Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ultra Petita: Pengekang Kebebasan Hakim dalam Mewujudkan Keadilan
30 April 2025 17:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dimas Indrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut”, bunyi Pasal 178 ayat 3 Het Herzien Indonesich Reglement (HIR).

Klaim bahwa Indonesia merupakan negara hukum dapat kita lihat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Pasal ini bermakna bahwa seluruh tindakan negara, baik pemerintah maupun warga negaranya harus bersesuaian dengan segala aturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Begitupun dalam urusan peradilan, pasal ini seringkali menjadi dalih normatif yang memayungi seluruh mekanisme peradilan, termasuk pembatasan-pembatasan formalistik dalam praktik kehakiman.
ADVERTISEMENT
Namun terkadang, hukum yang telah ada tidak mampu menjangkau kebutuhan masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui peradilan, bahkan tidak jarang hukum itu justru bertentangan dengan rasa keadilan substantif yang menjadi tujuan dari peradilan itu sendiri.
Dalam hukum acara perdata, prinsip ultra petita melarang hakim mengabulkan lebih dari apa yang diminta dalam petitum. Ketentuan ini adalah turunan dari prinsip hakim pasif dalam Pasal 178 ayat 3 HIR. Secara teoretis, prinsip ini dimaksudkan untuk membatasi intervensi subjektif hakim, guna menjaga kepastian hukum dan menjaga netralitas peran yudisial.
Namun, batas ini justru sering kali menjadi penghalang serius bagi hakim yang ingin menegakkan keadilan secara menyeluruh dan kontekstual. Ketika hakim mengetahui bahwa penggugat berhak memperoleh sesuatu yang tak disebut dalam petitum, namun tidak dapat mengabulkannya karena terikat asas ini, maka hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan belenggu keadilan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, putusan yang mengandung ultra petita sering dianggap cacat hukum meskipun dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum atau mengisi kekosongan perlindungan hukum. Dalam konteks ini, kesetiaan pada prosedur justru dapat melahirkan ketidakadilan substantif. M. Yahya Harahap, misalnya, menegaskan bahwa pelanggaran terhadap ultra petita adalah pelanggaran terhadap prinsip negara hukum. Tapi apakah negara hukum hanya dimaknai sebatas legalitas prosedural, tanpa mempertimbangkan moralitas hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat?
Dilema antara menaati hukum prosedural atau melanggar hukum demi keadilan substantif menjadi refleksi nyata dari ketegangan antara dua paradigma hukum yang terus berseberangan. Di satu sisi, ada pemikiran legalistik yang konservatif; di sisi lain, ada arus progresif yang menyerukan pembaruan paradigma yudisial.
ADVERTISEMENT
A. Paradigma Formalitas Legalistik
Dalam paradigma ini, hakim dipandang sekadar sebagai pelaksana undang-undang, bukan sebagai subjek kreatif dalam proses peradilan. Fungsi utama hakim adalah menafsir dan menerapkan hukum yang telah ada, tanpa ruang untuk melakukan rechtsvorming (pembentukan hukum). Dengan kata lain, peran hakim dikerdilkan menjadi birokrat hukum yang pasif dan tidak memiliki otoritas moral untuk menyimpang dari prosedur. Dalam kerangka ini, ultra petita bukan sekadar asas, melainkan dogma yang tak boleh diganggu gugat.
Pandangan ini sering bersandar pada kekhawatiran terhadap arbitrariness yudisial. Namun kekhawatiran ini ironis, karena ia justru mengabaikan kompleksitas perkara perdata yang seringkali tidak bisa dijawab dengan formalisme. Satu-satunya ruang yang diakui dalam doktrin ini adalah penerapan petitum subsidair ex aequo et bono, itulah celah kecil yang ditoleransi sistem untuk memungkinkan hakim berpikir di luar literalitas petitum. Tapi apakah ruang itu cukup, ataukah ia justru menjadi pengakuan implisit bahwa sistem ini memang kaku dan tidak memadai?
ADVERTISEMENT
B. Paradigma Progresif-Dinamis
Berbeda dengan pendekatan legalistik, pandangan progresif menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjadi budak teks hukum. Dalam kondisi tertentu, hakim justru wajib melampaui ketentuan prosedural demi menegakkan keadilan substantif. Keadilan, dalam konteks ini, diposisikan sebagai norma tertinggi yang dapat mengoreksi kekakuan norma formal.
Dalam paradigma ini, hakim adalah pencipta hukum (judge made law) ketika hukum tertulis gagal mengakomodasi problematika masyarakat. Hakim progresif tidak terkungkung oleh positivisme hukum yang statis. Ia mampu melihat bahwa hukum tidaklah identik dengan peraturan perundang-undangan, melainkan mencakup nilai, akal sehat, dan keadilan sosial.
Asas ultra petita dalam konteks ini dipandang sebagai batas fiktif yang dapat dan harus diterobos, terutama jika pengabaian terhadap asas tersebut justru membawa pada hasil yang lebih adil dan manusiawi. Argumen ini tidak berdiri sendiri. Ia diperkuat oleh prinsip-prinsip seperti:
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya prinsip ultra petita diposisikan secara kritis yang dapat disesuaikan secara kontekstual, bukan sebagai dogma absolut. Ketika asas ini digunakan secara kaku, ia tidak hanya membatasi ruang gerak hakim, tetapi juga membungkam keadilan substantif yang seharusnya menjadi esensi peradilan.
ADVERTISEMENT
Perlu dilakukan reinterpretasi terhadap prinsip ini, agar tidak menjadi alat pelanggeng ketidakadilan prosedural. Hakim adalah penjaga nurani hukum. Ia bukan sekadar pelayan teks, tetapi penegak nilai. Dan keadilan, dalam negara hukum yang sejati, tidak boleh tunduk pada prosedur yang menutup mata terhadap realitas dan kepentingan hakiki manusia.