Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Lagi, Kasus Pelecehan Seksual Kembali Terjadi
30 Juli 2020 18:31 WIB
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi tidak membuat regulasi penghapusan kekerasan seksual menjadi "urgent" untuk dibahas oleh DPR

ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual kembali terjadi, kali ini dilakukan oleh seorang mahasiswa berinisial G dan sudah banyak sekali Korban atas tindakannya tersebut. Perbuatan bejad Pelaku dilakukan dengan menyuruh Korban untuk dibungkus dengan kain hingga berbentuk seperti pocong selama beberapa jam. Lebih lanjut lagi, perbuatannya tersebut terhadap salah satu Korban juga dilakukan di kosan Pelaku dan setelah dibungkus Korban mengaku tubuhnya diraba-raba hingga akhirnya terjadi peristiwa pelecehan seksual dan menimbulkan trauma hingga berbulan-bulan sebagaimana dilansir oleh Kumparan.com dalam berita yang berjudul "Viral Kisah Mahasiswa Unair Jadi Predator Seksual Modus Riset Bungkus Kain Jarik". Tindakan Pelaku tersebut dilakukan dengan dalih bahwa Pelaku G melakukan suatu riset atau penelitian dengan metode pembungkusan terhadap Korban.
ADVERTISEMENT
Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa tindak pidana pelecehan bisa dijerat dengan aturan yang tercantum dalam KUHP pada Pasal 289 hingga Pasal 299. Apabila dicermati lebih lanjut, ketentuan tersebut hanya mengenal istilah perbuatan cabul dan tidak mengenal pelecehan seksual. Pengaturannya pun hanya mengatur mengenai perbuatan cabul, pemberatan terhadap perbuatan cabul jika dilakukan pada keadaan tertentu, pemberatan terhadap pelaku apabila Korban adalah Anak di bawah umur hingga menjerat orang yang memudahkan atau membiarkan terjadinya perbuatan cabul. Pasal yang bisa dimungkinkan terhadap kasus pelecehan seksual bisa saja menggunakan Pasal 289 KUHP namun harus terbukti dahulu adanya unsur perbuatan cabul dan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Mengaitkan dengan kasus a quo, tentu saja pembuktian unsur kekerasan atau ancaman kekerasan sulit untuk dibuktikan. Sehingga Pelaku tidak bisa dibuktikan menggunakan Pasal 289 KUHP. Pasal-pasal di luar Pasal 289 hingga Pasal 299 KUHP pada Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan KUHP pun hanya mengatur mengenai tindak pidana seperti perkosaan, prostitusi, perdagangaan Anak di bawah umur dan perjudian.
ADVERTISEMENT
Apabila terdapat Korban dari tindakan Pelaku pada kasus tersebut yang merupakan Anak. Sebenarnya bisa saja menggunakan Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 82 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Akan tetapi, lalu bagaimana dengan kasus pelecehan terhadap Korban yang bukan merupakan Anak?
Urgensi Regulasi Penghapusan Kekerasan Seksual
Salah satu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap Korban serta masyarakat atas kejahatan terhadap kesusilaan melalui regulasi penghapusan kekerasan seksual. Sebelumnya sudah hadir Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Penulis sendiri lebih cenderung sependapat dengan Ahli Hukum Pidana Eddy O.S. Hiariej untuk mendorong agar regulasi penghapusan kekerasan seksual termasuk dan dirumuskan sebagai Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, dan bukan Undang-Undang Administrasi sebagaimana RUU PKS saat ini. Anehnya, bukannya membahas regulasi penghapusan kekerasan seksual secara lebih komprehensif tetapi DPR melakukan hal yang sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pelaku G akan sangat sulit untuk diproses secara hukum. Mengapa demikian? Tidak adanya rumusan pasal yang tepat untuk menjerat perbuatan pelaku. Perlu diketahui lebih lanjut bahwa dalam menjerat proses hukum pidana terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana harus lah tetap dilakukan secara hati-hati. Penentuan rumusan pasal yang menjerat tindakan Pelaku menjadi sangat vital untuk berpijak dalam memproses Pelaku G. Apabila salah menerapkan pasal dan menyebabkan tidak adanya alat bukti yang cukup untuk membuktikan pasal tersebut, bisa saja Pelaku dapat bebas dari tuntutan hukum.
RUU PKS sendiri sudah mendefinisikan dan mengidentifikasikan tindak pidana kekerasan seksual. Apabila dikaitkan dengan kronologi pada kasus yang dilakukan oleh Pelaku G, maka Pasal 11 ayat (2) huruf a jo Pasal 12 RUU PKS dapat digunakan untuk menjerat tindakan Pelaku.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan tindakan fisik atau non-fisik dapat ditemukan secara jelas dalam Penjelasan Pasal 12 RUU PKS. Tindakan fisik antara lain sentuhan, colekan, serangan, atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang termasuk dada, payudara, pantat, dan rambut. Sedangkan tindakan non fisil meliputi namun tidak terbatas pada siulan, kedipan mata, gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin, ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual. Sehingga apabila mengacu pada ketentuan tersebut, akan sangat mudah untuk menjerat tindakan Pelaku G.
ADVERTISEMENT
Primum Remedium
Sebenarnya banyak sekali kelebihan dan keuntungan atas adanya RUU PKS seperti halnya perlindungan kepada Korban sangat ditekankan, rumusan pasal tindak pidana kekerasan seksual yang komprehensif dan pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). Selain itu, salah satu hal yang sangat ditonjolkan dalam RUU PKS ialah penggunaan asas Primum Remedium. Asas Primum Remedium sebenarnya tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU PKS. Pemaknaan asas Primum Remedium ialah hukum pidana digunakan sebagai pilihan utama dalam menyelesaikan suatu kasus atau peristiwa hukum. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam RUU PKS seperti pada Bagian Keempat terutama pada Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54. Pada Pasal 52 RUU PKS sendiri memberikan kewajiban bagi siapapun yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa kasus pelecehan seksual untuk melaporkan kepada PPT atau Kepolisian. Dalam pasal tersebut terdapat frasa yang menarik yakni "mengetahui", hal ini memberikan keleluasan terhadap masyarakat yang tidak melihat atau menyaksikan secara langsung kasus pelecehan seksual dapat melapor. Meskipun orang yang mengetahui kasus pelecehan seksual merupakan sebagai orang kedua, ketiga, atau bahkan kesekian yang mengetahui atas peristiwa tersebut akan tetapi tetap bisa melakukan pelaporan apabila belum ada laporan atas kasus pelecehan seksual tersebut.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut lagi, pada Bagian Kelima Penyidikan Pasal 59 RUU PKS memberikan kewajiban dan memaksa Kepolisian sebagai penyidik untuk segera memproses kasus pelecehan seksual. Bahkan, apabila Pelaku merupakan Pejabat Publik penyidikan berjalan tanpa meminta ijin dari atasan Pejabat Publik. Salah satu hal yang sering dijumpai dalam penanganan kasus pelecehan seksual ialah penyelesaian yang cenderung lama dan proses yang dilakukan akan sangat lambat. Terlepas dari banyak sekali hambatan pada penanganan sebelumnya, penggunaan asas Primum Remedium pada tindak pidana kekerasan seksual akan memberikan dampak yang cukup signifikan. Terlebih, apabila mengacu pada RUU PKS proses pembuktian kasus pelecehan seksual akan cenderung lebih mudah.
-
Dimas Purna Adi Siswa | Alumni FH UGM
ADVERTISEMENT