelas menunjukkan bagaimana kehadiran Tiongkok sangat mengganggu ketentraman negara-negara sekitar Solomon. Sementara itu, Selandia Baru menyampaikan kekhawatirannya bahwasannya kemungkinan Tiongkok mendirikan pos militer di Pasifik terbuka lebar dan itu sangat membahayakan dan mengancam kestabilan wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Fakta yang terjadi di atas, punya korelasi yang erat dengan teori realisme dalam hubungan internasional. Teori ini menyatatakan bahwa dalam negara, faktor yang paling diutamakan ialah militer. Argumentasi yang diutarakan ialah negara secara alami akan membangun kekuatan untuk bisa bertahan hidup. Melalui kepentingan nasional, kekuatan nasional, kedaulatan negara dan politik luar negeri, negara bisa mempertahankan kekuasaan. Negara-negara yang membawa misi kepentingan nasional selalu juga membawa kepentingan untuk kekuasaan. Semua hal ini bisa dilihat dari bagaimana negara berperilaku.
Dalam persoalan ini, negara-negara sekitar Solomon mesti memiliki strategi untuk merespon negara yang punya power. Teori yang dipakai ialah Balance of Threat di mana perilaku suatu negara ditentukan oleh ancaman yang mereka rasakan dari negara lain. Beberapa strategi yang ditawarkan dari teori ini ialah Soft Balancing. Negara-negara sekitar membuat alinsi secara diam-diam untuk peningkatan senjata. Strategi yang lain ialah Hard Balancing. Negara-negara membuat aliansi dan meningkatkan kekuatan untuk bersaing. Strategi berikutnya ialah Bandwagoning. Strategi ini dilakukan negara lemah dengan memilih musuh teman yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Penulis lebih memihak pada strategi Bandwagoning di mana negara-negara sekitar sebaiknya memilih musuh Tiongkok yakni Amerika Serikat. Tujuannya agar urusan terkait peningkatan keamanan, persenjataan dan militer bisa disuplai langsung oleh Amerika Serikat. Dengan demikian, ada kemungkinan terjadi “balance of power.” Dengan adanya kekuatan yang berimbang, perang tidak akan terjadi meskipun terjadi konflik. Mengapa demikian? Karena negara akan mempertimbangkan kekuatan lawan sehingga tidak dapat menciptakan perang. Negara tidak akan menjadi predator terhadap negara lainnya. Stabilitas di wilayah Pasifik yang diharapkan terjadi, dapat terealisasi jika strategi dari Balance of Threat diterapkan.
Menarik untuk dinanti strategi yang akan dilakukan oleh Tiongkok, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan negara-negara di kawasan Pasifik lainnya. Kita tentu ingin melihat perdamaian dan kestabilan di kawasan Pasifik. Oleh karena itu, logika si vis pacem para bellum! (jika ingin perdamaian, maka bersiap-siaplah untuk berperang!) tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk berperang. Karena peperangan tidak menciptakan perdamaian melainkan kehancuran.
ADVERTISEMENT