Urgensi Regulasi Kategorisasi Jenis Kelamin pada Kejuaraan Olahraga Indonesia

Dimas Purna
Buah pikir atas isu hukum. Alumni FH UGM bit.ly/dimaspurna
Konten dari Pengguna
11 Maret 2021 6:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Purna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
law
zoom-in-whitePerbesar
law
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perubahan jenis kelamin masih menjadi hal yang tabu dan jarang terjadi di Indonesia. Perubahan jenis kelamin dapat disebabkan karena kelainan yang dialami sejak dari lahir atau baru ditemui saat pertumbuhan baik dari usia balita hingga dewasa. Hal ini merupakan alasan yang sering ditemui dalam peristiwa pergantian kelamin. Sebagai contoh dapat dijumpai pada Putusan Pengadilan Negeri Makassar No.176/Pdt.P/2014/PN.Mks, Putusan Pengadilan Negeri Ungaran No.518/Pdt.P/2013/PN.Ung, dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.3077/Pdt.P/2011/PN.Smg.
ADVERTISEMENT
Ketiga putusan tersebut didasari adanya permohonan perubahan jenis kelamin karena adanya kelainan secara medis. Bukan suatu hal yang baru lagi perubahan jenis kelamin karena adanya penyakit atau kelainan.
Alasan perubahan jenis kelamin yang lainnya adalah karena pilihan hidup seseorang untuk mengganti jenis kelaminnya atau yang lebih dikenal sebagai transeksual/transgender. Definisi dari transeksual dan transgender belum ada satu definisi yang pasti dan seragam yang digunakan oleh semua pihak. Apabila mengacu dalam American Psychological Association menyebutkan terminologi transgender adalah istilah payung atau umum untuk orang-orang yang identitas gender, ekspresi atau perilaku gendernya tidak sesuai dengan yang biasanya dikaitkan dengan jenis kelamin yang mereka tetapkan saat lahir.
Sedangkan transeksual yang dicirikan dengan adanya perubahan jenis kelamin merupakan salah satu perubahan lebih lanjut yang dilakukan oleh seorang transgender. Salah satu kasus yang pernah terjadi mengenai perubahan jenis kelamin karena transgender yakni dilakukan oleh seseorang artis bernama Lucinta Luna yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1230/Pdt.P/2019/PN.Jkt.Sel.
ADVERTISEMENT
Hak untuk melakukan perubahan jenis kelamin sebenarnya sudah terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Tepatnya dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah terakhir dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden No.25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Celah Hukum Olahraga
Pada dasarnya perubahan atau pergantian jenis kelamin telah terakomodir. Namun demikian, apabila dalam bidang Hukum Olahraga atau Lex Sportiva hal tersebut menjadi sebuah celah hukum. Mengapa demikian? Karena saat ini regulasi kategorisasi jenis kelamin dalam kejuaraan olahraga di Indonesia masih menggunakan dokumen kependudukan sebagai syarat kategorisasi jenis kelamin. Sehingga akan menimbulkan celah hukum bagi seorang atlet yang mengalami kelainan jenis kelamin secara medis atau memilih jalan hidup sebagai transgender.
ADVERTISEMENT
Lebih jelasnya saya akan mencoba untuk menggunakan kasus perubahan jenis kelamin yang baru-baru ini terjadi oleh seorang mantan atlet voli nasional. Tentunya, anda sudah mengetahui atau setidaknya mendengar adanya perubahan jenis kelamin yang dilakukan oleh Aprilia Manganang. Seorang mantan atlet voli timnas putri dan juga Prajurit TNI aktif yang mengubah jenis kelaminnya dari perempuan ke laki-laki. Dilansir dalam Kompas.com, alasan perubahan jenis kelamin tersebut didasari adanya kejanggalan atau kelainan medis dalam kondisi fisik Aprilia Manganang yang disebut hipospadia ketika dilahirkan.
Mantan pemain voli nasional, Aprilia Manganang. Foto: Instagram/@manganang92
Kemudian, Aprilia Manganang melakukan pemeriksaan medis dan melakukan penanganan medis serta operasi (correction surgery) sehingga dipastikan beliau berjenis kelamin laki-laki.
Kiprah Aprilia Manganang dalam dunia olahraga voli tidak bisa dipandang sebelah mata. Beliau sudah mencatatkan empat kali meraih gelar Juara Proliga dan meraih medali perak SEA Games 2017 dan perunggu SEA Games 2013 serta 2015. Semua kiprahnya tersebut dilakukan saat Aprilia Manganang tercatat sebagai seorang perempuan. Pertanyaan selanjutnya akan muncul. Apakah kelainan medis yang dialami Aprilia Manganang saat ini sudah dialami sejak dari ia berkiprah sebagai atlet voli?
ADVERTISEMENT
Apabila jawabannya iya, maka akan menjadi hal yang tidak adil dan merugikan bagi tim lawan dari Aprilia Manganang. Meskipun dalam jenis kelamin yang tercatat sebagai perempuan dan bertanding dalam kategori voli perempuan, akan tetapi Aprilia Manganang bisa jadi mempunyai kemampuan seperti laki-laki. Maka hal tersebut sangat menguntungkan bagi tim yang diperkuat oleh Aprilia Manganang.
Kemampuan antara perempuan dan laki-laki dalam dunia olahraga mempunyai perbedaan yang signifikan. Salah satu faktor pengaruh kemampuan tersebut adalah kadar hormon testoren dan estrogen dalam diri orang tersebut. Tidak menutup kemungkinan seseorang perempuan mempunyai kadar hormon testoteron yang lebih besar daripada hormon estrogen. Hal ini bisa disebabkan karena adanya kelainan medis dalam dirinya. Sehingga apabila regulasi kategorisasi jenis kelamin dalam dunia olahraga hanya berdasarkan dokumen kependudukan seorang atlet. Hal tersebut dapat berdampak menciderai sportivitas dalam dunia olahraga.
ADVERTISEMENT
Urgensi Regulasi Kategorisasi Jenis Kelamin
Sejatinya mengenai topik ini pernah saya kemukakan dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Standarisasi Kadar Sex Hormones Sebagai Acuan Kategorisasi Olahragawan Transgender Dalam Mengikuti Kejuaraan Olahraga di Indonesia”. Karya ilmiah tersebut pernah saya ikutsertakan pada sebuah ajang perlombaan karya tulis ilmiah tingkat nasional di Bandung pada tahun 2017.
Kategorisasi jenis kelamin seorang atlet di Indonesia sudah sangat tertinggal jauh dari dunia olahraga internasional. International Olympic Committee (IOC) sudah melakukan 2 (dua) kali perubahan regulasi terhadap pengategorian jenis kelamin olahragawan. Sejatinya perubahan regulasi yang dilakukan IOC dalam rangka untuk mengakomodir hak seorang transgender untuk tetap dapat berkompetisi dalam kejuaraan olahraga dengan tetap menjunjung tinggi prinsip fair play. Pada tahun 2004, IOC menggunakan gender confirming surgeries sebagai dasar pijakan jenis kelamin olahragawan seorang transgender.
ADVERTISEMENT
Kemudian dilakukan perubahan pada tahun 2015 untuk ajang Olimpiade Rio 2016 dengan hanya memperhatikan tingkat hormon testosteron pada tubuh olahragawan tersebut. Sehingga setiap olahragawan yang akan mengikuti kejuaraan olahraga tersebut akan mempunyai standar yang sama dalam tingkat kadar hormon testosteron dan estrogen. Hal ini bisa menjadi pijakan untuk meminimalisir adanya olahragawan yang mempunyai kelainan jenis kelamin secara medis akan tetapi olahragawan tersebut belum sadar betul akan kondisi tubuhnya.
Penggunaan standar tingkat kadar hormon testosteron dan estrogen bisa menjadi alternatif solusi yang tepat dalam pengategorisasian jenis kelamin olahragawan yang akan mengikuti kejuaraan di Indonesia. Salah satu cara perubahan tingkat kadar hormon dalam tubuh dapat menggunakan terapi cross-sex hormones. Beberapa penelitian mengenai terapi cross-sex hormones terhadap kemampuan berolahraga seseorang pernah dilakukan seperti penelitian J.M.H Elbers dalam “Effects of Sex Steroid Hormones on Regional Fat Depots as Assessed by Magnetic Resonance Imaging in Transsexuals”, penelitian Leire Zubiaurre-Elorza dkk dalam “Effects of Cross-Sex Hormones on Cortical Thickness in Transsexual Individuals”, dan penelitian Joanna Harper dkk dalam “Race Time for Transgender Athletes”.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap kemampuan seseorang baik dari massa otot, perubahan fisik, dan kekuatan dalam tubuh. Sehingga secara a contrario dalam hal ini apabila seseorang yang mempunyai salah satu kadar hormon yang lebih tinggi dan berbeda dari jenis kelaminnya. Hal tersebut dapat berdampak pada perbedaan kemampuan dan kekuatan orang tersebut dalam berolahraga dengan orang lain yang sama dengan jenis kelaminnya.
Standarisasi tingkat kadar hormon tersebut mempunyai dampak yang netral dan menguntungkan bagi setiap olahragawan. Apabila hanya berdasarkan pergantian jenis kelamin melalui mekanisme correction surgery kemudian melakukan permohonan ke Pengadilan untuk perubahan jenis kelamin seperti yang dilakukan oleh Aprilia Manangan. Pergantian itu utamanya dilakukan atas dasar kesadaran diri dari olahragawan tersebut. Apabila tidak mempunyai kesadaran bisa saja kasus seperti Aprilia Mananganan dapat terulang kembali. Lebih lanjut lagi, bagi seorang olahragawan transgender yang tidak ingin melakukan perubahan jenis kelamin akan mengalami kesusahan dan dampak paling buruk bisa tidak berpartisipasi dalam kejuaraan olahraga karena tersendat regulasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, urgensi regulasi kategorisasi jenis kelamin ini untuk meminimalisir adanya kasus Aprilia Manangan pada masa yang akan datang. Karena tidak menutup kemungkinan apabila menggunakan regulasi yang saat ini, sangat tertinggal dengan perkembangan peristiwa yang terjadi dalam dunia olahraga. Hal ini pada ujungnya dapat merugikan setiap tim yang akan bertanding dan menciderai prinsip utama dalam ajang olahraga yakni sportivitas.