Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menelisik Pasal Penjerat Pelanggar Protokol Kesehatan COVID-19 di Petamburan
18 Desember 2020 12:54 WIB
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Proses penyidikan terhadap kasus kerumunan massa di Petamburan menjajaki babak baru. Kamis, 10 Desember 2020, Polda Metro Jaya yang menangani kasus tersebut menetapkan setidaknya terdapat enam (6) tersangka. Tersangka pertama yakni HRS yang disangkakan dengan Pasal 160 dan 216 KUHP. Sedangkan 5 Tersangka lainnya, yakni HU, A, MS, SL, dan HI, disangkakan dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Penempatan ketiga pasal dalam kasus pelanggaran protokol COVID-19 di petamburan memunculkan berbagai reaksi baik dari pendukung, simpatisan FPI, hingga masyarakat awam. Terdapat dua pasal yang menarik untuk dibahas dalam kasus tersebut yakni Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Ketentuan Pasal 160 KUHP yang menjerat HRS adalah tentang tindak pidana penghasutan. Uniknya Pasal 160 KUHP ini merupakan pasal yang kontroversial. Pasal tersebut oleh beberapa kalangan dianggap pasal karet yang dapat digunakan oleh penguasa dalam hal ini pemerintah untuk menjerat pihak yang berlawanan dengan pemerintah. Sehingga rawan untuk terjerat oleh pasal tersebut. Perdebatan panas atas pasal penghasutan di KUHP tersebut sudah sampai di meja Mahkamah Konstitusi. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah memberikan pengertian dan penafsiran lebih lanjut terhadap pasal tersebut.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009. Keberadaan Pasal 160 KUHP secara historis dibuat dan tercantum dalam KUHP Belanda atau Wetboek van Strafrecht. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia belum memiliki kodifikasi terhadap peraturan tindak pidana yang dibuat sendiri. Wetboek van Strafrecht yang kemudian diberlakukan di Hindia Belanda sejak 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie hingga saat ini masih berlaku dan telah berkembang serta berubah secara parsial dalam hukum positif Indonesia. Sehingga untuk mengetahui maksud dari pembentuk undang-undang atau wesenschau dari Pasal 160 KUHP sangat sulit untuk diketahui. Namun demikian, penerapan Pasal 160 KUHP hanya perlu untuk memenuhi unsur delik yang tercantum pada Pasal 160 KUHP seperti unsur barang siapa, di muka umum dengan lisan atau tulisan, perbuatan menghasut, dengan sengaja, dan unsur dengan maksud tertentu seperti melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti peraturan perundang-undangan maupun perintah penguasa/jabatan.
ADVERTISEMENT
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, Pasal 160 KUHP merupakan delik formil di mana dalam perbuatan pidana tidak perlu adanya akibat dari perbuatan tersebut. Sehingga pada pelaksanaannya Pasal 160 KUHP sangat mudah untuk dibuktikan. Asalkan terdapat adanya perbuatan penghasutan terhadap orang lain untuk melakukan perbuatan melawan hukum maka serta merta Pasal 160 KUHP tersebut sudah terbukti. Terlebih apabila mengacu pada definisi “penghasutan” di Indonesia belum ada definisi yang resmi. Apabila merujuk kepada KBBI menyebutkan bahwa tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak. Sejalan dengan hal tersebut pada Black’s Law Dictionary edisi ke-8 dengan kata menghasut diterjemahkan dengan “provocation” diartikan sebagai “something (such as word or action) that affects a person’s reason and self-control, esp. Causing the person to commit a crime impulsively”.
ADVERTISEMENT
Perubahan yang cukup signifikan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 adalah mengubah kedudukan Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil. Penerapan Pasal 160 KUHP saat ini harus terdapat akibat yang terjadi. Akibat dalam hal ini yakni adanya orang yang melakukan perbuatan melawan hukum seperti perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan. Sehingga subyek hukum dalam pasal tersebut tidak hanya menjadi satu subyek akan tetapi menjadi dua subyek hukum yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang melakukan perbuatan karena adanya hasutan dari orang tersebut. Dengan kata lain, harus terdapat adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat antara kedua subyek hukum tersebut.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Perlu digaris bawahi bahwa meskipun seseorang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dan menjalani proses persidangan hingga yang bersangkutan ditahan. Orang tersebut harus tetaplah dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan dia bersalah sebagaimana asas praduga tak bersalah. Apabila hanya berdasarkan adanya orang yang perbuatan melawan hukum karena penghasutan tersebut akan tetapi masih berstatus tersangka atau terdakwa dan belum mencapai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi orang yang disangkakan dengan Pasal 160 KUHP. Bagaimana apabila pada proses persidangan nantinya orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut ternyata divonis tidak bersalah? Akan tetapi, orang yang melakukan penghasutan dinyatakan bersalah? Maka sejatinya delik materiil atau akibat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 160 KUHP tidak tercapai atau terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Ketentuan yang menjerat 5 (orang) anggota FPI lainnya pada kasus kerumunan massa di Petamburan adalah Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Ketentuan tersebut bukan pertama kalinya digunakan selama pandemi COVID-19. Pertama kali digunakannya Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Sebelumnya ketentuan ini digunakan untuk menjerat salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tegal pada kasus kerumunan massa pada konser yang diselenggarakan oleh beliau. Sehingga penggunaan Pasal 93 UU Kekerantinaan Kesehatan masih sangat jarang ditemui dan merupakan hal yang wajar. Sebagaimana pernah penulis jelaskan pada artikel “Mengapa Ketentuan Pidana Tidak Pernah Digunakan dalam Penanganan COVID-19”. Sejatinya ketentuan pidana terutama pada penanganan COVID-19 merupakan ultimum remidium atau sarana terakhir dan bukan primum remidium atau sarana utama dalam penanganan COVID-19 terutama bagi pelanggar protokol kesehatan COVID-19. Apabila segala upaya lainnya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya maka barulah ketentuan pidana baru bisa digunakan.
ADVERTISEMENT
Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan termasuk dalam delik materiil karena dalam pemenuhan unsur delik tersebut harus adanya akibat yakni kedaruratan kesehatan masyarakat. Beberapa pihak berpendapat bahwa Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan kurang tepat digunakan untuk menjerat pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena PSBB tidak termasuk dalam penyelenggaran kekarantinaan kesehatan. Menurut hemat penulis argumentasi tersebut kurang tepat. Apabila melihat dalam definisi Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan. Salah satu pelaksanaan kekarantinaan kesehatan terutama pada suatu wilayah pada Pasal 59 UU Kekarantinaan Kesehatan adalah PSBB. Sehingga tepat apabila terdapat pelanggaran terhadap PSBB dikenakan ketentuan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Masalah pada Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan adalah terletak pada unsur menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Apabila mengacu pada Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan mendefinisikan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Penetapan terhadap adanya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah berada pada kewenangan Pemerintah Pusat dan bukan hanya berdasarkan asumsi atau kesimpulan pada bukti-bukti tertentu oleh lembaga atau instansi lainnya bahkan masyarakat. Sedangkan jenis penyakit COVID-19 ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada tanggal 31 Maret 2020. Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh Presiden sangat jauh sebelum adanya kasus penyelenggaran konser oleh Anggota DPRD Kota Tegal dan kasus kerumunan massa di Petamburan.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada teori relevansi pada buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi menyebutkan bahwa adanya suatu kelakuan atau tindakan sebagai musabab akibat yang dilarang bertitik tolak dari pembentuk undang-undang. Artinya, kelakuan atau tindakan sebagai musabab untuk menimbulkan akibat yang dilarang sudah dibayangkan oleh pembentuk undang-undang. Maka apabila menafsirkan Pasal 93 UU Kesehatan Masyarakat, unsur akibat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat merupakan efek dari adanya perbuatan tidak mematuhi dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Pada dasarnya penyelenggaran kekarantinaan kesehatan tidak harus diselenggarakan dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Berkaca pada Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan, meskipun masih baru berupa potensi yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat maka bisa dilakukan upaya penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sehingga apakah perbuatan pelanggar protokol kesehatan COVID-19 benar-benar menyebabkan adanya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat? Sebagaimana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat harus ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Apabila hanya berpatokan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 dilakukan pada saat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat maka serta merta sudah memenuhi unsur menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Maka menurut hemat penulis agaknya melenceng dari akibat yang dilarang sudah dibayangkan oleh pembentuk undang-undang sebagaimana dalam teori relevansi.
ADVERTISEMENT
Masih jarangnya penggunaan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan maka menjadi tanda tanya besar bagaimana pelaksanaan ketentuan tersebut terhadap kasus kerumunan massa di Petamburan. Terlebih terdapat beberapa catatan terhadap pasal yang disangkakan terhadap para tersangka. Catatan yang paling terpenting antara Pasal 160 KUHP dan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan adalah terletak pada terwujudnya akibat pada pasal a quo. Pasal 160 KUHP dengan adanya akibat adanya orang yang melakukan perbuatan melawan hukum seperti perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan. Sedangkan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dengan adanya akibat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Menjadi hal yang sangat krusial bagaimana menentukan unsur adanya akibat yang timbul pada kedua pasal sudah terpenuhi. Proses hukum terhadap kasus kerumunan massa di Petamburan bisa menjadi preseden baru dalam penegakan hukum terutama dalam penanganan COVID-19 melalui ketentuan pidana. Sehingga dapat berdampak ke depan apabila terjadi kasus-kasus serupa yang bisa jadi akan muncul di kemudian hari.
ADVERTISEMENT