Keanehan Sanksi Pencopotan Jabatan Kapolres Tebing Tinggi karena Perbuatan Istri

Dimas Purna
Buah pikir atas isu hukum. Alumni FH UGM bit.ly/dimaspurna
Konten dari Pengguna
12 November 2021 7:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keanehan Sanksi Pencopotan Jabatan Kapolres Tebing Tinggi karena Perbuatan Istri
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membicarakan instansi kepolisian kita memang tidak ada habisnya. Mungkin bisa kita mulai saja dari viralnya anggota kepolisian yang memeriksa HP warga dan ditentang oleh warga tersebut hingga adanya anggota kepolisian yang membanting seorang mahasiswa dalam aksi demo. Belum lagi kasus-kasus bejat pelecehan seksual yang dilakukan anggota kepolisian baru-baru ini semakin marak muncul. Sehingga membuat kritik tajam semakin melayang ke tubuh instansi satu ini.
ADVERTISEMENT
Kejadian-kejadian ini pula yang memicu perintah tegas dari Bapak Kapolri untuk menindak anggotanya yang keluar dari jalur. Istilahnya bersih-bersih yang kotor lah, sapu-sapu dikit. Perintahnya pun terbilang tegas karena sanksinya saja bukan main kerasnya seperti mutasi, pencopotan jabatan, dinonaktifkan bahkan baru-baru ini banyak pula anggotanya yang kena sanksi pemecatan.Seakan gayung bersambut dengan mandat Bapak Kapolri, masing-masing wilayah langsung gencar melaksanakan perintah komandannya. Nah, ada satu kasus yang cukup menarik dalam aksi bersih-bersih ini. Saya bukannya lagi nyari-nyari kesalahan ya, tapi kok ya rasanya niat baik harusnya dilakukan dengan jalan yang baik pula jangan asal sembrono.
Kasusnya sebenarnya cukup sederhana yakni Kapolres Tebing Tinggi dicopot dari jabatannya dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan oleh Propam. Coba tebak perbuatan apa yang dilakukan oleh Pak Kapolres Tebing Tinggi satu ini? Jawabannya tidak ada. Sanksi pencopotan jabatan Kapolres tersebut merupakan buntut dari tindakan istrinya yang memposting uang yang terbilang cukup banyak di media sosialnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, salahnya di mana kok sampai kena sanksi pencopotan segala? Menurut Bapak Kapolda Sumut, dilansir dari kumparan.com “Meskipun bukan dia yang mengupload tapi kita melihat dia tahu bahwa perintah pimpinan Polri tidak boleh menunjukkan gambar-gambar yang menampilkan hedonisme terkait harta benda, meskipun bukan miliknya”. Lebih lanjut lagi, Beliau mengatakan "Sebagai tanggungjawab suaminya, Kapolres Tebing Tinggi ditarik ke Polda Sumut dalam evaluasi dan barusan saya sudah serah terima jabatan".
Nah, ini diingat baik-baik ya "sebagai tanggungjawab suaminya", maka perbuatan istri Polisi masuk ke dalam pertanggungjawaban Suami menurut beliau. Kalau dari yang saya baca dari berita itu aturan yang dilanggar adalah adanya perintah dari Kapolri tidak boleh menunjukkan gambar yang menampilkan hedonisme dan harta benda. Berarti sah-sah saja dan sangat tepat sanksi tersebut diberikan? Tunggu sebentar, jangan terlalu gegabah.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik penjatuhan sanksi seperti kasus di atas karena adanya tindakan keluarganya yang melanggar aturan internal institusi seharusnya tidak dapat diberikan. Mengapa? Karena artinya pejabat tersebut mempunyai 2 beban pertanggungjawaban secara hukum, pertama pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri dan kedua harus bertanggung jawab atas setiap tindakan dari anggota keluarganya. Selain itu, sejatinya penjatuhan sanksi pada kasus tersebut bukanlah hal yang pertama kali terjadi.
Sebelumnya pada institusi militer kita TNI pernah terjadi kasus serupa. Kalau kamu masih ingat saat adanya kejadian penusukan kepada Bapak Wiranto. Istri dari Komandan Kodim 1417 kala itu mengeluarkan komentar di media sosialnya atas kejadian penusukan tersebut. Alhasil, suaminya yang berpangkat kolonel dan baru saja menjabat tidak lebih dari seumur jagung langsung dicopot dari jabatannya. Bukan hanya itu saja, sang komandan juga harus menjalani hukuman penahanan disiplin ringan selama 14 (empat belas) hari. Ini saja baru merupakan salah satu dari tiga kasus yang terjadi saat itu.
ADVERTISEMENT
Polanya sangat terlihat sama. Anggota kepolisian atau tentara harus bertanggung jawab atas perbuatan anggota keluarganya yang melanggar aturan internal institusi. Menurut saya sangat aneh, saking anehnya sampai saya mencurahkannya menjadi topik skripsi saya. Silakan bisa kamu cek lebih komprehensif di skripsi saya yang berjudul "Pertanggungjawaban Hukum Disiplin Militer Anggota Tentara Nasional Indonesia Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Keluarga".
Praktik seperti ini harusnya segera dihapuskan karena akan membuat atasan mempunyai kewenangan yang luas dan posisi anggota bawahannya menjadi rentan. Apabila kita lihat secara gamblang atau garis besarnya saja sudah kelihatan anehnya. Sekarang logika dasar hukum, seseorang akan bertanggung jawab tentu atas perbuatannya sendiri bukan? Mudahnya, kamu yang berbuat ya kamu juga yang bertanggung jawab. Meskipun memang ada pertanggungjawaban pengganti yang sering dikenal di Hukum Pidana. Namun, pertanggungjawaban pengganti ini tidak semena-mena. Ada aturan ketatnya. Bahkan hanya untuk kasus-kasus tertentu saja seperti kejahatan pelanggaran HAM berat, dan kasus kejahatan yang dilakukan oleh suatu korporasi. Secara prinsip dasar saja sudah salah.
ADVERTISEMENT
Lalu, mengapa kok bisa tetap terjadi? Karena ada aturan internal yang menggunakan frasa yang intinya setiap anggota harus menjaga atau mengawasi anggota keluarganya. Sekarang, definisi menjaga atau mengawasi itu seperti apa? Ini baru satu definisi yang harus kita perdebatkan. Kalau mengacu kasus pencopotan Kapolres tadi, perbuatan tersebut dianggap sebuah perbuatan hedonisme dan harta benda. Penafsiran hedonisme yang digunakan mengacu ke mana? Lagi dan lagi dikembalikan kepada atasannya masing-masing.
Keanehan yang terakhir adalah setiap aturan internal yang dikeluarkan sebuah institusi pasti berlakunya untuk internal institusi tersebut dong? Gampangnya seperti aturan Perintah Kapolri untuk melarang menampilkan hedonisme dan harta benda artinya aturan tersebut hanya berlaku untuk anggota kepolisian saja bukan? Nah, sekarang apakah istri atau anggota keluarga kepolisian termasuk anggota kepolisian? Kalau iya, berarti anggota keluarga seorang polisi punya wewenang yang sama seperti polisi dong? Kalau bukan, lah kok bisa aturan internal berlaku kepada anggota keluarganya? Ambigu sekali.
ADVERTISEMENT
Ujung-ujungnya menurut saya yang sangat kurang beruntung di sini adalah anggota-anggota yang tidak memiliki pangkat tinggi atau kasarannya anggota bawahan yang hanya bisa nurut sama atasannya. Meskipun, ada upaya hukum untuk menentang atau menguji aturan internal institusi melalui jalur uji materiil di Mahkamah Agung. Saya yakin anggota-anggota ini tidak akan seberani itu. Belum-belum sampai bawa ke jalur MA, hanya sekadar menentang aturan secara tegas saja, mungkin bisa jadi kena sanksi yang itu-itu lagi. Kasihan pokoknya, bijaknya sudah selayaknya kasus-kasus anggota polisi atau tentara dijatuhi hukuman karena perbuatan anggota keluarganya haruslah segera dihapuskan. Mau sampai kapan?