Konten dari Pengguna

Ironi di Balik Pembukaan Ekspor Pasir Laut di Indonesia

Dimas Pratama
Mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
14 Oktober 2024 14:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dimas Pratama Wahyu Saputra [email protected] Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya (Fakultas Syariah dan Hukum)
Ilustrasi Laut Indonesia. Sumber : Dimas Pratama Wahyu Saputra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laut Indonesia. Sumber : Dimas Pratama Wahyu Saputra
Belum lama ini ada berita hangat yang banyak diperbincangkan di media sosial yaitu tentang kebijakan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor pasir laut yaitu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut diterbitkan pada Mei 2023, dan diresmikan pada akhir Agustus 2024. Sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan pada masa Presiden Megawati yaitu, kebijakan melarang ekspor pasir laut sejak tahun 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pembukaan kembali keran ekspor pasir laut di nilai sebagai langkah mundur karena sangat beresiko merusak lingkungan dan ekologi laut. Kebijakan ini banyak menuai penolakan penolakan dari berbagai pihak. Namun, pemerintah tak gentar untuk tetap maju untuk memproses pembukaan kembali kegiatan ekspor pasir laut yang telah dilarang selama 20 tahun lebih.
ADVERTISEMENT
Ekspor Pasir Laut Berisiko Merusak Lingkungan Dampak negatif yang akan muncul seperti terjadinya degradasi termbu karang diakibatkan ekstraksi pasir laut yang mengakibatkan ikan ikan yang ada di Indonesia semakin mengurang, penurunan kualitas air laut yang menyebabkan pencemaran dan perubahan kualitas air yang mengakibatkan banyak ikan mati dan semakin sedikitlah tangkapan para nelayan-nelayan. Selain itu juga bisa memicuh erosi pantai dan mengakibatkan perubahan bentuk garis pantai. Puncak dari semua dampak buruk yang muncul akibat penambangan pasir laut adalah menghilangnya pulau pulau kecil di Indonesia, seperti yang sudah terjadi pada waktu-waktu lalu. Kejadian tersebut ada saat ekspor pasir laut belum dilarang. Begitu sangat berbahaya dan mengancam para masyarakat pesisir laut. Kalaupun kebijakan ekspor pasir laut dimasukkan untuk menambah pendapatan negara, hal ini sangat dinilai tidak tepat. Karena dengan dampak yang sangat mengkhawatirkan tersebut tidak sebanding dengan pendapatan yang sudah di targetkan oleh pemerintah.
Ilustrasi eksploitasi pasir laut. Sumber : https://images.app.goo.gl/W9dPYsXkZRm3vGzQ9 Kritikan Akan Kebijakan Yang Dilakukan Oleh Pemerintahan Jokowi Kritikan yang diberikan kepada pemerintahan atas dibukanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, salah satunya yaitu dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet kerja 2014-2019 yang bernama Susi Pudjiastuti yang tak segan memberikan kritikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Susi menegaskan bahwa pasir laut atau sedimen sangat penting untuk keberadaan masyarakat. “Bila kita mau ambil pasir atau sedimen pakelah untuk meninggikan wilayah Pantura Jawa dan lain-lain yang sudah parah kena abrasi dan sebagian sudah tenggelam, BUKAN DIEKSPOR!! Andai dan semoga yang mulia yang mewakili rakyat Indonesia memahami” kata susi melalui akun X (Twitter) Kamis (19/9). Presiden Jokowi tetap berdalih perizinan ekspor itu diberikan untuk hasil sedimentasi di laut “sekali lagi ini bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya.” Kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa (17/9). Ini adalah salah satu contoh kritikan yang diberikan kepada Presiden Jokowi dan masih banyak lagi kritikan kritikan yang diberikan oleh masyarakat dan para pejabat yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Lalu apa alasan Jokowi mengesahkan kebijakan ini? Walau tujuan dari penerbitan PP 26/2023 adalah untuk pemulihan ekosistem laut, namun pada kenyataannya sebagian besar isi regulasi justru lebih banyak mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir, dari pada pemulihan lingkungan. Sayangnya, sampai saat ini belum terlihat bagaimana upaya dari pemerintah untuk mewujudkan pemulihan lingkungan yang menjadi tujuan utama dari PP tersebut. Sebaliknya, publik diperlihatkan aturan-aturan baru yang justru semakin memuluskan kegiatan ekspor pasir laut.
Ilustrasi Politik Oligarki. Sumber : Dimas Pratama Wahyu Saputra
Teori Politik Oligarki Oligarki adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik dikuasai oleh sekelompok kecil individu atau kelompok yang memiliki kontrol atau dominasi yang signifikan atas sumber daya, kekayaan, atau kekuatan ekonomi. Dalam sistem oligarki, keputusan politik dan kebijakan publik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan agenda dari kelompok yang berkaitan Melihat tentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden Jokowi yang semena-mena mengesahkan kebijakan tanpa melakukan riset dan tanpa mendengarkan pendapat dari kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dan berkaitan dengan kelautan seperti mentri kelautan dan para kelompok yang berkaitan dengan lingkungan alamseperti geologi dasar laut. Jokowi telah melakukan dan menjalankan politik oligarki yang sangat merugikan negara karena melakukan pengesahan kebijakan tanpa mempertimbangakn hal-hal lain seperti yang sudah di sebutkan diatas tersebut, seakan-akan dalam pemerintahan Jokowi mementingkan kepentingan pribadi yang bertujuan untuk menarik empati dari negara lain seperti Singapura dan seperti ada niat yang terselubung atas dijalankan kebijakan kebijakan ini. Karena banyak kecurigan dibalik pengesahan pembukan Undang-Undang (UU) ekspor pasir laut di Indonesia yang sudah di tentang 20 tahun belakang ini, jika keinginan Jokowi adalah untuk meningkatkan ekonomi di Indonesia, ini tidak relvan dengan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya pengeksploitasian pasir laut di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Simpulan Pembukaan kembali ekspor pasir laut di Indonesia melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 menciptakan ironi besar, mengingat kebijakan sebelumnya yang melarang tindakan tersebut demi melindungi lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan, seperti kerusakan ekosistem laut, penurunan kualitas air, dan potensi hilangnya pulau-pulau kecil, jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan potensi pendapatan yang diharapkan pemerintah. Kritikan dari berbagai pihak dan Kebijakan ini dapat dipahami sebagai refleksi dari praktik oligarki, di mana keputusan diambil tanpa mempertimbangkan saran dari yang lebih faham. Tindakan ini memunculkan pertanyaan tentang niat di balik kebijakan tersebut dan apakah kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi yang diinginkan oleh oleh para pejabat pemerintah