Inkonsistensi Undang-Undang Cipta Kerja

Dimas Purna
Buah pikir atas isu hukum. Alumni FH UGM bit.ly/dimaspurna
Konten dari Pengguna
6 November 2020 9:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan. (Arti adagium hukum dalam ilustrasi)
zoom-in-whitePerbesar
Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan. (Arti adagium hukum dalam ilustrasi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak pertama kali bergulir wacana mengenai Omnibus Law tidak pernah henti-hentinya mengundang kontroversi dari segala sisi. Setelah penandatanganan oleh Presiden Joko (Jokowi) Widodo pada Senin, 2 November 2020 lalu. Kontroversi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja) seperti semakin tidak terhindarkan. Dari carut marut banyaknya salah ketik, salah merujuk pasal, pelanggaran asas ketelitian, hingga perkara substansi isi pasal. Salah satu substansi dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai banyak kontroversi ialah pada klaster ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Munculnya klaster ketenagakerjaan pada Undang-Undang Cipta Kerja saja sudah menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi. Terlebih niat utama dari Pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja adalah guna menciptakan lapangan pekerjaan dengan mendatangkan investasi. Merupakan hal yang lumrah apabila banyak pihak terutama pekerja atau buruh menganggap bahwa aturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja semakin berpihak kepada Pengusaha. Asumsi tersebut merupakan bukan hal yang tanpa dasar terlebih apabila melihat substansi pengaturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang penuh dengan inkonsistensi dan memberikan banyak celah hukum.
Sistematika penulisan batang tubuh dalam Undang-Undang Cipta Kerja terkesan dipaksakan, terlalu rumit, berbelit, dan cenderung hanya mengumpulkan ketentuan dari pasal yang lama kemudian digabungkan menjadi satu. Sebagai contoh, pada Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan) mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan berakibat batal demi hukum, adanya keharusan bagi Pengusaha dan Pekerja untuk tetap melaksanakan kewajibannya hingga adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemberian kewenangan atau opsi kepada Perusahaan untuk melakukan skorsing kepada Pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Cipta Kerja ketentuan Pasal 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan dihapus. Uniknya, kemudian muncul Pasal 157A pada klaster Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 157A mengatur sama persis dengan ketentuan Pasal 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan dan hanya menghilangkan pengaturan akibat hukum tidak adanya penetapan pemutusan hubungan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya apabila mengacu pada Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah mengakomodir penghapusan salah satu ayat dalam peraturan perundang-undangan yang akan diubah. Sehingga dalam Pasal 155 tidak perlu untuk dihapuskan seluruhnya dan hanya dihapuskan Pasal 155 ayat (1). Penghapusan Pasal 155 kemudian munculnya Pasal 157A yang mengatur ketentuan yang sama, merupakan bentuk ketidakefektifan dan kurang cermatnya penulisan Undang-Undang Cipta Kerja.
Inkonsistensi lainnya muncul pada prinsip Omnibus Law dengan eksekusinya itu sendiri. Undang-Undang Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai Omnibus Law diproyeksikan oleh Pemerintah untuk mengharmonisasi berbagai carut marut peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian dipertegas dalam kajian Naskah Akademik Undang-Undang Cipta Kerja dimana salah satu poinya untuk melakukan perampingan regulasi. Lebih lanjut lagi, Omnibus Law yang dalam perancangannya hingga pengesahannya dikebut demi untuk menciptakan iklim investasi. Namun justru dalam eksekusinya bisa jadi tidak menutup kemungkinan tidak semua hal tadi tersebut tercapai.
ADVERTISEMENT
Pada klaster ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja saja terdapat sekitar 20 (dua puluh) ketentuan ayat yang mengamanahkan pengaturan lebih lanjut untuk diatur didalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berdampak bahwa Undang-Undang Cipta Kerja meskipun sudah disahkan awal November lalu, akan tetapi secara pelaksanaan belum bisa berjalan secara sempurna sebagaimana mestinya. Setidaknya dari klaster ketenagakerjaan saja tidak mungkin hanya akan muncul 1 (satu) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan lebih lanjut dari Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan, bisa hingga 10 (sepuluh) Peraturan Pemerintah. Itu saja baru dihitung dari klaster ketenagakerjaan. Lalu, bagaimana dengan klaster yang lain? Apakah kemudian cita-cita merampingkan regulasi pada Undang-Undang Cipta Kerja dapat dilakukan dengan menambah regulasi pada Peraturan Pemerintah? Dimana bisa jadi pada pelaksanaanya Peraturan Pemerintah hanya menggabungkan peraturan yang lama menjadi satu sebagaimana yang sudah terjadi pada Omnibus Law. Kemudian, apa yang menjadi pembeda?
ADVERTISEMENT
Terlalu banyaknya aturan lebih lanjut yang harus diatur didalam Peraturan Pemerintah juga membuat adanya ketidakjelasan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja. Sebagai contoh, pada klaster ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (3), (4) dan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Cipta Kerja. Pada ketentuan Pasal 56 ayat (3) menyatakan bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Kemudian pada ayat selanjutnya memberikan amanah kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Akan tetapi pada Pasal 59 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan mengenai jenis dan sifat atau kegaitan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Merujuk kedua ketentuan tersebut mengindikasikan adanya ketidakjelasan yakni jangka waktu pada perjanjian kerja waktu tertentu akan ditentukan berdasarkan perjanjian kerja atau pada Peraturan Pemerintah? Apabila hanya melihat sekilas saja maka akan menimbulkan celah hukum yakni Perusahaan akan mengadakan perjanjian kerja waktu tertentu tanpa jangka waktu yang jelas atau hanya berdasarkan keinginan dari Perusahaan. Terlebih setelah disahkan hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan yang diamanahkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Dimas Purna Adi Siswa | Alumni FH UGM