Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mengapa Ketentuan Pidana Tidak Pernah Digunakan dalam Penanganan Covid-19?
30 Juli 2020 16:56 WIB
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pandemi coronavirus disease (COVID-19) sudah melanda Indonesia setidaknya hampir 6 bulan dan memasuki bulan ke-7. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten hingga saat ini belum bisa meredam penyebaran Covid-19 di Indonesia. Beberapa kebijakan yang sudah dikeluarkan seperti adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah Indonesia, adanya tes rapid/tes swab secara massif di berbagai daerah, pelarangan mudik, hingga penerapan kebijakan "new normal" atau yang saat ini diubah dan lebih dikenal dengan kebijakan adaptasi kebiasaan baru.
ADVERTISEMENT
Respon dari masyarakat terhadap kebijakan dan penanganan pandemi Covid-19 sangat beragam. Secara mandiri pada triwulan pertama banyak sekali masyarakat yang melakukan karantina secara mandiri di rumah masing-masing dan menggalakkan work from home (wfh) dan study from home (sfh). Menanggapi kebijakan adaptasi kebiasaan baru saat ini, masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa namun dengan menerapkan Protokol Kesehatan Covid-19 dengan menggunakan masker, menerapkan pyhsical distancing dan selalu cuci tangan setiap saat.
Namun demikian, tidak selamanya masyarakat melakukan respon positif terhadap pandemi ini. Respon yang bertolak belakang dengan penanganan pandemi seperti halnya tidak menggunakan masker saat keluar rumah, berkerumun lebih dari 3 orang dengan tidak menerapkan physical distancing, hingga pada saat penerapan PSBB masih ditemukan masyarakat yang melanggar. Tidak hanya itu, beberapa peristiwa yang cukup mendapat perhatian publik seperti penolakan jenazah pasien Covid-19, hingga pengambilan jenazah pasien Covid-19 oleh keluarga secara paksa pernah terjadi. Bahkan terdapat peristiwa pemukulan terhadap petugas pemakaman jenazah Covid-19 oleh keluarga sebagaimana dilansir di Kumparan.com pada 21 Juni 2020 dengan berita yang berjudul "Keluarga Jenazah Pasien COVID-19 di Palangka Raya Pukul Petugas hingga Pingsan". Dewasa ini muncul kembali respon meremehkan pandemi Covid-19 dari beberapa masyarakat hingga public figure yang meresahkan masyarakat lainnya.
ADVERTISEMENT
Penegakan Hukum
Sejatinya, regulasi terhadap penanganan wabah di Indonesia sudah tercantum dalam beberapa undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU 4/84 tentang Wabah Penyakit Menular), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan). Ketiga regulasi tersebut juga dilengkapi dengan adanya ketentuan pidana didalamnya.
Dalam UU 4/84 tentang Wabah Penyakit Menular pada Pasal 14 misalnya terdapat ancaman pidana penjara dan pidana denda terhadap orang yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah. Penanggulangan wabah yang dimaksud seperti pencegahan dan pengebalan wabah, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah akibat wabah serta upaya penanggulangan lainnya. Hal serupa juga dipertegas kembali dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Bab XIII terutama pada Pasal 93 yang mengatur ancaman pidana penjara dan pidana denda terhadap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang dimaksud seperti penerapan PSBB beserta protokolnya hingga beberpaa kebijakan yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Covid-19.
ADVERTISEMENT
Beberapa Pemerintah Daerah cenderung membuat produk hukum sendiri untuk penegakan hukum ditengah pandemi Covid-19. Seperti halnya yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada saat diterapkannya PSBB di DKI Jakarta dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020. Jenis sanksi yang diberikan tergolong sanksi administratif seperti teguran tertulis, denda administratif hingga kerja sosial. Serupa dengan hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengeluarkan produk hukum sendiri yakni Peraturan Gubernur Jawa Barat yang memberlakukan sanksi adminsitratif terhadap masyarakat yang tidak menggunakan masker.
Ultimum Remedium
Salah satu asas mendasar dalam penerapan hukum pidana di Indonesia ialah asas ultimum remedium. Ketentuan pidana digunakan sebagai jalan terakhir atau alat pamungkas dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan ultimum remedium sebagai alat terakhir. Hal ini dimaksudkan bahwa apabila dalam suatu kasus hukum maka penyelesaian yang harus dilakukan pertama melalui jalur hukum yang lainnya seperti jalur kekeluargaan, perdata, administrasi hingga mediasi. Penyelesaian melalui hukum pidana harus diletakan sebagai penyelesaian paling akhir atau pamungkas apabila penyelesaian yang lainnya tidak dapat terwujud.
ADVERTISEMENT
Namun, selanjutnya akan muncul pertanyaan. Sejauh mana penyelesaian diluar hukum pidana dinyatakan tidak efektif atau tidak dapat menyelesaikan suatu kasus. Tentu penentuan hal ini harus melihat kasus per kasus. Dalam kasus penanganan pandemi Covid-19 memang pada dasarnya kita telah dilengkapi dengan regulasi yang memuat ketentuan pidana. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa penanganan Covid-19 oleh Pemerintah merupakan termasuk dalam kaidah-kaidah dalam hukum ketatanegaraan. Meminjam pendapat Wirjono Prodjodikoro, menyebutkan bahwa dalam norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Apabila sanksi administrasi belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium. Lebih lanjut lagi, takaran ketidak efektifian atau tidak terselesainya penyelesaian jalur adminstrasi untuk menangani kasus pelanggaran pada penanganan pandemi Covid-19 terletak pada aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan. Belum ada takaran yang secara jelas atau pakem atas hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Apabila mencermati lebih lanjut beberapa kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung bersifat himbauan yang berarti tidak adanya paksaan namun sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Penegasan himbauan tersebut yang kemudian diejawantahkan dalam kebijakan produk hukum seperti halnya yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat. Lebih lanjut lagi, penyelesaian diluar hukum pidana pada kasus a quo juga dimaksudkan untuk memberikan penanganan yang lebih manusiawi dan lebih berhati-hati. Karena halnya pandemi Covid-19 sudah menjadi momok yang cukup menakutkan dan hal yang berdampak negatif terhadap seluruh sektor di masyarakat.
-
Dimas Purna Adi Siswa | Alumni FH UGM