Pulau Gorée: Saksi Bisu Sejarah Kelamnya Perbudakan Manusia di Afrika

Dimas Prihadi
Seorang Ayah, Suami dan Diplomat. Saat ini bertugas di Colombo-Sri Lanka yang terakreditasi untuk Maladewa. Sebelumnya pernah bertugas di Afrika.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2019 7:12 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Prihadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Maison de Enslave "Rumah Budak" di Pulau Gorée, Senegal | diabadikan oleh Setyo Hargianto, Kepala Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Dakar (2014-2018)
zoom-in-whitePerbesar
Maison de Enslave "Rumah Budak" di Pulau Gorée, Senegal | diabadikan oleh Setyo Hargianto, Kepala Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Dakar (2014-2018)
ADVERTISEMENT
Kenangan menyakitkan akan kisah perdagangan budak di Afrika 'mengkristal' di sebuah pulau kecil seluas 28 hektare yang bernama Pulau Gorée. Terletak 3,5 km dari seberang lepas pantai kota Dakar (ibukota Senegal, Afrika Barat), Pulau Gorée menjadi saksi bisu sejarah kelam pusat perdagangan budak terbesar di Afrika pada abad ke-15 hingga abad ke-19.
ADVERTISEMENT
Gorée yang secara geografis letaknya sangat strategis di transatlantik menawarkan tempat yang aman untuk menambatkan kapal, sehingga oleh orang Belanda kawasan ini dijuluki "Good Rade" atau “Good Harbour”. Namun, sebutan yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan apa yang terjadi di pulau kecil ini. Sebab, kapal-kapal besar silih berganti singgah dan pergi berlayar ke benua Amerika dengan sekelompok manusia yang dirantai. Ya, mereka adalah budak-budak yang diperjual belikan.
Patung Pembebasan Perbudakan | Dimas Prihadi
Ukurannya yang kecil membuat para pedagang mudah mengontrol gerak-gerik para budak. Perairan di sekitarnya pun begitu dalam, sehingga setiap upaya pelarian akan memastikan kematian dengan tenggelam. Terlebih dengan bola logam seberat 5 kg melekat secara permanen di kaki atau leher para budak.
Rantai yang dipasang di leher dan tangan para budak | Dimas Prihadi
Sejak abad ke-15, Pulau Gorée telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara Eropa yang menggunakannya sebagai persinggahan atau pasar budak. Gorée menjadi pusat persaingan antara negara-negara Eropa untuk mengendalikan perdagangan budak.
ADVERTISEMENT
Dikelola berturut-turut melalui pertumpahan darah oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Prancis, arsitektur Pulau Gorée ditandai dengan kontrasnya antara tempat tinggal para budak yang menyedihkan dan rumah-rumah elegan dari para pedagang budak. Pulau Gorée saat ini dijadikan simbol sebagai pengingat sejarah kelam eksploitasi manusia, sekaligus sebagai tempat rekonsiliasi diasporanya.
Kota Dakar terlihat dari kejauhan Pulau Gorée | Dimas Prihadi
Seorang pemandu tur menceritakan sebuah pintu yang bernama “Door of No Return.” Dikatakannya bahwa sebanyak 15 juta pria dan wanita yang diperbudak mencoba melewati pintu ini dan tidak pernah melihat benua mereka lagi. Pengunjung juga berjalan melalui sel-sel ruang bawah tanah yang sempit, tempat pemandu menunjukkan belenggu di dinding.
Di lantai atas, museum menampilkan rantai untuk leher, pergelangan kaki dan kaki, berbagai alat yang digunakan untuk hukuman, dan bola besi seberat 17 pon yang dirantai ke budak mana pun yang diduga berani melarikan diri.
Sel untuk para budak yang memberontak | Dimas Prihadi
Pulau Gorée adalah sebuah “memory island” tentang pengalaman manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kemanusiaan. Ia adalah simbol dari perdagangan budak dengan iring-iringan penderitaan, air mata, dan kematian.
Lorong menuju "Door of No Return" | Dimas Prihadi
Sampai dihapukannya perdagangan di koloni-koloni Prancis, Pulau Gorée adalah gudang yang terdiri dari lebih dari selusin rumah budak. Berbagai elemen dari "pulau memori" ini adalah benteng, bangunan, jalan, serta alun-alun yang menceritakan masing-masing dengan caranya sendiri yang mencerminkan nilai universal Gorée.
Ruang tahanan para budak perempuan | Dimas Prihadi
Ruang sempit sesak di mana para budak yang memberontak dikumpulkan | Dimas Prihadi

Tokoh-Tokoh Dunia Pernah Berkunjung ke Gorée

Pulau Gorée dengan sekitar 1.300 penduduk dapat dikatakan sangat tenang sehingga tidak ada mobil, tidak ada kejahatan, dan mereka yang mengunjungi Gorée pun berperilaku lebih seperti peziarah yang mengunjungi kuil suci daripada sebagai turis. Sebagian besar pengunjung bahkan tidak menghabiskan malam di Gorée karena hanya ada satu hotel.
Arsitektur bangunan di Pulau Gorée. | Dimas Prihadi
BBC mencatat, selama kunjungannya ke Gorée pada tahun 1981, Michel Rocard, mantan perdana menteri Prancis, mengatakan: "Tidaklah mudah bagi seorang pria kulit putih, dalam semua kejujurannya, untuk mengunjungi rumah budak ini tanpa merasa tidak nyaman."
"Door of No Return", membayangkan kisah sedih para budak yang mencoba melarikan diri | Dimas Prihadi
Paus Yohanes Paulus II juga pernah mengunjungi Gorée pada tahun 1992. Beliau meminta pengampunan karena para sejarawan mengatakan bahwa banyak misionaris Katolik terlibat dalam perdagangan budak.
ADVERTISEMENT
Rumah budak di Gorée juga telah dikunjungi oleh mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Mandela berkeliling ke pulau Gorée tiga tahun sebelum pemilihannya pada 1994 dan bersikeras merangkak ke sel tahanan budak yang sempit.
Pengrajin lokal menunjukkan keahliannya membuat lukisan dari bahan pasir pantai | Dimas Prihadi
Sudut kerajinan tangan di Pulau Gorée | diabadikan oleh staf KBRI Dakar, Aulia Hanif
Presiden Barack Obama setelah inagurasinya mengunjungi Pulau Gorée bersama istrinya Michelle dan kedua putrinya.
Para pendahulu Obama, Bill Clinton dan George W. Bush, juga mengunjungi pulau itu selama kunjungan mereka ke Senegal. Di era kepresidenan Donald Trump, tradisi Presiden AS berkunjung ke Pulau Gorée pasca-inagurasi tidak berlanjut.
Menurut pemandu tur, Presiden Obama sempat berurai air mata tepat di depan Door of No Return ketika diceritakan kisah bagaimana para budak mencoba melarikan diri dari pintu tersebut.
Keindahan Pulau Gorée diabadikan oleh staf KBRI Dakar | Aulia Hanif
Pulau Gorée saat ini menjadi tujuan ziarah bagi diaspora Afrika, sebuah serambi untuk menghubungkan antara Barat dan Afrika, serta ruang untuk pertukaran dan dialog antar budaya melalui konfrontasi cita-cita rekonsiliasi dan pengampunan dari sejarah kelam masa lalu
Benteng pertahanan di Pulau Gorée | diabadikan oleh staf KBRI Dakar, Aulia Hanif
Sekolah "Mariama Ba" di Pulau Gorée telah menjadi salah satu sekolah terbaik di Senegal | Dimas Prihadi
Terdaftar sebagai situs bersejarah oleh pemerintah kolonial pada tahun 1944, dengan langkah-langkah pengamanan khusus, Gorée tidak mengalami perubahan konstruksi besar sejak saat itu untuk mempertahankan keaslian situs tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan UNESCO, Pulau Gorée ditetapkan sebagai situs bersejarah pada tahun 1944 dengan tindakan pengamanan pada tahun 1951 (di bawah era kolonial) yang kemudian tercantum pada daftar warisan nasional pada tahun 1975 dan pada Daftar Warisan Dunia pada tahun 1978.
Sebuah Castle Pulau Gorée. | diabadikan oleh staf KBRI Dakar, Aulia Hanif
Untuk berkunjung ke Pulau Gorée, Anda harus menyebrang dari lepas pantai kota Dakar dengan menggunakan kapal feri. Tiket pergi-pulang dihargai sebesar 5.000 CFA atau sekitar Rp 100 ribu. Bagi yang memiliki visa residence, Anda hanya harus mengeluarkan biaya sebesar 1.000 CFA atau sekitar Rp 20 ribu.
Penulis bersama staf KBRI, Abdul Rozaq, dan Prof Marjono dari Universitas Brawijaya ketika di atas kapal feri menuju Pulau Gorée | Dimas Prihadi
Jika Anda penasaran melihat Pulau Gorée, silakan hubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dakar, para pejabat dan staf KBRI akan dengan senang hati memandu Anda berkunjung kesana. À bientôt!
ADVERTISEMENT