Menelusuri Sisi Mistis Praktik Islam di Senegal

Dimas Prihadi
Seorang Ayah, Suami dan Diplomat. Saat ini bertugas di Colombo-Sri Lanka yang terakreditasi untuk Maladewa. Sebelumnya pernah bertugas di Afrika.
Konten dari Pengguna
21 Juli 2019 9:13 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Prihadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mosquee de la divinite. Salah satu masjid di Ibu Kota Dakar yang jamaahnya harus mengenakan pakaian berwarna putih | pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Mosquee de la divinite. Salah satu masjid di Ibu Kota Dakar yang jamaahnya harus mengenakan pakaian berwarna putih | pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta - Mistis. Itulah kesan pertama yang saya rasakan ketika pertama kali mengamati praktik Islam di Senegal. Negara yang terkenal akan kekuatan sepak bolanya itu, ternyata menyimpan banyak cerita yang menarik untuk diketahui khalayak pemerhati sejarah Islam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terletak di ujung paling barat Benua Afrika, Senegal disebut sebagai model demokrasi di Afrika, karena tradisi panjangnya sebagai negara dengan politik dan pemerintahan yang stabil. Sebuah pengecualian memang bagi negara di benua hitam yang sebagian besar negara-negaranya didera aksi kudeta, konflik etnis, dan perang sipil berkepanjangan.
Membaca sejarah stabilitas politik Senegal ternyata tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kuat Sufi Islam atau yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai tariqah. Sufi memainkan peranan penting dalam sejarah awal perjuangan kemerdekaan Senegal dari kolonialisme Prancis. Diinformasikan bahwa pada abad ke-18, banyak penduduk Senegal di pedesaan yang bergabung dengan persaudaraan Sufi sebagai bentuk pergerakan resistensi menentang penjajah Prancis.
Ada empat persaudaraan Sufi terbesar di Senegal: Muridiyyah (50 persen), Tijaniyyah (40 persen), Qadiriyyah (10 persen), dan Layene. Koeksistensi damai empat persaudaraan Sufi inilah yang dipercaya menjadi fondasi stabilitas dan perdamaian di Senegal.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Indonesia, penduduk Senegal mayoritas adalah Muslim (94 persen). Di semua persaudaraan Sufi, para pengikutnya mencari kebenaran tertinggi melalui praktik spiritual dan asketisme. Seorang guru atau "marabout" (dalam bahasa Prancis-Senegal) mengajarkan "tarekat" yang berarti "jalan" kepada muridnya.
Hubungan guru-murid ini berbeda intensitasnya untuk masing-masing persaudaraan. Sufisme umumnya ditandai oleh dialog pribadi yang intens dengan Tuhan, melahirkan puisi dan musik yang indah.
Tidak semua orang Senegal mengidentitaskan dirinya pada keempat Sufi yang ada. Namun, mereka yang menjadi pengikut Sufi didasari bukan oleh sebuah keyakinan, tetapi karena mereka melihatnya sebagai cara yang baik untuk maju dalam kehidupan.

Pengaruh Sufi terhadap Pilihan Politik Rakyat

Secara struktur, persaudaraan Sufi dipimpin oleh seorang marabout besar yang disebut Khalifa General yang masih keturunan langsung dari pendiri Sufi. Tradisi ini pun terus dipertahankan hingga sekarang. Nuansa spiritual terlihat ketika Khalifa mengeluarkan “ndigel” atau perintah, semua pengikutnya pasti akan mengikuti. Tidak hanya ke umatnya, pengaruh Khalifa juga mencapai spektrum politik domestik.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perannya, marabout besar sangat memengaruhi tindakan politik, pola pemilihan, dan perilaku publik; sementara marabout kecil bertugas mengajarkan pembacaan Alquran di sekolah-sekolah Quran yang disebut Daara.
Saya ingat, ketika tahun 2016, Presiden Macky Sall akan mengumumkan referendum perubahan pasal dalam konstitusi terkait masa jabatan presiden. Macky Sall harus “sowan” terlebih dahulu kepada kedua Khalifa General terkuat yaitu Khalifa General Touba (Muridiyyah) dan Khalifa General Tivaouane (Tijaniyyah).
Pengaruh kedua Khalifa ini tidak bisa dianggap sebelah mata, karena merekalah yang dapat menggerakkan pengikutnya untuk memberikan voting Yes atau No pada referendum. Begitu pula dengan pemilu, bakal calon presiden harus dapat mengambil hati kedua Khalifa untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari para pengikut kedua Sufi.
ADVERTISEMENT

Setiap Sufi Memiliki Perayaan Keagamaan Sendiri

Meskipun sama-sama merayakan hari-hari besar keagamaan Islam seperti Idulfitri dan Idul Adha, setiap persaudaraan memiliki perayaan keagamaannya sendiri. Para pengikutnya berziarah setiap tahunnya ke kota sucinya masing-masing.
Perayaan keagamaan terbesar adalah “Magal Touba” yang dilaksanakan di kota suci Touba dan dihadiri oleh jutaan pengikut jemaah Muridiyyah dari seluruh penjuru Senegal dan diasporanya di luar negeri.
Sementara itu, pengikut Tijaniyyah setiap tahunnya memperingati Hari Lahirnya Nabi Muhammad SAW pada bulan Desember melalui perayaan “Gamou de Tivaouane”. Gamou berarti Maulud, sedangkan Tivaouane adalah nama kota suci di Senegal yang terletak di Provinsi Thies yang merupakan the capital of Tijaniyyah.
Meskipun memiliki hari besar keagamaan masing-masing, di antara persaudaraan Sufi tidak ada perselisihan karena persatuan kepercayaan mereka dan pengaruh marabout yang berperan sebagai pemandu spiritual.
ADVERTISEMENT

Kunjungan Pertama ke Kota Suci Tivaouane: Mistis dan Spiritual

Pengaruh Khalifa juga diturunkan ke keluarga batihnya. Garis keturunan langsung Khalifa General tidak hanya menjadi figur yang sangat dihormati di Senegal, tetapi pengaruh spiritualnya sangatlah besar. Fenomena ini saya rasakan ketika berkunjung ke kota sucinya Sufi Tijaniyyah, Tivaouane (96 kilometer dari ibu kota Dakar).
Di sana, saya dan rekan-rekan dari KBRI Dakar berkesempatan melakukan ibadah salat Jumat bersama para putra keturunan langsung Khalifa General Tijaniyyah. Sebuah kehormatan dapat melaksanakan salat dengan para keturunan Malick Sy.
Ketika melaksanakan salat Jumat, nuansa mistis sudah sangat terasa. Di Masjid Agung Tivaouane, terdapat area saf khusus terpisah dari jemaah yang lain, dan hanya diperuntukkan bagi keluarga Khalifa. Di area ini juga terdapat makam pemimpin Tijaniyyah, Malick Sy.
ADVERTISEMENT
Hal yang cukup mengagetkan kami ketika itu, setelah imam salat Jumat mengucapkan salam akhir, seluruh jemaah segera membalikkan badannya ke arah makam sambil mengangkat tangan seperti halnya seorang muslim berdoa. Kami pun lantas mengikuti meskipun kebiasaan ini tidak pernah kami temukan di Indonesia.
Penulis bersama Dubes RI Dakar, Mansyur Pangeran, dan putra-putra Malick Sy, usai melakukan salat Jumat di Masjid Agung Tivaouane | Foto: KBRI Dakar
Keluar dari Masjid Agung, peristiwa bernuansa mistis spiritual kembali terjadi. Masyarakat sekitar langsung berbondong-bondong menghampiri para putra Khalifa untuk meminta doa sambil memberikan uang kepada putra Khalifa yang mendoakan. Tangan kami pun ikut dicium-cium hanya karena kami telah memegang tangan putra-putra Khalifa. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh pengikut Muridiyyah ketika menghadiri perayaan Magal Touba di kota suci Touba.

Berkunjung ke Madinahnya Senegal: Touba

Setiap tahunnya, jemaah Muridiyyah merayakan apa yang mereka sebut sebagai “Magal Touba. Magal dalam Bahasa setempat (Wolof) berarti perayaan, sedangkan Touba adalah kota suci di Senegal tempat lahirnya Muridiyyah. Magal Touba adalah perayaan keagamaan terbesar di Senegal yang diperingati setiap tanggal 18 Safar, yaitu ketika pemimpin Muridiyyah, Amadou Bamba, akan pergi ke pengasingannya di Gabon pada tahun 1895.
Grand Mosque of Touba. Penulis abadikan di tengah-tengah lautan manusia pada waktu perayaan Magal Touba 2017 | Foto: Dimas Prihadi
Muridiyyah merupakan persaudaraan Sufi yang paling dinamis dan terkemuka di Senegal karena satu-satunya persaudaraan Sufi yang didirikan oleh orang asli Senegal yaitu Amadou Bamba pada abad ke-18. Sampai saat ini, gambar Amadou Bamba terpampang di mana-mana di Senegal, di kaca depan mobil dan bus, di toko-toko, bahkan ada yang dikalungkan di leher para pengikutnya. Potret raksasa Amadou Bamba juga menjulang di setiap sudut dinding kota.
ADVERTISEMENT
Konon menurut cerita orang setempat, pada waktu menuju ke pengasingannya, Amadou Bamba mendapatkan mukjizat fisik terbesarnya. Ketika itu, Amadou Bamba yang terikat rantai hendak melakukan salat ashar, namun ditolak oleh tentara Prancis. Seketika itu, ia menerobos rantainya dan melompat dari perahu untuk melakukan salat di atas sajadah yang mengapung di atas air. Itulah sebabnya banyak gambar Amadou Bamba berdiri beralaskan sajadah di lautan terpampang di berbagai sudut kota di Senegal.
Saya bersyukur bersama rekan-rekan dari KBRI Dakar bisa menyaksikan secara langsung perayaan Magal Touba. Luar Biasa! Kira-kira itulah yang kami katakan ketika melihat jutaan orang berbondong-bondong melakukan perjalanan ke kota suci Touba. Perjalanan yang normalnya dapat ditempuh selama 4 jam dari ibu kota Dakar, harus dilalui selama 7 jam untuk sampai ke kota Touba. Mengingatkan tradisi mudik orang Indonesia ketika lebaran, namun yang ini rasanya berbeda sekali.
ADVERTISEMENT
Pengaruh spiritual sangat terasa. Jemaah Muridiyyah merayakan Magal Touba dengan cara membaca ayat-ayat Alquran, puisi-puisi Amadou Bamba, ziarah ke makam Amadou Bamba, dan menyanyikan nyanyian-nyanyian Sufi.
Hal yang juga sangat menarik kami amati adalah: adanya aktivitas yang disebut bernde, yaitu keramahtamahan dengan memberi makan kepada tamu. Warga miskin yang tinggal di sekitar kota Touba saling berlomba-lomba membuat masakan bagi jemaah yang datang ke Touba. Ketika si miskin harus memberi makan kepada si kaya, jarang sekali kita bisa temukan kebiasaan ini di Indonesia. Magal Touba mereka jadikan momentum untuk mengejar pahala dan saling berbuat baik kepada sesama manusia.
Bagi sebagian besar umat Islam, ajaran yang diturunkan secara turun-temurun oleh Amadou Bamba dan pemimpin Sufi lainnya jauh sekali dari praktik Islam, dan sangat mungkin sekali mendapat penentangan. Sufisme bahkan sudah lama ditinggalkan di Arab Saudi, negara asal kelahiran Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika orang awam melihat, kebiasaan yang dilakukan oleh para pengikut Sufi dapat dikatakan di luar nalar dan akal sehat. Namun, jika anda mencoba datang ke kota suci Touba atau Tivaouane, mungkin saja anda akan terpesona oleh sisi mistis spiritual yang diperlihatkan para pengikut Sufi. (dp)