Memahami Konflik di Mali, Misi Perdamaian PBB Paling Mematikan

Dimas Prihadi
Seorang Ayah, Suami dan Diplomat. Saat ini bertugas di Colombo-Sri Lanka yang terakreditasi untuk Maladewa. Sebelumnya pernah bertugas di Afrika.
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2019 9:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Prihadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pasukan MINUSMA meninjau lokasi serangan bersenjata di salah satu wilayah di Mali | Twitter.com/MINUSMA
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan MINUSMA meninjau lokasi serangan bersenjata di salah satu wilayah di Mali | Twitter.com/MINUSMA
ADVERTISEMENT
Mali pernah diagung-agungkan sebagai simbol kebangkitan demokrasi di Afrika serta peninggalan peradaban Islamnya yang sangat tinggi. Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim ini kini diwarnai dengan pertumpahan darah karena konflik bersenjata berkepanjangan antara kelompok pemberontak dan ekstremis jihadis di bagian utara negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan yang berjudul “Fatality Trends in UN Peace Operations” yang diterbitkan oleh lembaga riset asal Swedia, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pada 2015, menyebut Mali sebagai misi perdamaian yang paling mematikan sepanjang sejarah penerjunan Misi Penjaga Perdamaian PBB dengan total jumlah kematian sampai dengan saat ini mencapai 201 personel.
Misi Penjaga Perdamaian PBB yang diterjunkan di bawah MINUSMA (United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali) telah menjadi misi perdamaian terbesar PBB yang mengerahkan hingga 16.084 personel di mana 14 personel asal Indonesia tergabung di dalamnya. Sebuah misi penjaga perdamaian yang berbeda dengan misi perdamaian lainnya karena sebenarnya tidak ada "perdamaian" yang sudah tercipta dan harus dipertahankan.
ADVERTISEMENT

Awal Mula Konflik Bersenjata di Mali

Konflik bersenjata di Mali dimulai pada awal 2012, ketika etnis Tuareg di utara, yang telah lama merasa terpinggirkan, melancarkan pemberontakan dan mendeklarasikan negara merdeka sendiri yang disebut “Azawad”, yang mencakup semua Mali utara. Saat itu pemberontak maju dengan cepat, mengusir tentara Mali yang tidak lengkap dan tidak terorganisir.
Perpecahan di masyarakat dan pemerintahan pun tak terhindarkan. Sekelompok tentara di Bamako menggelar apa yang disebut sebagai "kudeta tak disengaja," berbaris di istana presiden dan mendorong Presiden Amadou Toumani Toure melarikan diri.
Peta Konflik di Mali | Sumber: Twitter.com/AFP
Konflik semakin meningkat, etnis Tuareg mengambil alih hampir dua pertiga dari wilayah Mali. Namun upaya mereka diintervensi oleh kelompok-kelompok Islam bersenjata. Kelompok militan Islam ini berhasil menguasai sebagian Mali utara yaitu Kidal, Gao, dan Timbuktu. Mereka telah memberlakukan hukum Syariah di mana musik dan sepak bola dilarang, dan perempuan harus dipaksa bekerja.
ADVERTISEMENT
Ketika para militan mengancam akan menuju ke Bamako pada awal 2013, Perancis merespons dengan mengirim pasukan (dengan bantuan sekutu Afrika) untuk merebut kembali kendali atas kota-kota utara Mali. Operasi ini dikenal dengan nama “Operasi Serval”. Tetapi, intervensi Perancis ini tidak berhasil menghilangkan konflik. Kelompok-kelompok jihadis hanya mundur ke daerah pedesaan dan bermigrasi ke Mali bagian tengah sejak saat itu.
Pasukan MINUSMA berinteraksi dengan anak-anak setempat | Twitter.com/Minusma
Mereka menyelinap pergi dan mengatur ulang kembali untuk menyerang misi penjaga perdamaian PBB MINUSMA, serta pasukan Mali dan Prancis dan sasaran warga sipil di ibukota Bamako. Berbagai ancaman serangan asimetris melalui bom jalanan dan sasaran yang ditargetkan telah dilancarkan sejak saat itu sehingga memberikan tantangan bagi PBB untuk beradaptasi menghadapi jenis serangan yang relatif baru.
ADVERTISEMENT
Penandatanganan perjanjian perdamaian di Algiers pada Juni 2015 ternyata tidak cukup memperbaiki situasi di Mali. MINUSMA sebagai misi penjaga perdamaian PBB terbesar di dunia belum berhasil mengembalikan otoritas negara. Kelompok-kelompok jihadis telah tumbuh dan menyebar ke Burkina Faso dan Niger, dan konflik-konflik lokal juga telah merebak dengan cara-cara baru dan mematikan.

Aktor-Aktor yang Bertikai

Memahami konflik di Mali tidaklah mudah. Pertama, konflik di Mali sering tumpang tindih karena keterkaitan antara komunitas sosial dan etnis yang berbeda, antara kelompok jihadis dan pemerintah, dan antara kelompok bersenjata yang berbeda seringkali tidak memiliki batas yang jelas. Lebih buruk lagi, konflik bersenjata di Mali sudah diawali dengan konflik berkepanjangan terhadap akses tanah dan air antar berbagai komunitas yang berbeda di Mali.
ADVERTISEMENT
Tantangan lain adalah ada banyak kelompok bersenjata yang beroperasi di wilayah ini, kadang dengan tujuan dan wilayah yang berbeda pula. Bahkan, garis-garis antara kelompok bersenjata “jihadis” dan “non-jihadis” seringkali tidak jelas. Personel pejuang atau "fighter" sering bolak-balik di antara semua jenis kelompok, berdasarkan kondisi geografis atau lokal.
Likuiditas ini telah menyebabkan banyak tuduhan bahwa kelompok bersenjata pro-pemerintah dan sebelumnya separatis atau non-jihad telah berkolaborasi dengan berbagai kelompok jihad.
Pasukan MINUSMA berpatroli di daerah utara Mali | Twitter.com/MINUSMA
Dapat dikatakan bahwa kelompok-kelompok jihadis sebagian besar berusaha untuk menerapkan kembali versi hukum Islam mereka dan mengusir pasukan asing di Mali dengan memanfaatkan ketegangan komunal dan kebencian terhadap pemerintah.
Kelompok jihadis juga mengambil bagian dalam konflik lokal dan kadang-kadang menampilkan diri sebagai “pelindung” komunitas lokal dari serangan, baik Tuareg di utara atau Fulani (secara lokal disebut sebagai Peul) di bagian tengah. Adapun, kelompok-kelompok lainnya, mereka kadang mewakili kepentingan lokal atau komunal, sementara yang lain mempromosikan tujuan politik yang lebih luas, seperti kemerdekaan atau otonomi luas di Mali utara atau pemerintahan baru.
ADVERTISEMENT
Jika melihat para aktor yang menandatangani Perjanjian Algiers pada 2015, aktor-aktor tersebut di antaranya pemerintah Mali, aliansi milisi pro-pemerintah yang dikenal sebagai Plateforme (nama resminya adalah Plateforme des Mouments du 14 Juin 2014 d'Alger) dan Koordinasi Gerakan Azawad (CMA), sebuah koalisi kelompok yang mencakup etnis Arab dan Tuareg, meskipun anggota komunitas lain juga termasuk dalam kelompok ini.
Pasukan MINUSMA melakukan engagement ke komunitas lokal | Twitter.com/Jean-Pierre Lacroix‏
Namun, berbagai perpecahan telah terjadi sejak perjanjian ditandatangani. Kelompok-kelompok lain memboikot perjanjian dan menuntut dilibatkan dalam proses, seperti kelompok des Mouments de l'Entente (CME), serta faksi lain dari Mouvement pour le Salut de l'Azawad (MSA). Berbagai kelompok bersenjata dan milisi lainnya juga menuntut akses ke beberapa manfaat dari perjanjian tersebut, khususnya program Pelucutan Senjata, Demobilisasi, dan Reintegrasi (DDR) yang akan menjamin manfaat ekonomi dan kemungkinan reintegrasi ke dalam pasukan pertahanan dan keamanan Mali.
ADVERTISEMENT
Sampai detik ini, Mali masih terus dihantui dengan rasa tidak aman. Upaya untuk menegakkan hukum juga terkendala karena para hakim takut melakukan investigasi, setelah melihat apa yang dilakukan para jihadis terhadap rekan-rekan mereka. Kelompok jihadis kerap kali melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para hakim. Sebagai gantinya, para jihadis membentuk sistem peradilan paralel yang menghancurkan infrastruktur penegakan hukum di kawasan Mali Utara.
Masjid Agung Djenné, salah satu peninggalan peradaban Islam di Mali | Pixabay.com
Sampai dengan selesainya penugasan penulis pada 2018, setiap upaya untuk memetakan kelompok-kelompok aktor pada dasarnya tidak pasti mengingat perubahan keamanan dan situasi politik yang sedang berlangsung di kawasan ini. Namun, paling tidak melalui artikel ini penulis dapat memberikan sedikit gambaran mengenai aktor-aktor yang berperan dalam konflik di Mali dan apa motivasinya.
Presiden Jokowi akan melepas 970 Pasukan Perdamaian ke Lebanon, Jumat (31/08/2018). (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Selain itu, penulis ingin mengapresiasi peran aktif pemerintah Indonesia yang selalu menerjunkan personel terbaiknya dalam berbagai Misi Penjaga Perdamaian PBB, termasuk MINUSMA di Mali. Pemerintah juga pernah menerjunkan Satuan Tugas Helikopter MI-17 TNI ke Mali pada 2017 dan sebanyak 100 orang personel TNI/Polri juga telah diterjunkan ke Mali pada periode 2015-2017.
ADVERTISEMENT
Mari kita sama-sama doakan semoga rekan-rekan TNI di Mali selalu diberikan keselamatan dan perlindungan oleh Allah SWT. Amin.